ANALISIS PENERAPAN ICT DI PERGURUAN TINGGI KOTA PADANG

PENERAPAN ICT DI PERGURUAN TINGGI KOTA PADANG
oleh :
Meta Orlanda Pradezi
0810842029
Ilmu Administrasi Negara FISIP UNAND


Abstract
E-Government is a way for governance to use a new technology to serve the community by providing access to government simplicity in terms of service and information and also to increase the quality of service and provide opportunities to participate in democratic processes and institutions. No exception in education. Information and communication technology has grown rapidly. Progress is also considered a very big influence on the development of education in Indonesia. Education is part of human life, because human development course, will affect education. Education will be strongly influenced by the development of human needs. In other words, education must provide what is needed in human life. Therefore education policy always take into account human needs for present and future. This paper reviews the role and functions, as well as the implementation of the application of ICT in education, especially in college.
Keywords: E-goverment, ICT, education.


PENDAHULUAN

Salah satu tantangan global dalam dunia pendidikan adalah bagaimana memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dalam konteks akademis. Teknologi informasi dan komunikasi (ICT) adalah teknologi yang menjadikan informasi sebagai komoditas yang diolah (Budi Rahardjo, 2000, dalam Riandi).
Rencana pengembangan dan implementasi teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia telah dirumuskan dalam instruksi Presiden nomor 6/2001. Instruksi tersebut telah ditindaklanjuti dalam bentuk rencana pengembangan ICT lima tahun dengan prioritas kolaborasi antara industri ICT dan ICT dalam institusi pendidikan (2001-2005); Pengembangan dan implementasi kurikulum ICT (2001-2004); Penggunaan ICT sebagai bagian yang esensial pada kurikulum perangkat pembelajaran di sekolah, universitas dan pusat-pusat pelatihan (2001-2005) (Tian Belawati, 2003).[1]
Tujuan penerapan ICT di perguruan tinggi ada tiga. Pertama, mengembangkan tingkat kemampuan berfikir mahasiswa. Kita semua tau, ilmu pengetahuan tidak hanya bisa didapatkan dari buku. Dewasa ini teknologi informasi sudah berkembang santa pesat. Ilmu pengetahuan pun bisa kita akses melalui internet dan media pembelajaran secara online. Dengan adanya ICT, pengetahuan mahasiswa akan menjadi lebih luas dan berkembang dibandingkan hanya mengandalkan ilmu yang didapat melalui buku.
Kedua yaitu meningkatkan keterampilan dalam bidang ICT. Dengan penerapan ICT di perguruan tinggi, mahasiswa sekaligus dapat mengembangkan keterampilannya dalam pengkomputerisasian ataupun pengaksesan internet. Tentu saja, keterampilan ini juga sangat berguna di dunia kerja nantinya.
Ketiga yaitu meningkatkan kefektivitas, efisiensi dan kemenarikan proses pembelajaran. Di Kota Padang sendiri geliat ICT sudah tampak. Misalnya dalam proses enerimaan, implementasi ICT untuk pendaftaran siswa, implementasi ICT dalam proses seleksi siswa, implementasi ICT untuk pengumuman siswa yang diterima, serta implementasi ICT untuk proses pendaftaran. Pun di dalam proses belajar mengajar, proses administrasi, dan proses organisasi serta aktivitas mahasiswa.
Menurut UNESCO (2003) ada 4 level dalam ICT. Pertama yaitu emerging; menyadari pentingnya ICT untuk pendidikan, kedua applying; mulai menjadikan ICT sebagai obyek yang harus dikuasai/dipelajari (learning to use ICT), ketiga integrating yaitu menjadikan ICT sebagai media pembelajaran (using ICT to learn), dan yang terakhir yaitu transforming, menjadikan ICT sebagai katalist pembaharuan pembelajaran. Di Perguruan tinggi Kota Padang sendiri masih berada pada level ”applying” atau dengan kata lain masih dalam tahap “Learning to Use ICT”.
Dalam artikel ini, penulis mengambil sampel salah satu Perguruan Tinggi di Kota Padang, yaitu Universitas Andalas. Di perguruan tinggi tersebut sudah tersentuh ICT. Namun, dalam implementasinya, masih terkendala beberapa hal, seperti lelet dan koneksi yang tidak lancar.
Menurut Edward III, ada empat variabel dalam kebijakan publik yaitu Komunikasi (Communications), Sumber Daya (resources), sikap (dispositions atau attitudes) dan struktur birokrasi (bureucratic structure). Ke empat faktor di atas harus dilaksanakan secara simultan karena antara satu dengan yang lainnya memiliki hubungan yang erat. Implementasi kebijakan adalah suatu proses dinamik yang mana meliputi interaksi banyak faktor. Sub kategori dari faktor-faktor mendasar tersebutlah yang sangat berpengaruh terhadap implementasi.

PEMBAHASAN

I. Perkembangan ICT di Universitas Andalas
Sejatinya, Universitas Andalas telah mempunyai sistem pengolahan data ICT di segala kegiatan perkuliahan dan proses administrasinya. Namun mahasiswa malah banyak mengeluhkan ketidakefektifan implementasi ICT tersebut. Mahasiswa dihadapkan pada persoalan pembayaran uang kuliah dan portal. Pada pembayaran uang kuliah misalnya, ada beberapa mahasiswa yang tidak terdaftar di data Bank BNI, bank yang digunakan oleh Unand untuk mengelola uang kuliah. Hal tersebut dikarenakan tidak sampainya data dari ICT ke bank tersebut.[2]
Selain permasalahan pembayaran uang kuliah, portal akademik, sebagai salah satu output ICT juga bermasalah di universitas ini. Akses portal yang sulit dan memberi ruang gerak yang sempit bagi mahasiswa untuk melakukan pengambilan mata kuliah. Hal tersebut terjadi karena kapasitas web yang masih sedikit.
Terakhir kali di cek, pada tahun ini berdasarkan data webometrics info, Universitas Andalas berada di peringkat ke-17 di Indonesia dan peringkat ke-2384 di Dunia. Perubahan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun kemaren 2010, Universitas Andalas berada di peringkat ke-28 di Indonesia dan peringkat ke-3229 di Dunia.[3] Menurut penulis, peningkatan ini disebabkan beberapa hal :
1.      Pemanfaatan website KKN sebagai media pendaftaran Kuliah Kerja Nyata.
Aktifitas mahasiswa dalam mengakses situs ini juga berdampak akan kenaikan traffic situs Universitas Andalas, walaupun membuat server Unand menjadi lelet. Dengan keterbatasan itu masih dapat berkontribusi dalam meningkatkan indexing oleh mesin pencari. Namun hal yang sangat disayangkan, website ini belum pantas untuk dipublikasikan karena masih banyak terdapat bug (uatu kesalahan desain pada suatu perangkat keras komputer atau perangkat lunak komputer yang menyebabkan peralatan atau program itu tidak berfungsi semestinya). Bahkan hal ini bisa membuat dampak secara tidak langsung terhadap website Unand karena akan terdapat celah keamanan di sana.
2.      Mulai aktifnya beberapa situs Fakultas dan Jurusan di Universitas Andalas yang dulu masih banyak yang non aktif.
Contoh yang sederhana saja, beberapa bulan lalu, situs Jurusan Teknik Mesin Unand dan Teknik Industri Unand masih offline. Namun sekarang sudah bisa diakses.
3.      Pemanfaatan Portal Akademik untuk melihat hasil KRS dan menyusun KHS.
Walaupun begitu, KRS ini belum bisa dikatakan layak. Bukan hanya mengaksesnya sangat lama, tapi mulai dari proses pengurusan yang masih saja berbelit-belit.
4.      Mulai digalakkannya blogging di Universitas Andalas
Dengan blogging, kita bisa saling bertukar informasi dan juga bisa meningkatkan peringkat UNAND di webometrik nantinya. Tapi, masih ada sistem yang kurang familiar dan tidak efektif. Misalnya :
·        Front Page Halaman utama blog universitas Andalas bersifat statis, sebaiknya sesuai dengan postingan terbaik dari para blogger UNAND yang diseleksi oleh admin Blog UNAND
·        Penampilan Blog Roll yang ada disebelah kanan berdasarkan urutan user mendaftar, sebaiknya berdasarkan jumlah posting, sehingga bisa meningkatkan animo blogger dalam membuat tuliisan.

II. Permasalahan ICT di Kampus Unand
Faktor –faktor yang berpengaruh dalam implementasi menurut George C. Edwards III sebagai berikut :
1.      Komunikasi
Implementasi akan berjalan efektif apabila tujuan dan isi kebijakan dipahami oleh kelompok sasaran kebijakan. Kejelasan tujuan kebijakan perlu dikomunikasikan secara tepat oleh para pembuat kebijakan, sehingga implementor mengetahui tujuan kebijakan tersebut. Komunikasi tersebut bisa berbentuk iklan atau reklame, ataupun pengumuman-pengumuman secara verbal. Pada kenyataannya, sosialisasi mengenai ICT, dalam hal ini pendaftaran ulang secara online, tersebut hanya disampaikan lewat satu-satunya baliho yang dipasang di PKM. Jelas, hal ini sangat tidak efektif mengingat tidak semua mahasiswa Universitas Andalas mengunjungi Gedung PKM.
Informasi merupakan sumberdaya penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenahi bagaimana cara menyelesaikan kebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepetuhan kepada peraturan pemerintah dan undang-undang.[4] Kenyataan dilapangan bahwa tingkat pusat tidak tahu kebutuhan yang diperlukan para pelaksana dilapangan. Kekurangan informasi/pengetahuan bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan inefisien.
Tidak adanya sosialisasi yang jelas tersebut juga mengakibatkan ketidaksinkronan informasi yang didapat sehingga kebijakan yang dilakukan pun tidak terlaksana dengan baik. Hal tersebut juga akan berbuntut pada persoalan-persoalan lainnya seperti keteledoran saat pendaftaran, sampai ke permasalahan yang paling fatal, tidak terdaftar.
2.      Sumberdaya
Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa program dapat diarahkan kepada sebagaimana yamg diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana.
Di Unand, kapasitas dan daya tampung penggunanya masih sangat sedikit dan tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa, sehingga koneksi internet menjadi lelet ketika digunakan oleh seluruh mahasiswa Universitas Andalas.
Sumberdaya manusia yang tidak memadai (jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka hal yang harus dilakukan meningkatkan skill/kemampuan para pelaksana untuk melakukan program. Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar dapat meningkatkan kinerja program. Ketidakmampuan pelaksana program ini disebabkan karena kebijakan tersebut merupakan hal yang baru bagi mereka dimana dalam melaksanakan program ini membutuhkan kemampuan yang khusus, paling tidak mereka harus menguasai teknik-teknik komputerisasi.
Sumberdaya lain yang juga penting adalah kewenangan untuk menentukan bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan/mengatur keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf, maupun pengadaan supervisor.
Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan/program harus terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil program dapat berjalan.

3.      Sikap
Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah.
Ada tiga bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan; kesadaran pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut.[5] Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi program. Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran program.
Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah Menempatkan kebijakan menjadi prioritas program, penempatan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik demografi yang lain. Disamping itu penyediaan dana yang cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksana program agar mereka mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan kebijakan/program.
4.      Struktur Birokrasi
Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan.
Van Horn dan Van Meter menunjukkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam implementasi kebijakan, yaitu:
1.      Kompetensi dan ukuran staf suatu badan;
2.      Tingkat pengawasan hirarkhis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan proses-proses dalam badan pelaksana;
3.      Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara anggota legislatif dan eksekutif);
4.      Vitalitas suatu organisasi;
5.      Tingkat komunikasi “terbuka”, yaitu jaringan kerja komunikasi horizontal maupun vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar organisasi;
6.      Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan pembuat keputusan atau pelaksana keputusan.
Di Unand sendiri, birokrasi yang diselenggarakan masih berbelit-belit dan tidak melalui satu pintu. Hal ini tentu saja semakin menambah ketidakefektifan implementasi kebijakan.
Bila sumberdaya cukup untuk melaksanakan suatu kebijakan dan para implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, implementasi masih gagal apabila struktur birokrasi yang ada menghalangi koordinasi yang diperlukan dalam melaksanakan kebijakan. Kebijakan yang komplek membutuhkan kerjasama banyak orang, serta pemborosan sumberdaya akan mempengaruhi hasil implementasi. Perubahan yang dilakukan tentunya akan mempengaruhi individu dan secara umum akan mempengaruhi sistem dalam birokrasi.

KESIMPULAN

Pendidikan tidak bisa dilepaskan dari perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi. ICT bukan lagi mejadi asing dalam dunia pendidikan tetapi sudah menjadi penting dan sangat mendukung dalam dunia pendidikan. Salah satu bukti pentingnya ICT adalah untuk pemerataan pendidikan dengan kondisi geografis Indonesia yang luas sangat diperlukan ICT. Beberapa dampak positif yang diperoleh dengan adanya ICT dalam dunia pendidikkan antara lain :
1.      Memberikan kemudahan terhadap dunia pendidikan dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional Indonesia secara umum.
2.      Meningkatkan mutu pendidikan karena dengan ICT dapat dengan mudah menerima informasi baik dari dalam maupun dari luar negeri.
3.      Peningkatankualitas Sumber Daya Manusia Indonesia yang merupakan produk dari dunia Pendidikan
Oleh karena pentingnya ICT dalam dunia pendidikan, maka Depertemen Pendidikan melalui PUSTEKKOM terus melakukan pengembangan ICT dalam dunia pendidikan di Indoneisa. Telah banyak produk dari PUSTEKKOM yang berbasiskan ICT telah dikembangkan, antara lain TVE, edukasi.net dan lain-lain.
Perkembangan ICT tidak bisa dielakan lagi, hingga merambah pada system penyelenggaraan pendidikan dengan demikian semua pihak yang terkait didalamnya mau tidak mau bahkan harus mampu untuk menguasai, menerapkan, mengembangkan, dan mengkaji riset untuk kemajuan di masa yang akan datang. Ada beberapa hal penting yang hingga saat ini masih tetap menjadi kendala dan masalah mendasar bagi semua pihak mengenai upaya meraih keberhasilan pembangunan pendidikan di Indonesia ini, yaitu masalah budaya baca, belajar, dan meneliti di bidang ICT masih rendah. Hal ini penting khususnya bagi para pimpinan fakultas, dosen, mahasiswa dan peneliti. Di mana dalam implementasinya juga hendaknya dapat dipayungi oleh suatu system kebijakan dan pola manajemen yang adaptif sesuai dengan tuntutan inovasi dibidang ICT for Education. Ketika semua itu bias dilewati maka system pengembangan kerjasama antar berbagai kelembagaan formal maupun non formal bahkan informal dalam sinergis melalui suatu jejaring yang komfleksibilitas.
Persaingan global memerlukan kemampuan segenap perguruan tinggi di Indonesia untuk menggerakkan seluruh daya dan upaya untuk mencapai beberapa langkah secara sinergis, agar bisa menjadi perguruan tinggi kelas dunia (world class university-WCU). Prof. Dr. Tridoyo Kusumastant dari IPB dalam tulisannya yang berjudul “Etika Akademika Menuju World Class University menyebut empat kriteria WCU.[6] Pertama, 40 persen tenaga pendidik lulusan S3, dan publikasi internasional dua naskah per staf per tahun. Kedua, jumlah mahasiswa pasca sarjana 40 persen dari total populasi mahasiswa. Ketiga, anggaran riset minimal US$1.300 per staf per tahun, dan jumlah mahasiswa asing lebih dari 20 persen. Terakhir, keempat, ICT 10 kb per mahasiswa.
Ukuran-ukuran tersebut penting sebagai dasar bagi referensi kesejajaran perguruan tinggi di Indonesia dengan perguruan tinggi bertaraf internasional. Harus diakui, pengakuan sebagai WCU sangat didambakan perguruan tinggi (PT). Tak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara.
Namun kenyataannya, pemanfaatan ICT di dunia pendidikan Indonesia belumlah merata. Hingga tahun lalu, di Indonesia tercatat 2.428 institusi pendidikan tinggi yang meliputi 81 perguruan tinggi negeri, dan 2.347 perguruan tinggi swasta. Secara keseluruhan, perguruan tinggi tersebut menampung sekitar 16.8% rakyat Indonesia yang berusia antara 19-24 tahun (usia pendidikan tinggi). Dari sisi kualitas, perguruan tinggi di Indonesia berada pada spektrum yang sangat lebar, dan umumnya berada pada tingkat kualitas yang masih rendah. Karena itu, boleh dikatakan bahwa perguruan yang memanfaatkan ICT pun masih minim.
Permasalahan bandwidth memang paling dominan, termasuk Universitas Andalas, karena jumlah komputer yang terhubung di internet hanya sekitar 50 persen sedangkan dari 50 persen tersebut hanya sekitar setengahnya yang bisa akses internet. Standar internasional untuk bandwith adalah 1 kbps/mahasiswa.
Upaya pemerintah dan BUMN tersebut untuk membantu perguruan tinggi Indonesia menjadi kampus bertaraf internasional memang masih butuh waktu panjang. Butuh kerja keras, dan kemauan semua pengelola kampus, untuk memanfaatkan ICT. Dari seluruh perguruan tinggi yang ada, baru 10 persen saja yang terkoneksi. Bayangkan efeknya jika seluruh perguruan tinggi di Indonesia saling tersambung secara online. Dampak bagi proses belajar-mengajar akan sangat luar biasa. Pencarian bahan kuliah atau riset, misalnya, akan lebih mudah didapat. Mari bersama giatkan usaha menjadikan kampus lokal sebagai kampus kelas dunia.


DAFTAR PUSTAKA

Subarsono, ag 2005. analisis kebijakan publik: konsep, teori, dan aplikasi, yogyakarta: pustaka pelajar.

Riandi M.Si - Aplikasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi, hal 2

Sistem Pembayaran Portal Akademik Bermasalah, Tabloid Genta Andalas Edisi XXXVIII, Februari-Maret 2011, hal 6

(http://www.indonesiaberprestasi.web.id/2011/01/50-universitas-top-indonesia-di-internet/)

mulyono.staff.uns.ac.id

Prof. Dr. Tridoyo Kusumastant, Etika Akademika Menuju World Class University.



Riandi M.Si - Aplikasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi, hal 2
[2] Sistem Pembayaran Portal Akademik Bermasalah, Tabloid Genta Andalas Edisi XXXVIII, Februari-Maret 2011, hal 6
[3] (http://www.indonesiaberprestasi.web.id/2011/01/50-universitas-top-indonesia-di-internet/)
[4] mulyono.staff.uns.ac.id
4. mulyono.staff.uns.ac.id

[6] Prof. Dr. Tridoyo Kusumastant, Etika Akademika Menuju World Class University

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

REVIEW PERATURAN PROPINSI SUMATERA BARAT NOMOR: 11 TAHUN 2001 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN MAKSIAT

Peraturan Propinsi Sumatera Barat  Nomor: 11 tahun 2001 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Maksiat ini dilatarbelakangi oleh nilai-nilai filosofis budaya Minangkabau yang tercakup dalam ungkapan: Adat Bersandi Syarak, Syarak Bersandi Kitabullah. Karena itu, pemerintah merasa perlu untuk membuat suatu peraturan untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai tersebut kedalam tatanan norma kehidupan masyarakat, agar terhindar dari berbagai bentuk perbuatan maksiat cenderung meresahkan dan mengganggu stabilitas kehidupan masyarakat.
Dalam Perda ini, yang dimaksud pencegahan dan pemberantasan maksiat termasuk didalamnya adalah perzinaan, perjudian, meminum minuman keras, penggunaan narkotika dan psikotropika serta zat adiktif lainnya, serta penerbitan dan penyiaran yang merangsang untuk berbuat maksiat. Meskipun demikian, berbagai peraturan perundang-undangan tersebut sejak diberlakukan sampai saat ini dirasakan masih belum efektif untuk mengurangi kegiatan maksiat serta dampak negatifnya terhadap masyarakat. Perbuatan maksiat masih merupakan masalah sosial yang serius, yang ada dan terus berkembang dalam masyarakat sejak dulu hingga sekarang.
Munculnya perda-perda yang mengatur persoalan moralitas dan syariah Islam ini direspon secara beragam, tidak saja oleh daerah lain, tetapi juga oleh masyarakat di daerah bersangkutan. Perda ini otomatis memancing respon-respon dari masyarakat. Ada tiga karakteristik respon. Pertama yaitu masyarakat yang menolak implementasi kebijakan, kedua yaitu kelompok yang mendukung kebijakan, dan yang ketiga yaitu masyarakat yang apatis, entah karena ketidaktahuan, ketidakpedulian, atau memang merasa percuma membahas hal-hal seperti itu.
Di Sumatera Barat, pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan tercapainya perda ini. Mulai dari himbauan dalam bentuk iklan dan reklame, hingga razia-razia di tempat-tempat yang diduga menjadi tempat masiat juga telah dilaksanakan. Namun, perbuatan maksiat masih saja berkembang biak di Ranah Minang ini. Ditegaskan bahwa pelaksanaan dari perda tersebut adalah eksekutif, artinya aparat pemerintah harus menjalankan perda tersebut. Bila tidak, lembaga legislatif sebagai lembaga yang mengawasi pelaksanaan perda tersebut wajib memberikan peringatan kepada eksekutif agar bertanggungjawab menjalankan perda tersebut.
Menurut penulis, kelemahan dari perda ini terletak pada kontinuitas dan konsistensi dalam tahap implementasinya. Dalam Bab V tentang Pengawasan Dan Pembinaan Pasal 20 dikatakan, pernerintah daerah melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan pencegahan dan pemberantasan maksiat. Memang, selama ini pemerintah telah berupaya melakukan kegiatan tersebut, tapi apakah pencegahan yang dilakukan sudah terimplementasi secara kontinu atau tidak? Karena berhasilnya kebijakan juga dipengaruhi oleh implementasi secara rutin dan terus menerus.
Kemudian di Pasal 21 ayat b dikatakan; pemerintah akan melindungi masyarakat dan segala kemungkinan kejadian yang dapat menimbulkan gangguan dan/atau bahaya atas meluasnya perbuatan maksiat, dan ayat c; pemerintah akan mencegah generasi muda terlibat dalam kegiatan perbuatan maksiat. Namun kenapa di propinsi Sumatera Barat masih tersebar tempat-tempat karaoke merangkap PUB yang notabene menjual minuman-minuman keras? Tempat-tempat yang berbau maksiat juga masih banyak tersebar. Bagaimana mau mencegah perbuatan maksiat kalau tempatnya tidak dipangkas terlebih dahulu.
Kemiskinan dan lemahnya hukum juga menjadi faktor penyebab perda ini kurang efektif dijalankan. Dalam Bab VI mengenai Ketentuan Sanksi pasal 22 ayat 2, dikatakan 2) Pejabat berwenang yang lalai dalam menindak lanjuti laporan anggota masyarakat tentang tindakan maksiat, dapat dikenai sanksi administratif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun kenyataan yang kita lihat sekarang adalah sanksi yang dijatuhkan bisa ditarik kembali dengan menggantinya dalam bentuk uang. Bahkan tak jarang kita dengar, pihak pemerintah serta aparat penegak hukum sendiri pun juga ikut terlibat aktif dalam kegiatan maksiat ini. Serta misalnya adalah faktor yang mendorong orang untuk mencari jalan pintas dalam mencapai tujuan hidup/cita-citanya dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.
Agar perda ini dapat terimplementasikan secara efektif, diperlukan peran pemerintah sebagai pengawas untuk terus melakukan pencegahan secara rutin dan terus menerus, memangkas tempat-tempat yang berpotensi maksiat, serta tentunya peran aktif masyarakat Sumatera Barat. Melihat kondisi sosial, politik, ekonomi dan hukum kita (Indonesia umumnya, dan Sumatera Barat khususnya) hingga kini masih belum stabil, masih diragukan jika penyakit masyarakat dapat diatasi secara tuntas. Pencegahan yang lainnya juga bisa dilakukan melalui jalur pendidikan, sosialiasi, penyadaran terhadap masyarakat termasuk dengan dakwah agama.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS