Hukum Pajak


Dalam negara modern, tiap-tiap pemungutan pajak membawa kewajiban untuk meninggikan kesejahteraan umum. Negara memungut pajak membawa konsekuensi bahwa negara mutlak harus berusaha meninggikan kesejahteraan masyarakat. Negara dapat saja membebani rakyatnya berbagai macam pajak yang memberatkan untuk satu dua tahun tanpa adanya reaksi apa pun akan tetapi tidaklah adil, jika pengorbanan rakyat itu tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.[1]
Konsep negara kesejahteraan (Welfare State) di dalamnya tugas pemerintah bukan lagi sebagai penjaga malam dan tidak boleh pasif tetapi harus aktif turut serta dalam kegiatan masyarakat sehingga kesejahteraan bagi semua orang tetap terjamin. Dengan demikian pemerintah harus memberikan perlindungan bagi warganya bukan hanya dalam bidang politik tetapi juga dalam bidang sosial ekonomi sehingga kesewenang-wenangan dari golongan kaya harus dicegah oleh pemerintah. Jadi di dalam Welfare State pemerintah itu diserahi bestuurzorg yakni penyelenggaraan kesejateraan umum.
Pemungutan pajak adalah suatu kekuasaan, yang dimiliki negara demikian besarnya, bahkan hukumnya dapat diciptakan oleh negara sendiri yang harus disertai dengan pengabdian kepada rakyat dan kepada kesejahteraan umum, sehingga menjelma menjadi keadilan, sebab kekuasaan tanpa pengabdian adalah kebuasan, pengabdian tanpa kekuasaan adalah ketidakberdayaan, kewajiban tanpa hak adalah pengisapan, hak tanpa kewajiban adalah kerakusan.[2] Terdapat berbagai ragam mengenai definisi pajak dikalangan para sarjana ahli di bidang perpajakan. Diantara pendapat para sarjana adalah definisi atau pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro dalam Mardiasmo:
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.[3]
Dari definisi tersebut, bahwa pajak memiliki unsur-unsur:
1.  Iuran rakyat kepada negara
Yang berhak memungut pajak adalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
2.  Berdasarkan Undang-Undang
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaanya.
3.  Tanpa jasa atau timbal kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4.  Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.[4]

Pajak pada umumnya dikenal adanya dua fungsi utama dari pajak, yakni fungsi budgeter (anggaran) dan fungsi regulerend (mengatur).
1.  Fungsi Anggaran
   Pajak mempunyai fungsi sebagai alat atau instrumen yang digunakan untuk memasukkan dana yang sebesar-besarnya ke dalam kas negara.
2.  Fungsi Mengatur
   Pajak digunakan untuk mengatur dan mengarahkan masyarakat ke arah yang dikehendaki pemerintah, fungsi mengatur ini menggunakan pajak untuk dapat mendorong dan mengendalikan kegiatan masyarakat agar sejalan dengan rencana dan keinginan pemerintah.[5]

Pajak merupakan gejala sosial  dan hanya terdapat dalam masyarakat. Tanpa adanya suatu masyarakat, tidak akan ada suatu pajak. Hal tersebut dapat dimengerti karena adanya pajak disebabkan  oleh adanya kepentingan bersama (masyarakat) sebagai kesatuan dari individu-individu. Apabila masing-masing individu tidak berhubungan satu dengan yang lain dan mempunyai kepentingan bersama, maka tentu tidak ada upaya untuk memenuhi kebutuhan bersama, sehingga tidak ada pula pajak.


[1]  Mr Sindian Isa Djajaningrat, Hukum Pajak dan Keadilan, Eresco, Bandung, 1965, hal, 6-7.
[2] Ibid., hal 21.
[3] Mardiasmo., op.cit. hal.1.
[4] Ibid,. hal.1.
[5] Sri Pudyatmoko,op.cit. hal.15.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment