Pembangunan Partisipatif

1. Pengertian pembangunan partisipatif secara konsep dan prinsipnya
Pembangunan partisipatif yaitu pembangunan yang memposisikan masyarakat sebagai subyek atas program pembangunan yang diperuntukkan bagi kepentingan mereka sendiri. Pelibatan masyarakat mulai dari tahap perencanaan-pelaksanaan-monitoring-evaluasi. Pengerahan massa (mobilisasi) diperlukan jika program berupa padat karya
Prinsip – prinsip pembangunan partisipatif:
• Perencanaan program harus berdasarkan fakta
• Program harus memperhitungkan kemampuan masyarakat dari segi teknik, ekonomi dan sosialnya
• Program harus memperhatikan unsur kepentingan kelompok dalam masyarakat
• Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program
• Pelibatan sejauh mungkin organisasi-organisasi yang ada
• Program hendaknya memuat program jangka pendek dan jangka panjang
• Memberi kemudahan untuk evaluasi
• Program harus memperhitungkan kondisi, uang, waktu, alat dan tenaga (KUWAT) yang tersedia.

2. Metode pendekatan sosial dalam pembangunan partisipatif dan strategi yang digunakan
Metode pendekatan sosial: Serangkaian prosedur dan teknik yang ditempuh guna menyampaikan suatu ide atau gagasan agar dapat diterima oleh pihak sasaran. Unsur-unsur yang terkandung:
• Ada ide atau gagasan tertentu yang ingin disampaikan
• Ada pihak penyampai dan pihak sasaran penerima
• Secara implisit pihak penyampai ide menginginkan sukses didalam menyampaikan ide atau gagasan
• Di pihak sasaran penerima, terdapat banyak faktor yang ikut menentukan sikap menerima atau menolak terhadap ide atau gagasan yang disampaikan
Macam-macam metode pendekatan sosial:
• Metode pendekatan sosial mentalistik: Titikberat pada perubahan sikap mental sasaran seperti penerangan, penyuluhan, pelatihan, dll (bersedia membuat MCK, Pos Kamling)
• Metode pendekatan sosial kondisional: Titikberat pada penanggulangan/perbaikan lingkungan fisik seperti percontohan MCK, Pos Kamling, dll (tergerak untuk meniru)
Penerapan Metode Pendekatan Sosial
• Jangka pendek: Pendekatan sosial kondisional perlu dibarengi dengan melalui pendekatan otoritatif, artinya: ide atau gagasan yang ingin disampaikan harus mendapat legitimasi dari orang yang memiliki otoritas yaitu pejabat setempat. Contoh: program pelajaran bahasa Inggris/matematika utk SD.
• Jangka panjang: pendekatan sosial mentalistik perlu dibarengi dengan melalui pendekatan persuasif, artinya : ide atau gagasan harus disampaikan secara rutin melalui berbagai media dan kesempatan. Contoh: program penghijauan dan pemanfaatan pekarangan rumah untuk tanaman obat keluarga.

3. Strategi Penerapan Metode Pendekatan Sosial
• Kenali dan pahami karakteristik kelompok sasaran sebaik mungkin (anak-anak, remaja/karang taruna, dewasa, orang tua, lansia)
1. Kejelasan program (tujuan dan hasil yang diharapkan)
2. Setting waktu
3. Lokasi pelaksanaan
4. Lama pelaksanaan
5. Materi program
• Melibatkan kelompok sasaran dalam seluruh rangkaian kegiatan
1. Proses penemuan masalah dan melihat masalah
2. Proses penentuan prioritas
3. Proses pengambilan kebijaksanaan
4. Proses pelaksanaan
5. Proses menilai perkembangan
3. Jelaskan siklus perencanaan pembangunan daerah!
• Persiapan perencanaan
• Pengumpulan dan analisis data
• Penentuan hasil yang diharapkan (visi pembangunan total)
• Penentuan strategi pembangunan daerah
• Penentuan sasaran-sasaran pada setiap sector pembangunan
• Penentuan strategi pelaksanaan
• Penentuan tahapan-tahapan pembangunan dan hasil yang ingin dicapai
• Penentuan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan
• Penyusunan rencana pembangunan daerah
• Penetapan rencana pembangunan daerah dalam perda menjadi program pembangunan daerah(propeda) dan penjabaran untuk pelaksanaannya

4. Konsep dan tujuan musrenbang desa dan kelurahan
Musrenbang yaitu forum musyawarah tahunan para pemangku kepentingan desa / kelurahan untuk menyepakati rencana kegiatan untuk tahun anggaran berikutnya. Diselenggarakan oleh lembaga publik, yaitu pemerintah desa / kelurahan bekerjasama dengan warga / masyarakat dan para pemangku kepentingan (swasta)
Kerangka hukum musrenbang:
a. UU no. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah
b. PP no. 72 tahun 2005 tentang desa
c. PP no. 73 tahun 2005 tentang kelurahan
Payung hukum untuk pelaksanaan musrenbang: UU no. 25 tahun 2004 tentang system perencanaan pembangunan nasional
Musrenbang bersifat partisipatif dan dialogis. Jadi, inti dari musrenbang adalah partisipasi aktif warga. Yang dibicarakan dalam musrenbang adalah isu / persoalan, kebijakan, peraturan, atau program pembangunan.
Tujuan Musrenbang Desa:
• Menyepakati prioritas kebutuhan dan kegiatan desa yang akan menjadi bahan penyusunan RKPD dengan pemilahan
a. Kegiatan desa yang akan dilaksanakan sendiri dan dibiayai oleh swadaya desa / masyarakat
b. Kegiatan desa yang akan dilaksanakan dikoordinasikan oleh lembaga kemasyarakatan
c. Kegiatan desa yang diusulkan melalui musrenbang kecamatan yang akan dibiayai oleh APBD kabupaten atau APBD provinsi
• Menyepakati tim delegasi desa yang akan memaparkan persoalan desa pada musrenbang kecamatan untuk penyusunan program pemda / SKPD tahun berikutnya.
• Keluaran Musrenbang desa
a. Daftar prioritas kegiatan untuk menyusun RKPD untuk tahun anggaran berjalan
b. Daftar nama tim delegasi desa yang akan mengikuti musrenbang kecamatan
c. Berita acara musrenbang desa
Tujuan Musrenbang Kelurahan
• Menyepakati prioritas kebutuhan dan kegiatan kelurahan yang menjadi bahan penyusunan rencana kerja SKPD kelurahan
• Kegiatan yang akan dilaksanakan ooleh warga melalui dana swadaya masyarakat dan dikoordinasikan oleh lembaga kemasyarakatan.
• Kegiatan yang dilaksanakan oleh kelurahan sendiri dibiayai dana bantuan dari pemda (kota)
• Kegiatan pembangunan yang diusulkan melalui musrenbang kecamatan dan dibiayai oleh APBD kota atau APBD provinsi
• Menyepakati tim delegasi kelurahan yang akan memaparkan persoalan kelurahan di musrenbang kecamatan untuk penyusunan program Pemda / SKPD tahun berikutnya
• Keluaran Musrenbang Kelurahan
a. Daftar prioritas kegiatan urusan pembangunan untuk menyusun Renja SKPD kelurahan
b. Daftar prioritas kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan secara swadaya
c. Daftar permasalahan yang akan diajukan ke musrenbang kecamatan
d. Daftar nama tim delegasi kelurahan
e. Berita acara

5. Menurut anda apakah musrenbang yang dilakukan di tingkat desa dan kelurahan sudah merupakan sebuah metode yang baik dalam memproses terakomodirnya keinginan masyarakat dalam pembangunan?
Sistem yang sudah ada harus diperbaiki kalau memang alasan jujur untuk kemajuan pembangunan ekonomi masyarakat di daerah-daerah tertinggal dan membenahi daerah-daerah hasil pemekaran yang dinilai belum ada perubahan yang signifikan, khususnya pembangunan bidang ekonomi dan infrastruktur dasar seperti jalan raya yang terkait erat dengan aktivitas masyarakat.

Dalam konteks pembangunan ekonomi dan pembangunan fisik/infrastruktur dasar tersebut, terutama di pedesaan, partisipasi masyarakat sangat penting, tidak sebatas pada tataran pelaksanaan di lapangan, tetapi mereka harus dilibatkan mulai dari awal perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan di lapangan.

Pada tataran perencanaan, salah satu media yang paling cocok untuk mengakomodir partisipasi masyarakat, yaitu melalui musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) desa/kelurahan.

Musrenbang desa/kelurahan selama ini sudah berjalan, walaupun hasil dari Musrenbang desa dan kelurahan itu tidak banyak diakomodir oleh pengambil kebijakan dalam hal ini satuan kerja perangkat daerah (SKPD) sebagai pemilik proyek. Akibatnya, ada banyak masalah di desa seperti persoalan air bersih, sarana dan prasarana jalan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, tidak dibangun karena pengambil kebijakan hanya mampu menyerap sekitar 10 persen dari hasil Musrenbang desa/kelurahan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

TEORI ADMINISTRASI NEGARA

1. Teori Deskripsi-Eksplanatif
Teori deskripsi-eksplanatif memberikan penjelasan secara abstrak realitas administrasi negara, baik dalam bentuk konsep, proposisi, atau hukum. Salah satu contoh adalah konsep hirarki dari organisasi formal. Konsep tersebut menjelaskan ciri umum dari organisasi formal, yaitu adalnya penjenjangan dalam struktur organisasi. Konsep yang sederhana seperti hirarki ini bisa berkembang menjadi hirarki dalam mekanisme kerja organisasi publik, dimana seorang manajer organisasi publik kurang lengkap dijelaskan sebagai orang yang beradda dipucuk hirarki suatu organisasi dan secara eksklusif bekerja dalam struktur internal tersebut, karena disamping organisasi yang dipimpinnya, ia juga harus berhubungan dengan organisasi atau kelompok sosial/politik lain yang juga memiliki hirarki sendiri. Dalam hal ini, manajer suatu organisasi lebih cocok dijelaskan sebagai broker yang senantiasa harus bernegosiasi menjembatani kepentingan organisasinya dengan kepentingan diluar organisasi yang ia pimpin. Pada dasarnya teori ini menjawab dua pertanyaan dasar yaitu apa dan mengapa atau apa berhubungan dengan apa.
Pertanyaan pertama apa, menuntut jawaban deskriptif mengenai satu realitas tertentu yang dijelaskan secara abstrak ke dalam satu konsep tertentu misalnya, hirarki organisasi formal, hirarki kebutuhan; organisasi formal, konflik peranan, ketidakjelasan peranan, semangat kerja dan lain-lain.
Pertanyaan mengapa atau berhubungan dengan apa menuntut jawaban eksplanatif atau diagnostik mengenai keterkaitan antara satu konsep abstrak tertentu dengan konsep abstrak lainnya. Misalnya konflik peranan berhubungan dengan tipe kegiatan, apakah departemental atau koordinatif. Artinya kegiatan yang bersifat departemental cenderung kurang menimbulkan konflik peranan diantra para pengambil keputusan dan pelaksana, dibanding jika kegiatan tersebut dilaksanakan secara koordinatif.
Hubungan satu konsep dengan konsep lain dapat lebih kompleks dari sekedar hubungan kausal antara dua variabel dapat bersifat timbal balik atau sistematik.

2. Teori Normatif
Teori normatif bertujuan menjelaskan situasi administrasi masa mendatang secara prospektif. Termasuk dalam teori normatif adalah utopi, misalnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila atau keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera. Teori normatif juga dapat dikembangkan dengan merumuskan kriteria-kriteria normatif yang lebih spesifik, seperti efisiensi, efektivitas, responsibilitas, akuntabilitas, ekonomi, semangat kerja pegawai, desentralisasi,partisipasi, inovasi, demokrasi, dan sebagainya. Teori normatif memberikan rekomendasi ke arah mana suatu realitas harus dikembangkan atau perlu diubah dengan menawarkan kriteria normatif tertentu.
Letak persoalan dalam teori normatif adalah bahwa kriteria normatif yang ditawarkan dalam literatur tidaklah selalu saling mendukung, tapi dalam beberapa hal dapat saling bertentangan. Penekanan yang terlalu tinggi pada efisiensi dapat mengorbankan perataan. Penekanan yang terlalu tinggi pada efisiensi dapat mengorbankan perataan. Demikian pula sentralisasi diperlukan dalam rangka menjaga koordinasi, tetapi sentralisasi yang berlebihan dapat mengorbankan akuntabilitas dan inovasi.

3. Teori Asumsi
Teori asumsi menekankan pada prakondisi atau anggapan adanya suatu realitas sosial dibalik teori atau proposisi yang hendak dibangun.

4. Teori Instrumental
Pertanyaan pokok yang dijawab dalam jenis teori adalah "bagaimana" dan "kapan". Teori instrumental merupakan tindak lanjut (maka) dari proposisi "jika-karena". Misalnya jika sistem administrasi berlangsung secara begini dan begitu karena ini dan itu, jika desentralisasi dapat meningkatkan efektifitas birokrasi, jika manusia dan institusinya sudah siap atau dapat disiapkan ke perubahan sistem administrasi ke arah desentralisasi yang lebih besar, maka strategi, teknik, dan alat apa yang dikembangkan untuk menunjangnya?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PEMBERANTASAN KORUPSI MELALUI PERAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA DAN GOOD GOVERNANCE.

Dalam melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintah yang baik, sebenarnya sudah ada sejak zaman Plato, jika dilihat dari aspek historis maka di dalamnya terdapat dua pendekatan ( secara personal dan secara sistem ).

Pendekatan secara personal telah dimulai pada masa Plato. Menurutnya, penyelenggaraan kekuasaan yang ideal dilakukan secara paternalistik, Pada bagian lain, Plato mengusulkan agar negara menjadi baik, harus dipimpin oleh seorang filosof yang arif bijaksana, menghargai kesusilaan, dan berpengetahuan tinggi. Dan pendekatan yang ke dua yakni pendekatan secara sistem, disini Plato sendiri merubah gagasannya yang semula mengidealkan pemerintah itu dijalankan oleh raja-filosof menjadi pemerintahan yang dikendalikan oleh hukum. Karena menurut Plato, penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik.

Namun dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah berbagai bidang kehidupan dan pemerintahan ke arah yang dicita-citakan. Akibat kemajuan tersebut, globalisasi telah melanda di berbagai penjuru dunia, yang membawa implikasi pada pemilihan dan praktek penyelenggaraan pemerintahan, yang pada akhirnya menimbulkan pergeseran pada sejumlah paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pertama, terjadinya perubahan paradigma dari government ke governance, dan good governance. Kedua, terjadinya pergeseran paradigma tentang peran pemerintah dari rowing the boat ke steering the boat. Dan pergeseran peran administrasi negara dari service provider menjadi service enabler. Ketiga, perubahan paradigma birokrasi dari weberian paradigm of bureaucracy, yang sangat hirarkhis dan rules driven, menjadi flat organization dan mission driven.

Dalam era globalisasi juga telah memudarkan batas-batas yang jelas antara hukum publik dan hukum privat. Sementara itu terjadi perubahan teori Hukum Administrasi Negara dari red light theory menjadi green light theory dan kearah reinvented theory. Dengan demikian perlu dilakukan perubahan-perubahan dan penyesuaian penyesuaian kebijakan di berbagai bidang Pemerintahan, dalam mengantisipasi pergeseran-pergeseranparadigma tersebut di atas, untuk menghadapi era globalisasi yang melanda berbagai penjuru dunia. Sehingga dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintah yang baik dapat tercapai dengan lancar.
Dengan latar belakang pemikiran-pemikiran itulah, maka kiranya perlu dibentuk suatu pusat kajian yang dapat memberikan kontribusinya bagi berlangsungnya pergeseran-pergeseran paradigma tersebut, ke arah yang mendukung bagi berlangsungnya pembangunan nasional kita. Untuk itulah, maka dibentuk Pusat Kajian Hukum dan Kepemerintahan yang Baik.

Prinsip Good Governance atau asas umum pemerintahan yang baik merupakan ideologi lama yang baru mendapat tempat ketika kondisi negara sudah dalam keadaan kacau baik di bidang politik, ekonomi, sosial hukum, dan administrasi, termasuk didalamnya mekanisme/proses dan lembaga-lembaga yang menanganinya.
Konsep Good Governance ini sudah lama berkembang, bermula dari adanya rasa ketakutan (fear) sebagian masyarakat terhadap freies ermessen yang memberikan wewenang kepada pejabat negara/ administrasi untuk bertindak sendiri di luar peraturan perundang-undangan. Kewenangan yang diberikan ini dikuatirkan akan menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat sehingga mucullah apa yang dinamakan prinsip umum pemerintahan yang baik atau the general principle of good administration. 

Prinsip ini sekarang sudah diterima sebagai suatu keharusan. Asas-asas pemerintahan yang baik ini dikembangkan oleh teori ilmu hukum dan yurisprudensi baik di lingkungan adminstrasi negara maupun oleh putusan-putusan pengadilan sehingga mendapat tempat yang layak dalam peraturan perundang-undangan di beberapa negara termasuk Indonesia. Banyak negara telah menerapkan prinsip ini sekitar 50-100 tahun yang lalu, sedangkan Indonesia baru mengemuka di era reformasi ini.

Banyak unsur dari prinsip good governance yang telah diterima oleh masyarakat, hal terpenting dari unsure tersebut adalah kecermatan (carefulness), kepastian (security), kewajaran (reasonableness), persamaan (equality), dan keseimbangan (balances).

Jika dihubungkan dengan negara secara keseluruhan maka prinsip good governance merupakan prinsip yang mengetengahkan keseimbangan hubungan antara masyarakat (society) dengan negara (state) serta negara dengan pribadi-pribadi (personals). Ini artinya, setiap kebijakan public (public policy) mau tidak mau harus melibatkan berbagai pihak dan sektor baik pemerintah, masyarakat maupun sektor swasta dengan aturan main yang jelas. Dengan demikian, penerapan good governance di Indonesia diharapkan terciptanya format politik demokratis, dan melahirkan model alternative pembangunan yang mampu menggerakkan partisipasi masyarakat di segala bidang kehidupan.

Bila dilihat dari kondisi Indonesia yang amburadul saat ini, maka prinsip good governance ini jelasjelas bukanlah obat mujarab untuk melindungi dan membersihkan negara ini dari isu korupsi, kolusi dan nepotime. Karena korupsi sudah ada ditengah-tengah kita sejak awal manusia mulai membentuk organisasi dan korupsi meruapakan bagian dari kegiatan kolektif kita. Namun demikian, tidak berarti kita boleh bersikap acuh tak acuh, karena korupsi merusak kehidupan ekonomi dan landasan moral tata kehidupan.

Pada umumnya kita cenderung menganggap korupsi tidak ada, atau cenderung tidak mengindahkannya. Memang benar, sulit untuk melihat apakah korupsi ada atau tidak, karena korupsi berlangsung dalam selubung kerahasiaan. Selain itu menurut Aristoteles, kesulitan ini juga karena ”hal yang biasa terjadi sehari-hari mendapat perhatian paling kecil dari masyarakat”. Namun, kita harus membangkitkan dorongan yang lebih kuat dalam diri kita masing-masing untuk membasmi korupsi. Zaman informasi telah membuka peluang bagi masyarakat dan organisasi non-pemerintah mendapatkan alat-alat untuk menyusun kekuatan dan informasi untuk membasmi korupsi di tingkat lokal.

Gerakan menuju desentralisasi, akuntabilitas, dan bentuk-bentuk pemerintah berdasarkan demokrasi di tingkat lokal semakin bergairah. Dalam hubungan ini kerugian besar yang ditimbulkan korupsi semakin banyak dibicarakan dalam masyarakat. Masyarakat luas juga mengharapkan melalui good governance dapat mengkikis habis semua perbuatan yang merugikan kepentingan umum yang terjadi dalam pemerintahan. Korupsi adalah simbol dari pemerintahan yang tidak benar, yang dicerminkan oleh patronese, prosedur berbelit-belit, unit pemungut pajak yang tidak efektif, pengurusan lisensi, korupsi besar-besaran dalam pengadaan barang dan jasa, dan layanan masyarakat yang sangat buruk.

Sebagaimana diuraikan di atas bahwa sejarah lahirnya good governance ini berawal dari rasa ketakutan sebagian masyarakat terhadap kebebasan bertindak dari pajabat negara dalam menjalankan tugasnya. Pada mulanya asas ini mendapat tantangan khususnya dari pejabat-pejabat dan pegawai pemerintah karena ada kekuatiran bahwa hakim atau peradilan administrasi kelak akan mempergunakan istilah ini untuk memberikan penilaian terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil pemerintah. Namun keberatan tersebut saat ini telah lenyap karena tidak ada relevansinya lagi. Freies Ermessen tetap dapat dilaksanakan pemerintah dalam melakukan fungsinya, bahkan untuk masa sekarang asas-asas umum pemerintahan yang baik itu telah diterima dan dimuat dalam berbagai peraturan undang-undangan.

Beberapa unsur pemeritahan yang baik, yang telah memperoleh tempat yang layak dalam peraturan perundang-undangan di beberapa negara antara lain:
1. Asas bertindak cermat;
2. Asas motivasi;
3. Asas kepastian hukum;
4. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan;
5. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal;
6. Asas menanggapi penghargaan yang wajar;
7. Asas kebijaksanaan;
8. Asas tidak mencampuradukkan kewenangan;
9. Asas keadilan dan kewajaran;
10. Asas penyelenggaraan kepentingan umum;
11. Asas keseimbangan;
12. Asas permainan yang layak;
13. Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara) hidup pribadi.

Perumusan dan penetapan asas-asas tersebut di atas berpangkal pada teori-teori hukum umumnya dan yurisprudensi serta norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Apabila asas-asas ini digunakan oleh hukum Indonesia, maka asas ini tidak boleh terlepas dari norma-norma hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia.

Menurut Abdul Gani Abdullah, good governance itu berhubungan erat dengan manajemen pengelolaan kebijakan pembangunan (khususnya bidang hukum). Apabila seorang pejabat publik akan mengambil keputusan dalam melaksanakan pemangunan, terlebih dahulu dia harus menerapkan prinsipprinsip penyelenggaran pemerintahan yang baik sehingga hasil akhirnya secara menyeluruh adalah suatu perintah yang baik. Keputusan yang diambil oleh seroang pejabat publik baik itu berbentuk kebijakan (bescchiking) maupun aturan umum (regeling) harus benar-benar berdasarkan kewenangan yang diberikan undang-undang maupun yang dilimpahkan oleh pejabat. Ciri good governance di sini adalah keputusan tersebut diambil secara demokratis, transparan, akuntabilitas, dan benar.

Konsep good governace sangat diperlukan dalam pembangunan berkelanjutan karena merupakan prasyarat untuk mendapatkan keseimbangan yang efektif antara lingkungan dan pembangunan. Tanpa ini pembangunan berkelanjutan akan salah arah. 

Good governance adalah pelaksanaan otoritas politik, ekonomi dan adminstratif dalam pengelolaan sebuah negara, termasuk di dalamnya mekanisme yang kompleks serta proses yang terkait, lembagalembaga yang dapat menyuarakan kepentingan perseorangan dan kelompok serta dapat menyelesaikan semua persoalan yang muncul diantara mereka. Persyaratan minimal untuk mencapai good governance adalah adanya transparansi, pemberdayaan hukum, efektifitas dan efisiensi, serta keadilan.

Dalam hubungan denga dunia hukum ada berapa unsur dari good governance yang perlu menjadi perhatian antara lain:
1. Pertama, adanya aturan aturan hukum bagi seluruh tindakan ataupun kabijakan yang di ambil dalam proses penyelenggaran pemerintah.
2. Kedua adanya suatu perancangan peraturanperundang-undangan malalui beberapa ukuran standar misalnya standar empirik ,standar filosofistik standar futuralistik, dan standar HAM, serta standar keadilan.

Standar empirik artinya pembuat peraturan perundang undanga harus jelas tujuannya, jelas kepentingan yang dilindungi, undang-undang itu terbentuk karena dibutuhkan oleh masyarakat sehingga diterima oleh masyarakat sebagai aturan yang mengatur kehidupan mereka dan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat yang ada. Misalnya di era reformasi ini di mana keterbukaan menjadi pilihan utama, kemudian ada undang-undang yang di sebut justru menghambat katerbukaan maka undang-undang tersebut jelas akan di tolak masyarakat. Sebagai contoh undang-undang penyiaran dianggap justru menghambat kebebasan mengeluarkan pendapat dan menghambat keleluasan lembaga penyiaran dalam melakukan tugas nya atau karena ada intervensi pemerintah. 

Standar filosofistik bahwa pembuatan undang-undanh harus bersifat universal yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan masyarakat. Di sana tidak boleh ada pertentangan atau saling menyalahi. Standar ini juga mengatur kehidupan manusia berdasarkan kehidupan agama dan pemahaman nilai-nilai universal kemanusiaan sehingga masalah persamaan, martabat manusia, hak asasi dan kewajiban asasi seseorang manusia harus terpenuhi.

Standar futuralistik artinya undang-undang tersebut dapat memprediksi apa yang akan terjadi di masa akan datang sehingga diketahui perlu atau tidaknya perubahan undang-undang. Undang-undang tersebut bersifat supel yang dapat diterapkan dlam beberapa tahun ke depan. Di Indonesia sering terjadi peraturan perundang-undangan silih berganti, baru berlaku sebentar sudah diganti dengan yang lain misalnya Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-undang di bidang Pasar Modal juga demikian, karena peraturan di bidang hukum bisnis terus berubah sejalan dengan perkembangan masyarakat bisnis, tetapi yang jelas diperlukan standar yang pasti.

Standar HAM artinya undang-undang yang dibuat tidak boleh mengorbankan HAM, tidak boleh bertentangan dengan hak-hak pribadi seseorang dan bertentangan dengan kepentingan umum. 

Standar keadilan berarti undang-undang yang dibuat harus transparan, akuntabilitas, persamaan, dan dapat memberikan keadilan kepada masyarakat. Hal yang penting dalam prinsip good governance adalah pemberdayaan hukum seperti adanya peraturan dan kebijakan dan system peradilan pidana yang independent, dan professional.

Bentuk asas umum pemerintahan yang baik di Indonesia, secara resmi belum dirumuskan dengan rinci dalam bentuk tertulis. Istilah Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) itu masih sangat jarang sekali ditemukan. Istilah tersebut mungkin baru pertama ditemuka dalam Inpres No. 15 Tahun 1983 dengan menggunakan istilah “Sendi-sendi Kewajaran Penyelenggaraan Pemerintahan“ untuk mencapai apartur negara yang bersih dan berdaya guna.

Namun demikian, terlepas dari istilah, asas-asas itu sesungguhnya secara materiel telah terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi. Karena itu AUPB tersebut, tidak saja mempunyai kekuatan mengikat secara moral dan doktrinal9 tetapi lebih dari asas umum pemerintahan yang baik juga mempunyai kekuatan mengikat secara hukum, dan merupakan salah satu sumber Hukum Administrasi Negara (HAN) formal. Undang-undang sebagai salah satu sumber HAN formal maksudnya bukan hanya undang-udang dalam arti formal, tetapi mencakup semua undang-undang dalam arti materiel yaitu produk hukum yang mengikat seluruh penduduk secara langsung.

Upaya mewujudkan good governance di Indonesia merupaka suatu prioritas dalam rangka menciptakan suatu tatanan masyarakat, bangsa, dan negara yang lebih sejahtera, jauh dari korupi, kolusi, dan nepotisme, karena dalam kenyataannya masyarakat masih jauh dari hidup layak, korupsi masih meraja lela. Namun demikian perjuangan dalam menciptakan pemerintahn yang bersih tidak boleh berhenti, harus tetap dilanjutkan dan diupayakan semaksimal mungkin hingga suatu saat akan dirasakan begitu bermatabatnya bangsa yang memiliki komitmen, tanggung jawab, dan harga diri. 

Konsep good governance bukan saja clean governance tetapi semua faktor-faktor pendukung harus memiliki code of conductnya sendiri, ada ketaatan kepada hukum, sistem dan sebagainya. Namun demikian tetap saja fungsi negara untuk melindungi kelompok-kelompok yang tidak mempunyai kekuasaan haruslah memegang peranan penting di dalam mewujudkan good governance, karena sampai saat ini kita memiliki civil society yang korup. Negara yang berhasil menarapkan good governance di Asia antara lain Korea Selatan dan Thailand. Kedua Negara tersebut memiliki komitmen politik dari pemimpin mereka meski tidak semua. Di Indonesia komitmen politik itu belumlah begitu jelas. Komitmen politik itu bias dimulai dari Presiden, Wakil Presiden, Kapolri, Kepala BUMN dan sebagainya.

Di dalam bukunya Robert Klitgoard disebutkan jika sistem pembertantan korupsi belum terbangun, begitu juga sistem politik dan sistem hukum belum terbentuk dan tidak mendukung, maka pemberantasan korupsi harus dimulai dari tingkat atas atau pemimpinnya. Hal tersebut berhasil diterapkan di Singapura, Hongkong dan Thailand. Hal ini belum kita temukan di Indonesia kecuali hanya diucapkan pada saat kampanye pemilu. Sebagian besar pemilihan kepala daerah dipilih melalui proses politik yang kotor, bagaiman mungkin mendapat gubernur dan bupati yang bersih.

Salah satu program good governance adalah pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi menurut Klitgoard ditimbulkan karena ada monopoli, kekuasaan, dan diskresi yang begitu besar. Selama masih ada sentralisasi kekuasaan dan aturan-aturan yang tidak jelas dan tidak ada pertanggungjawab publik maka akan menimbulkan peluang korupsi. Di Indonesia dapat kita lihat peluang korupsi begitu besar, birokrasi begitu panjang,gaji pegawai negeri yang kecil, tidak adanya sistem public complain dan hampir semua partai politik mencari uang untuk membesarkan partainya.

Korupsi itu bukan merupakan kejahatan kalkulasi, dan bukan kejahatan orang bodoh, karena korupsi merupakan kejahatan rasional, orang akan melakukan korupsi jika keuntungan banyak dan resikonya kecil. Di Indonesia peluang ini terbuka lebar, tidak ada hukuman yang jelas, tidak ada ancaman untuk dikucilkan, dicemohkan. Acaman hukuman menjadi tidak jelas karena pengadilan sudah dikuasai oleh para mafia, hukum selalu dan diperjual belikan putusan pengadilan selalu dimenangkan oleh penawar yang lebih tinggi.

Sejak era reformasi bergulir dipertengahan tahun 1998, masalah korupsi menjadi salah satu kajian menarik untuk dibicarakan dan diangkat kepermukaan. Usaha-usaha pemberatnsan korupsi di Indonesia secara yuridis sudah dimulai sejak tahun 1957 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemberantasan Korupsi; Peraturan Penguasa Militer Angkatan darat dan Laut Nomor Prt/PM/06/1957 dan Peraturan Penguasa Perang Pusat (Peperpu) No. 13 yang kemudian menjadi UU No. 24 /Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

Kemudian dilanjutkan dengan usaha-usaha pemberatansan korupsi oleh pemerintah sejak awal 1970-an yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No, 228/1967 Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) hingga lahirnya UU No. 3/1971 tentang Tindak Pidana Korupsi. Begitu juga dengan pembinaan upaya pembinaan dari pejabat-pejabat telah dirtingkatkan melalui pengawasan yang ketat, baik yang dilakukan oleh intern departemen dan lembaga maupun secara ekstern oleh Menteri Aparatur Negara. Namun seiring dengan pesatnya pembangunan, terasa pula semakin meingkatnya kebocoran dalam pembangunan, terbukti dengan kasus-kasus korupsi yang menyangkut kerugianm negara milyaran hinggs triliyunan rupiah.

Korupsi merupakan salah satu bentuk perbuatan melanggar hukum yang sangat membahayakan keadaan keuangan negara, dan akan berakibat terhambatnya pembangunan, karena banyak dana yang keluar tidak sesuai dengan pembangunan itu sendiri, sehingga tujuan yang diharapkan tidak tercapai. Oleh karena itu perlu ditingkatkan kebijakan serta langkah-langkah penegakan hukum berupa penindakan terhadap perkara korupsi, penyalahgunaan wewenang dan lain sebagainya.

Seiring dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta peran masyarakat untuk mencegah dan memberantasnya, maka pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain:
1. UU No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
2. UU No. 11/1980 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Suap;
3. UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Koripsi, Kolusi dan Nepotisme;
4. UU No. 31/1999 tentang Pemberantasn Tindak Pidan Korupsi;
5. UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
6. UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
7. PP No. 30/1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri sipil;
8. PP No. 71/2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian
Penghargaan Dalam Pencegah dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
9. Instruksi Presiden No. 5 /2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) berdasarkan UU No. 30/2002, maka Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) sebagaiman diatur dalam UU No. 28/1999 menjadi bagian Komisi Pemberantasn Korupsi.

Dari segi semantik korupsi berasal dari bahasa Inggris yaitu corrupt, yang berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptos dalam bahasa Yunani. Istilah ini kemudian berkembang dalam bahsa Inggris dan Prancis menjadi corruption, bahasa Belanda koruptie dan dalam bahasa Indonesia yaitu korupsi. Arti dari kata korupsi itu adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral kesucian.

Dalam Kamus umum Bahasa Indonesia, korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. 

Menurut Transparancy International korupsi adalah ”perilaku pejabat publik, baik politis maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepadanya.

Definisi korupasi banyak sekali, dalam arti luas, korupsi berarti menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi. Jabatan adalah kedudukan kepercayaan. Seseorang diberi wewenang atau kekuasaan untuk bertindak atas nama lembaga. Lembaga itu bisa lembaga swasta, lembaga pemerintah, atau lembaga nirlaba. 

Korupsi berarti memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan, atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah. Korupsi adalah tidak melaksanakan tugas karena lalai atau sengaja.

Korupsi juga bisa dinyatakan sebagai suatu pemberian, dalam prakteknya korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungan dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya. Secara hukum pengertian korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindakpidana korupsi. Untuk tulisan ini pengertian korupsi lebih ditekankan pada perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi atau golongan.

Namun dalam praktek ternyata masalah pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dilaksanakan dengan pendekatan hukum semata-mata, karena penyakit ini sudah menyebar luas ke seluruh tatanan social dan pemerintahan hampir di semua negara. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan tidak hanya sematamata bersifat represif, tetapi seharusnya juga bersifat preventif dan rehabilitatif.

Pendekatan preventif yang ampuh antara lain dengan menciptakan iklim kerja yang sehat dalam lingkup tugas pemerintahan, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah. Tanpa langkah preventif dimaksud, maka pemberantasan korupsi hanya akan berhasil mengatasi ”gejala” dan bukan menghancurkan akar penyebab dan sumber penyakit korupsi yang justru tumbuh subur di kalangan masyarakat.

Langkah preventif berdaya guna harus juga diarahkan pada upaya untuk memberdayakan seluruh komponen dalam masyarakat, baik tua maupun muda, serta melalui lembaga-lembaga peradilan dan ”informal leader” agar semua lapisan masyarakat memiliki semangat untuk membenci korupsi. Langkah ini diharapkan dapat menciptakan budaya anti korupsi di kalangan masyarakat luas.

Dalam hal ini maka kultur masyarakat Indonesia yang bersifat paternalistik tidak boleh dilihat sebagai penghambat untuk melaksanakan upaya preventif dan upaya represif tersebut di atas, melainkan harus dilihat sebagai hal yang potensial yang memiliki daya guna yang tinggi untuk memberantas korupsi. Caranya adalah dengan menumbuhkan kebiasaan baik untuk tidak menerima atau meminta ”upeti” dan harus selalu memelihara konsistensi antara sikap dan ucapan. Sumber penyebab meminta upeti dikalangan pejabat pemerintah ialah karena mereka memiliki keserakahan atau dalam bahasa agamais, karena mereka termasuk orang yang kurang atau tidak bersyukur atas banyaknya nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan Yang maha Esa kepada mereka. Berlainan halnya dengan perbuatan mencuri yang dilakukan oleh mereka yang berada dilapisan bawah dan sering dilakukan dalam keadaan terpaksa, karena hanya untuk sekedar mempertahankan diri agar tetap hidup.

Dalam konteks hubungan pemerintahan pusat dan daerah sesuai dengan UU No. 32/2004 tentang OTDA dan UU No. 25/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah,maka konsep good governance sebagai salah satu pendekatan yang diandalkan tidak akan dapat menjamin berkurangnya praktek korupsi, karena pejabat pemerintahan di pusat harus terlebih dahulu memberikan teladan yang baik kepada pejabat daerah. Hal ini secara rasional dapat dibenarkan karena ekses dari dominasi pusat sebagai pusat kekusaan dan uang.

Di sisi lain juga ada kekuatiran bahwa dengan pelimpahan wewenang sebagian tuga pusat ke daerah sesuai dengan undang-undang tersebut di atas, maka penyakit korupsi di pusat akan pindah ke daerah. Hal ini dapat dicegah dengan mengembangkan sistem check and balance, baik secara internal kelembangaan maupun secara eksternal melalui pemberdayaan masyarakat luas untuk merasa memiliki dan berkepentingan atas maju mundurnya daerah masing-masing. 

Masalah korupsi di daerah akan semakin rumit jika di lihat pada sektor swasta yang tumbuh dan berkembang di daerah, apalagi dengan akan dibukanya arus penanaman modal asing untuk langsung masuk ke daerah melalui prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, maka sudah tentu jika tidak diatur secara ketat akan menimbulkan efek negatif di lingkungan pergaulan internasional. Pencegahan yang efektif untuk mencari solusi yang tepat ialah dengan melakukan pembinaan terhadap potensi daerah, terutama para tenaga ahli dan tenaga profesional dalam bidang masing-masing dengan mengikutsertakan lembaga-lembaga pendidikan yang kompoten untuk iktu bekerja sama dalam membangun daerahnya masing-masing. . Pemikiran ini sejalan dengan situasi sekarang ini karena semua perguruan tinggi negeri saat ini sedang menempa dirinya untuk menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

Oleh karena itu untuk adanya keharmonisan antara pemerintahan pusat dan daerah perlu diatur dalam satu perangkat perundang-undangan yang memadai baik tingkat tingkat pusat maupun tingkat daerah yang mendorong terjadinya kemajuan pesat dalam konteks pengembangan potensi dan kewenangan daerah dan terciptanya ’good governance” di daerah.

Prinsip Good Governance atau asas umum pemerintahan yang baik merupakan ideologi lama yang baru mendapat tempat ketika kondisi negara sudah dalam keadaan kacau baik di bidang politik, ekonomi, sosial hukum, dan administrasi, termasuk didalamnya mekanisme/proses dan lembaga-lembaga yang menanganinya. Banyak negara telah menerapkan prinsip ini sekitar 50-100 tahun yang lalu, sedangkan Indonesia baru mengemuka di era reformasi ini.

Priinsip good governance sebenarnya merupakan prinsip yang mengetengahkan keseimbangan antara masyarakat (society) dengan negara (state) serta negara dengan pribadi-pribadi (personals). Artinya, setiap kebijakan public (public policy) harus melibatkan berbagai pihak baik pemerintah, masyarakat maupun nsektor swasta dengan aturan main yang jelas. Ciri good governance di sini adalah keputusan tersebut diambil secara demokratis, transparan, akuntabilitas, dan benar. 

Upaya mewujudkan good governance merupaka suatu prioritas dalam rangka menciptakan suatu tatanan masyarakat, bangsa, dan negara yang lebih sejahtera, jauh dari korupi, kolusi, dan nepotisme. nPerjuangan dalam menciptakan pemerintahn yang bersih tidak boleh berhenti, harus tetap dilanjutkan dan diupayakan semaksimal mungkin hingga suatu saat akan dirasakan begitu bermatabatnya bangsa yang memiliki komitmen, tanggung jawab, dan harga diri.

Negara yang berhasil menerapkan good governance di Asia antara lain Korea Selatan dan Thailand. Kedua Negara tersebut memiliki komitmen politik dari pemimpin mereka meski tidak semua. Jika system pembertantas korupsi, sistem politik dan sistem hukum belum terbangun dan tidak mendukung, maka pemberantasan korupsi harus dimulai dari tingkat atas atau pemimpinnya. Hal tersebut berhasil diterapkan di Singapura, Hongkong dan Thailand. Namun belum kita temukan di Indonesia kecuali hanya diucapkan pada saat kampanye pemilu dan sebagian besar pemilihan kepala daerah dipilih melalui proses politik yang kotor, sehingga akan sulit mendapatkan gubernur dan walikota/bupati yang bersih. Peluang korupsi begitu besar, birokrasi begitu panjang, gaji pegawai negeri yang kecil, tidak adanya sistem public complain dan hamper semua partai politik mencari uang untuk membesarkan partainya.

Dari segi hukum, peraturan yang ada dapat dikatakan memadai, karena sudah diberlakukn sejumlah peraturan perundang-undangan yang sifatnya anti korupsi. Namun dalam prakteknya masalah pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dilaksanakan dengan pendekatan hukum semata-mata, karena korupsi sudah menyebar luas ke seluruh tatanan sosial dan pemerintahan hampir di semua negara. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan tidak hanya bersifat represif, tetapi juga preventif dan rehabilitatif.

Pendekatan preventif antara lain dengan menciptakan iklim kerja yang sehat dalam lingkup tugas pemerintahan pusat maupun di tingkat daerah. Tanpa langkah preventif, maka pemberantasan korupsi hanya akan berhasil mengatasi ”gejala” dan bukan menghancurkan akar penyebab dan sumber korupsi yang justru tumbuh subur di kalangan masyarakat. 

Konsep good governance sebagai salah satu pendekatan yang diandalkan tidak akan menjamin berkurangnya praktek korupsi, jika pejabat pemerintahan di pusat tidak memberikan teladan yang baik kepada pejabat daerah. Hal ini secara rasional dapat dibenarkan karena ekses dari dominasi pusat sebagai pusat kekusaan dan uang.

Di sisi lain juga ada kekuatiran dengan pelimpahan wewenang sebagian tugas pusat ke daerah, maka dipastikan korupsi di pusat akan pindah ke daerah. Namun hal ini mungkin dapat dicegah dengan dikembangkan sistem check and balance, baik secara internal maupun eksternal melalui pemberdayaan masyarakat untuk merasa memiliki dan berkepentingan atas maju mundurnya daerah masing-masing.

Daftar Pustaka
Abdullah, Abdul Gani. Legal Drafting & Good Governance. Jurnal Keadilan. Vol2. No. 5 Tahun 2002.
Syamsudin, Amir. “Asas Umum Pemerintahan yang Baik”. Jurnal Keadilan. Vol. 2 No. 5 Tahun 2005: Jakarta
Hamzah, Andi. Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya. 1991. Jakarta: Gramedia
Hafild , Emmy. Transparancy International Annual Report (Transparancy International), Jakarta 2004
Ceote, Husin. “Pengelolaan Sumber Daya Alam & Lingkungan Serta Good Governance di Era Otonomi Daerah dalam Pembangunan Berkelanjutan”, Jurnal Keadilan, Vol2. No. 5 Tahun 2002.
Muchsan, Pengantar Hukum Adminstrasi Nagara Indonesia, Liberty, Yogjakarta, 1982, hal. 2
Narbun SF & Nuh. Mahfud, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Leberty, Yogyakarta, 1987, hal. 58-59.
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hal.77.
Poerwadaminta WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, , Jakarta: Balai Pustaka
Robert Kligaard, Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 2005,
Teten Masduki,” Implewmentasi Prinsip Goog Governance di Indonesi” Jurnal Keadilan, Vol2. No. 5 Tahun
2002.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

5 PARADIGMA ADMINISTRASI NEGARA

Paradigma I : Dikotomi Politik-Administrasi (1900-1926)
Frank J Goodnow dan Leonard D White dalam bukunya Politics and Administration menyatakan dua fungsi pokok dari pemerintah yang berbeda:
1)Fungsi politik yang melahirkan kebijaksanaan atau keinginan negara,
2)Fungsi Administrasi yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan negara.
Penekanan pada Paradigma ini terletak pada Locusnya, menurut Goodnow Locusnya berpusat pada ( government Bureucracy ) birokrasi Pemerintahan. Sedangkan Focusnya yaitu metode atau kajian apa yang akan dibahas dalam Administrasi Publik kurang dibahas secara jelas (masalah pemerintahan, politik dan kebijakan).
Administrasi negara memperoleh legitimasi akademiknya lewat lahirnya Introduction To the study of Public Administration oleh Leonard D White yang menyatakan dengan tegas bahwa politik seharusnya tidak ikut mencampuri administrasi, dan administrasi negara harus bersifat studi ilimiah yang bersifat bebas nilai.
Paradigma ini muncul karena adanya ketidakpuasan terhadap trikotomi ala trias politika, dan kemudian menggantinya dengan dua fungsi yaitu politik dan administrasi. Politik sebagai penetapan kebijaksanaan, sedangkan administrasi sebagai pelaksanaan kebijakan.

Paradigma II: Prinsip-Prinsip Administrasi Negara (1927-1937)
Di awali dengan terbitnya Principles of Public Adminisration karya W F Willoughby. Pada fase ini Administrasi diwarnai oleh berbagai macam kontribusi dari bidang-bidang lain seperti industri dan manajemen, berbagai bidang inilah yang membawa dampak yang besar pada timbulnya prinsip-prinsip administrasi. Prinsip-prinsip tersebut menjadi Focus kajian Administrasi Publik, sedangkan Locus dari paradigma ini kurang ditekankan karena esensi prinsip-prinsip tersebut, dimana dalam kenyataan bahwa bahwa prinsip itu bisa terjadi pada semua tatanan, lingkungan, misi atau kerangka institusi, ataupun kebudayaan, dengan demikian administrasi bisa hidup dimanapun asalkan Prinsip-prinsip tersebut dipatuhi.
Pada paradigma kedua ini pengaruh manajemen Kalsik sangat besar. Tokoh-tokohnya adalah :
• F.W Taylor yang menuangkan 4 prinsip dasar yaitu ; perlu mengembangkan ilmu manajemen sejati untuyk memperoleh kinerka terbaik ; perlu dilakukukan proses seleksi pegawai ilmiah agar mereka bisa tanggung jawan dengan kerjanya ; perlua ada pendidikan dan pengembangan pada pegawai secara ilmiah ; perlu kerjasama yang intim antara pegawai dan atasan ( prinsip management ilmiah Taylor )
• Kemudian disempurnakan oleh Fayol ( POCCC ) dan Gullick dan Urwick ( Posdcorb )

Paradigma III Administrasi Negara Sebagai Ilmu Politik (1950-1970)
• Menurut HERBERT SIMON ( The Poverb Administration ) à Prinsip Managemen ilmiah POSDCORB tidak menjelaskan makna “ Public” dari “public Administration “ menurut Simon bahwa POSDCORB tidak menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan oleh administrator publik terutama dalam decision making. Kritik Simon ini kemudian menghidupkan kembali perdebatan Dikotomi administrasi dan Politik
• Kemudian muncullah pendapat Morstein-Mark ( element Of Public Administration yang kemudian kembali mempertanyakan pemisahan politik san ekonomi sebagai suatu hal yang tidak realistik dan tidak mungkin
• Kesimpulannya Secara singkat dapat dipahami bahwa fase Paradigma ini menerapkan suatu usaha untuk menetapkan kembali hubungan konseptual antara administrasi saat itu, karena hal itulah administrasi pulang kembali menemui induk ilmunya yaitu Ilmu Politik, akibatnya terjadilah perubahan dan pembaruan Locusnya yakni birokrasi pemerintahan akan tetapi konsekuensi dari usaha ini adalah keharusan untuk merumuskan bidang ini dalam hubungannya dengan focus keahliannya yang esensial. Terdapat perkembangan baru yang dicatat pada fase ini yaitu timbulnya studi perbandingan dan pembangunan administrasi sebagi bagian dari Administrasi negara.

Paradigma IV: Administrasi Negara Sebagai Administrasi (1956-1970)
Istilah Administrative Science digunakan dalam paradigma IV ini untuk menunjukkan isi dan focus pembicaraan, sebagai suatu paradigma pada fase ini Ilmu Administrasi hanya menekankan pada focus tetapi tidak pada locusnya. Ia menawarkan teknik-teknik yang memerlukan keahlian dan spesialisasi, pengembangan paradigma ke-4 ini bukannya tanpa hambatan, banyak persoalan yang harus dijawab seperti misal adalah apakah jika fokus tunggal telah dipilih oleh administrasi negara yakni ilmu administrasi, apakah ia berhak bicara tentang public (negara) dalam administrasi tersebut dan banyak persoalan lainnya.

Paradigma V: Administrasi Negara sebagai Administrasi Negara (1970)
Pemikiran Herbert Simon tentang perlunya dua aspek yang perlu dikembangkan dalam disiplain AN:
1. Ahli AN meminati pengembangan suatu ilmu Administrasi Negara yang murni
2. satu kelompok yang lebih besar meminati persoalan-persolan mengenai kebijaksanaan publik.
Lebih dari itu administrasi negara lebih fokus ranah-ranah ilmu kebijaksanaan (Policy Science) dan cara pengukuran dari hasil- hasil kebijaksanan yang telah dibuat, aspek perhatian ini dapat dianggap sebagi mata rantai yang menghubungkan antara fokus administrasi negara dengan locusnya. Fokusnya adalah teori-teori organisasi, public policy dan tekhnik administrasi ataupun manajemen yang sudah maju, sedangkan locusnya ialah pada birokrasi pemerintahan dan persoalan-persoalan masyarakat (Public Affairs).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

ANALISIS KASUS MERCY KILLING DALAM PERSPEKTIF ETIKA SOSIAL

LATAR BELAKANG
Persoalan etika sosial menyeruak karena semakin kompleksnya kehidupan masyarakat modern berbarengan dengan globalisasi masalah-masalah social, politik, ekonomi, dan budaya. Jangkauan telaah etika sosial pun semakin luas, bukan saja melibatkan hubungan antarkelompok masyarakat namun juga antaretnis atau Negara.
Sekiranya setiap orang menuntut kebebasan mutlak bagi dirinya maka tak bisa dibayangkan betapa kacaunya system social tersebut. Batas dari kebebasan seseorang adalah kebebasan orang lain. Batas-batas ini dimaksudkan untuk melindungi hak asasi manusia.
Selain memerlukan lebih banyak konseptualisasi maupun aplikasi yang bersifat multi-facet, etika social juga memerlukan pemikiran-pemikiran serius tentang interaksi antarmanusia, dan juga sikap-sikap social yang berkembang dalam masyarakat sendiri.
Etika social juga mempersoalkan hak setiap pranata untuk memberi perintah yang harus ditaati. Bukan berarti etika social menolak adanya norma dan mencegah pelbagai pranata dalam masyarakat untuk menuntut ketaatan, tetapi yang lebih dari itu, adalah kepastian mengenai pertanggungjawaban.
Etika social lebih banyak mengundang perdebatan karena masalah-masalah yang ada di dalamnya lebih mudah menimbulkan beragam pandangan dibandingkan dengan etika individual. Disamping itu, dalam kenyataan dapat dilihat bahwa norma-norma dalam etika social harus selalu diterapkan pada keadaan yang konkret. Setiap norma menjelmakan kebaikan, secara umum kewajiban setiap manusia adalah melakukan kebaikan, namun cara-cara untuk melakukan kebaikan itu beraneka ragam. Seperti sebuah kasus pembunuhan pada penderita HIV AIDS akut yang didasari oleh niat baik dan rasa kasihan si pelaku, yang akan penulis analisis melalui perspektif etika social berikut.

Kebaikan yang “Lain”
Secara umum kebaikan berarti sifat atau karakterisasi dari sesuatu yang menimbulkan pujian. Apabila orang menginginkan kebaikan dari suatu perilakunya, ia akan berusaha bersikap baik, normal, rasionalitas, dan sebagainya.
Jika menginginkan kebaikan tatanan sosial, maka yang diperlukan adalah sikap-sikap sadar hukum, saling menghormati, perilaku yang baik, dan sebagainya. Ide lingkup kebaikan ini sangat universal. Namun, kebaikan ini tidak bermakna lagi jika buntut dari kebaikan tersebut berbuah sesuatu yang berbau kriminal.
Seperti yang dilakukan oleh Ray Gosling, 70 tahun, seorang veteran reporter British TV, yang membuat greger publik Inggris setelah mengaku menghabisi sendiri pasangannya karena tak tahan melihat penderitaan sang pacar yang mengidap penyakit AIDS.
Menurutnya, pasangannya tersebut sangat kesakitan, sehingga ia memutuskan menghabisi nyawa pacarnya dengan cara mengambil bantal dan membekapnya hingga tidak bernapas lagi.
Pertimbangan moral yang bisa kita gunakan disini adalah penilaian khusus pribadi dan penilaian atas pilihan tindakan. Penilaian khusus tersebut merujuk kepada pribadi baik itu menyangkut diri sendiri maupun orang lain. Jika dalam tahap sebelumnya hanya terungkap bahwa “orang yang sakit harus dibantu”. Yang berperan dalam penilaian khusus pribadi ini ialah kesadaran tentang berbagai macam perilaku dengan melibatkan penalaran-penalaran etis. Di samping itu, kesadaran tersebut juga ditunjang oleh watak dan kepekaan seseorang dalam menilai masalah sehari-hari.
Setelah melalui proses penilaian di antara beberapa alternatif tindakan yang mungkin, akhirnya orang tersebut bertindak berdasarkan keyakinan moralitasnya. Di sini pertimbangan moral yang terjadi benar-benar sudah final, walaupun ia berusaha mencari jalan keluar yang lain seperti “saya harus membunuh dia, saya tidak ingin melihat dia sakit lebih lama lagi”.
Pelaku melakukan pembunuhan tersebut atas dasar niat baik. Tapi bagaimanapun juga dilihat dari segi apapun, ia telah melakukan pembunuhan. Pembunuhan yaitu suatu tindakan untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan cara yang melanggar hukum, maupun yang tidak melawan hukum. Atas dasar kebaikanpun, ia tetap telah melakukan pembunuhan. Rasa kasihan yang berlebihan membuat ia gelap mata dengan melakukan “tindakan baiknya” melalui pembunuhan.
Dalam mempertimbangkan suatu perbuatan dari sudut moral atau etika, ia terlebih dahulu akan melihat kepada pemahaman moral yang sudah dipunyainya. Oleh karena itu, contoh ungkapan yang berlaku pada tahap ini adalah “menolong orang dengan cara tertentu adalah baik”. Predikat “dengan cara tertentu” dalam hal ini merupakan upaya menilai apakah suatu fenomena benar-benar merujuk kepada kaidah moral umum yang berlaku. Perbuatan menolong orang yang sedang dililit hutang dengan cara meminjamkan uang adalah perbuatan baik dan benar. Akan tetapi menolong seseorang yang sedang sakit dengan cara membunuhnya merupakan perbuatan yang tidak bisa dibenarkan

Kemanusiaan dan Hak untuk Hidup
Kebebasan dan hak asasi manusia serta-merta mencakup tiga komponen berikut; hak hidup, hak bebas, dan hak milik. Setiap manusia terlahir dengan hak-hak asasi beserta kebebasan untuk memilih yang mengikat dalam dirinya.
Dilihat dari kacamata psikologis, tindakan stigmatisasi dan diskriminasi bagi para penderita HIV AIDS sesungguhnya telah menjadi bagian dari tindakan membunuh penderita dengan cara-cara yang lebih keji daripada “daya bunuh” penyakit AIDS itu sendiri. Apalagi dengan tindakan yang benar-benar suatu fenomena pembunuhan.
Orang yang Hidup dengan HIV dan AIDS rentan mendapat perlakuan diskriminatif, karena stigma bahwa mereka tidak bermoral, dalam kasus ini mereka tidak layak untuk hidup. Akibatnya, mereka sering mendapat perlakukan yang tidak manusiawi; banyak di antara mereka yang dikeluarkan dari pekerjaannya, diusir dari rumahnya, maupun ditolak oleh keluarga dan kawan-kawannya, serta sejumlah perlakuan diskriminatif lainnya. Dan yang lebih parahnya lagi, cara pembunuhan dipilih sebagai wujud dari rasa sayang dan kasihan.
Diskriminasi terhadap penderita HIV dan AIDS juga dituntun oleh mitos. Orang enggan berdekatan dengan penderita HIV dan AIDS karena menyangka bisa tertular oleh keringat atau hembusan nafasnya. Dalam suasana kesalahpahaman, ketakutan, dan bahkan kebencian seperti itulah, orang-orang yang hidup dengan HIV dan AIDS harus menjalani sisa hidupnya dengan hak-hak asasi yang terampas.
Mengingat begitu kompleksnya fenomena sosial-kemanusiaan tersebut, kasus HIV dan AIDS menjadi sarat dengan muatan-muatan hak asasi manusia. Oleh karena itu, kita tidak bisa seenaknya mengekspos secara lengkap identitas dari pengidap HIV dan AIDS. Sebaliknya, kita juga tidak bisa membenarkan seorang pengidap – yang karena perasaan dendam misalnya secara bebas melakukan aktivitas yang berpotensi menularkan kepada orang lain.
Sesungguhnya, diskriminasi terhadap penderita HIV dan AIDS bukan saja melanggar hak-hak asasi manusia, melainkan juga sama sekali tidak membantu usaha mencegah epidemi ini. Mengucilkan penderita HIV dan AIDS tidak akan mengecilkan bahaya penularan HIV dan AIDS.
Kaitan moralitas dengan kasus ini sangatlah erat. Moralitas dimaksudkan untuk menentukan sampai berapa jauh seseorang memiliki dorongan untuk melaksanakan tindakan-tindakannya sesuai dengan prinsip-prinsip etika dan moral. Latar belakang budaya, pendidikan, pengalaman, dan karakter individu adalah sebagian di antara faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat moralitas seseorang. Dorongan untuk mencari kebenaran atau kebaikan senantiasa ada pada diri manusia, yang membedakan tingkat moralitas adalah kadar atau kuat tidaknya dorongan tersebut. Moralitas berkenaan dengan nilai-nilai etika dan moral yang terdapat di dalam nurani manusia beserta internalisasi nilai-nilai itu dalam dirinya.

KESIMPULAN
Dalam berbagai aspek masalah sosial dan masalah kesejahteraan umum, hampir semua keputusan akan mempunyai akibat-akibat etis yang dalam jangka panjang akan terasa begitu penting. Oleh karena itu, kesediaan seluruh komponen masyarakat untuk senantiasa memperkokoh kemampuan dalam melakukan pertimbangan-pertimbangan moral pada gilirannya merupakan landasan yang paling kuat bagi setiap dimensi pembangunan. 

DAFTAR PUSTAKA
Kumorotomo, Wahyudi. Etika Administrasi Negara. 2008. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
www.wihara.com/forum/.../3534-membunuh-demi-kebaikan
www.secangkirteh.com/forum/index.php?action=printpage
http://swaramuslim.net/more.php?id=A2442_0_1_0_M
www.unhas.ac.id/rhiza/arsip/mystudents/filsafat-
http://curhatkita.blogspot.com/2009/01/hati-hati-dengan-rasa-kasihan.html

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pengertian administrasi publik menurut 10 ahli

1. John M. Pfiffner : Administrasi publik meliputi pelaksanaan kebijakan negara yang telah ditetapkan oleh badan perwakilan politik
2. Leonard D. White : Administrasi Publik adalah semua kegiatan atau usaha untuk mencapai tujuan dengan mendasarkan kepada kebijakan Negara.
3. E.H. Litcfiled : Administrasi Negara adalah suatu studi mengenai bagaimana bermacam-macam badan pemerintah diorganisir, dilengkapi tenaga, tenaganya dibiayai, digerakkan dan dipimpin
4. Felix A. Nigro : Public Administration : a. Usaha kelompok yang bersifat cooperative di lingkungan pemerintah b. Meliputi seluruh ketiga cabang pemerintah, eksekutif, yudikatif, dan legislatif serta pertalian diantara ketiganya c. Mempunyai peranan penting dalam formulasi kebijaksanaan publik dan merupakan bagian proses politikd. Amat berbeda dengan administrati privat e. Berhubungan erat dengan berbagai macam kelompok. Kelompok privat dan individual dalam memberikan pelayanan publik
5. Chandler dan Plano (1988 : 29 ) : administrasi publik adalah suatu proses dimana sumberdaya dan personel public di organisir dan dikoordinasikan untuk memformulasikan , mengimplementasikan , dan mengelola keputusan dan kebijakan public. Disini mereka juga menjelaskan bahwa administrasi public merupakan seni dan ilmu ( art and science ) yang ditujukan untuk mengatur kebijakan public untuk memecahkan permasalahan publik yang terjadi dalam suatu organisasi atau yang lainya.
6. Mc Curdy ( 1986 ) : administrasi publik yaitu sebagai salah satu metode pemerintah suatu negara dan dapat dilihat sebagai suatu proses politik serta dapat juga dianggap sebagai cara prinsipil untuk melaksanakan berbagai fungsi negara. Berarti administrasi negara tidak hanya mengurusi soal administrative negara melainkan juga persoalan politik. Orang biasa menyebutnya dengan “ Birokrasi “.
7. Fesler ( 1980 ) : administrasi publik yaitu penyusunan dan pelaksanaan kebijakan yang dilakukan oleh birokrasi dalam sekala besar untuk kepentingan publik. Dalam teori ini pemegang kekuasaan mempunyai wewenang atau tanggung jawab yang besar dalam mengambil setiap kebijakan guna memenuhi kebutuhan publik. Pemegang kekuasaan diharapkan lebih responsif dalam mengambil kebijakan publik.
8. Barton & Chappel : melihat administrasi publik sebagai “ the work of government “ atau pekerjaan yang dilakukan pemerintah. Dalam definisi ini lebih menekankan keterlibatan personel dalam pelayanan public.
9. Nigro & Nigro : administrasi publik adalah usaha kerjasama kelompok dalam suatu lingkungan public, yang mencakup ketiga cabang yaitu judikatif, legislative, dan axekutif . pendapat ini lebih mengedepankan lembaga dalam mengambil kebijakan.
10. Starling : administrasi publik yaitu semua yang dicapai pemerintah, atau dilakukan sesuai dengan pilihan kebijakan sebagai mana yang telah di janjikan dalam kampanye pemilihan.
11. Rosenbloom : administrasi publik yaitu pemanfaatan teori dan proses manajemen, politik, dan hukum untuk memenuhi mandat pemerintah dalam rangka fungsi pengaturan pelayanan masyarakat.
12. Nicholas Henry : administrasi publik adalah suatu kombinasi yang komplek antara teori dan praktek, dengan tujuan mempromosikan pemahaman terhadap pemerintah dalam hubunganya dengan masyarakat yang di perintah, dan untuk mendorong kebijakan publik agar lebih responsive terhadap kebutuhan publik .
13. Dimock & Fox : Administrasi publik merupakan produksi barang barang dan jasa yang direncanakan untuk melayani kebutuhan masyarakat. definisi ini ditinjau dari segi atau aspek kegiatan ekonomi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

KORUPSI DAN POSISINYA DARI SUDUT PANDANG HUKUM

Peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan wujud dari politik hukum institusi Negara dirancang dan disahkan sebagai undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara parsial, dapat disimpulkan pemerintah dan bangsa Indonesia serius melawan dan memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini. Tebang pilih. Begitu kira-kira pendapat beberapa praktisi dan pengamat hukum terhadap gerak pemerintah dalam menangani kasus korupsi akhir-akhir ini. Gaung pemberantasan korupsi seakan menjadi senjata ampuh untuk dibubuhkan dalam teks pidato para pejabat Negara, bicara seolah ia bersih, anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan Ormas pun tidak mau kalah, mengambil manfaat dari kampanye anti korupsi di Indonesia. Pembahasan mengenai strategi pemberantasan korupsi dilakakukan dibanyak ruang seminar, booming anti korupsi, begitulah tepatnya. Meanstream perlawanan terhadap korupsi juga dijewantahkan melalui pembentukan lembaga Adhoc, Komisi Anti Korupsi (KPK). 

Dalam rangka perwujudan Good Governance, sebagaimana telah menjadi tuntutan masyarakat maupun lembaga-lembaga donor Internasional tersebut, antara lain yang sangat penting harus terpenuhi adalah adanya transparansi atau keterbukaan dan akuntabilitas dalam berbagai aktifitas, balik sosial, politik maupun ekonomi. Dari aspek ekonomi, yang menjadi indikator adanya transparansi dan akuntabilitas tersebut adalah rendahnya tingkat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Berarti, semakin tinggi tingkat transparansi dan akuntabilitas, maka semestinya semakin rendah pula kemungkinan terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Tetapi, realita dari berbagai penelitian dan evaluasi yang dilakukan oleh beberapa lembaga berbeda, justru menunjukkan kecenderungan yang semakin memprihatinkan, serta pada umumnya penelitian-penelitian tersebut menyimpulkan, bahwa “Indonesia merupakan salah satu negara paling korup di dunia”.

Korupsi juga telah berkembang dan mengakar di lembaga-lembaga pemerintahan, lembaga perwakilan rakyat (DPR dan DPRD), ironisnya lagi hal ini juga terjadi di lembaga peradilan sendiri. Seharusnya kepolisian, kejaksaan dan lembaga peradilan menjadi ujung tombak bagi upaya pemberantasan korupsi justru pandangan oleh banyak kalangan merupakan institusi-institusi publik yang korup dan banyak melakukan penyalahgunaan wewenang. Dalam artian, bahwa korupsi telah merajalela terutama di kalangan birokrasi pada institusi publik atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun non departemen. Dari uraian diatas mengindikasikan bahwa korupsi benar-benar telah menjadi permasalahan yang serius dan sistemik yang sangat membahayakan dan merugikan negara maupun masyarakat, khususnya di negara kecil dan berkembang seperti halnya Indonesia. Padahal masyarakat pada umumnya bukannya tidak menyadari bahwa korupsi telah mencederai rakyat miskin dengan terjadinya penyimpangan dana yang seharusnya diperuntukkan terhadap pembangunan dan kesejahteraan mereka. Korupsi juga telah mengikis kemampuan pemerintah untuk menyediakan pelayanan dan kebutuhan dasar bagi rakyatnya, sehingga pemerintah tidak mampu lagi menyediakan kebutuhan pangan bagi masyarakatnya secara adil. Lebih jauh lagi, korupsi bahkan telah meruntuhkan demokrasi dan penegakan hukum, mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia, mengacaukan pasar, mengikis kualitas kehidupan dan memicu terjadinya kejahatan terorganisir, terorisme dan ancaman-ancaman lainnya terhadap keamanan masyarakat, serta menghambat masuknya bantuan dan investasi asing. Oleh sebab itu, korupsi merupakan salah satu elemen yang turut memberikan kontribusi bagi terjadinya keterbelakangan dan buruknya kinerja ekonomi Indonesia, serta merupakan salah satu faktor penghambat yang utama bagi pembangunan dan upaya pengentasan kemiskinan

Makna Tindak Pidana Korupsi

Korupsi adalah persoalan klasik yang telah lama ada. Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pasal 1 menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi sebagaimana maksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Jadi perundang-undangan Republik Indonesia mendefenisikan korupsi sebagai salah satu tindak pidana. Mubaryanto, Penggiat ekonomi Pancasila, dalam artikelnya menjelaskan tentang korupsi bahwa, salah satu masalah besar berkaitan dengan keadilan adalah korupsi, yang kini kita lunakkan menjadi “KKN”. Perubahan nama dari korupsi menjadi KKN ini barangkali beralasan karena praktek korupsi memang terkait koneksi dan nepotisme. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dampak “penggantian” ini tidak baik karena KKN ternyata dengan kata tersebut praktek korupsi lebih mudah diteleransi dibandingkan dengan penggunaan kata korupsi secara gamblang dan jelas, tanpa tambahan kolusi dan nepotisme
.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
• Perbuatan melawan hukum
• Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana
• Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi
• Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas/kejahatan.

Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah.

Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia.

Ada beberapa jenis tindak pidana korupsi, diantaranya:
• Memberi atau menerima hadiah atau janji
• penggelapan dalam jabatan
• pemerasan dalam jabatan
• ikut serta dalam pengadaan(bagi pegawai negeri/penyelenggara negara)
• menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara)

Faktor Penyebab Korupsi

Faktor penyebab korupsi yang sangat mendasar di daerah adalah faktor politik dan kekuasaan, yang berarti bahwa korupsi di daerah paling banyak dilakukan oleh para pemegang kekuasaan (Eksekutif maupun Legislatif) yang menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun untuk kepentingan kelompok dan golongannya. Sekitar 85% dari kasus-kasus korupsi yang terjadi di daerah ternyata dilakukan oleh para pemegang kekuasaan, terutama di lembaga pemerintahan (Eksekutif) dan lembaga Legislatif. Dengan modus yang dilakukan pun sangat beragam, mulai dari perjalanan dinas yang fiktif, penggelembungan dana APBD maupun cara-cara lainnya yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri, kelompok maupun golongan, dengan menggunakan dan menyalahgunakan uang negara.

Faktor yang kedua adalah masalah ekonomi. Faktor ekonomi ini tidak terlalu mendasar jika dibandingkan dengan faktor politik dan kekuasaan. Alasannya pun cenderung masih konvensional, artinya tidak seimbangnya penghasilan dengan kebutuhan hidup yang harus terpenuhi. 

Faktor yang ketiga adalah nepotisme. Karena masih kentalnya semangat nepotisme, baik di sektor publik maupun swasta, terutama di daerah-daerah dalam penempatan posisi yang strategis tidak jarang kemudian menimbulkan penyalahgunaan kewenangan, khususnya yang berhubungan dengan keuangan negara. 

Faktor yang terakhir adalah faktor pengawasan. Lemahnya fungsi kontrol / pengawasan yang dilakukan oleh beberapa lembaga, seperti BPKP serta Bawasda terhadap penggunaan keuangan negara oleh pejabat-pejabat publik (eksekutif dan legislatif) merupakan faktor penting yang menumbuhkembangkan budaya korupsi di berbagai daerah. Fungsi kontrol yang seharusnya dilaksanakan oleh lembaga legislatif pada kenyataannya acap kali tidak efektif, hal ini disebabkan karena lembaga legislatif itu sendiri yang sering kali terlibat dalam penyimpangan serta penyalahgunaan keuangan negara yang dilakukan oleh legislatif.

Kondisi yang Mendukung Munculnya Korupsi

Suatu analisa menarik dilontarkan oleh John Girling bahwa korupsi sebenarnya mewakili persepsi yang normatif dari ekses kapitalisme, yaitu kulminasi dari proses yang sistematik dari parktekpraktek kolusi yang terjadi diantara elite politik dan pelaku ekonomi, yang melibatkan kepentingan publik dan kepentingan pribadi (swasta). Dengan kata lain, korupsi terjadi pada saat pelaku ekonomi mencoba memanfaat kekuasaan yang dimiliki oleh elite politik untuk mengejar keuntungan (profit), di luar proses yang sebenarnya. Sementara elite politik sendiri memanfaatkan hubungan tersebut untuk membiayai dirinya sendiri atau bahkan membiayai praktek politik yang dilakukannya.

Adapun kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya korupsi antara lain :
• Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
• Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
• Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
• Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
• Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
• Lemahnya ketertiban hukum.
• Lemahnya profesi hukum.
• Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
• Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
• Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
• Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".

Pada kasus Indonesia, jenis korupsi pertama terwujud antara lain dalam bentuk uang pelicin dalam mengurus berbagai surat-surat, seperti Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi, Akta Lahir atau Paspor agar prosesnya lebih cepat. Padahal seharusnya, tanpa uang pelicin surat-surat ini memang harus diproses dengan cepat. Sementara jenis korupsi yang kedua, muncul antara lain dalam bentuk uang damai dalam kasus pelanggaran lalu lintas, agar si pelanggar terhindar dari jerat hukum. pada birokrasi militer, peluang korupsi, baik uang maupun kekuasaan, muncul akibat tidak adanya transparansi dalam pengambilan keputusan di tubuh angkatan bersenjata serta nyaris tidak berdayanya hukum saat harus berhadapan dengan oknum militer yang seringkali berlindung di balik institusi militer.

Kecenderungan negara-negara sedang berkembang untuk menutupi informasi-informasi yang berkaitan dengan keuangan negara, menambah subur peluang untuk melakukan korupsi karena tidak ada sorotan publik dan tidak ada pengawasan dari pers yang bebas.

Hukum yang lemah juga menyebabkan korupsi semakin merajalela. Meski berfungsi sebagai pengawas keuangan negara, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan ternyata tidak selalu efektif untuk mengatasi kebocoran uang negara, yang bisa mencapai 30 persen dari APBN.

Pada salah satu seminar, mantan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan Drs. Gandhi menuturkan bahwa berdasar pengalamannya ternyata sulit mengajukan koruptor ke pengadilan melalui Kejaksaan Agung. Suatu kasus yang menurut ahli hukum BPKP sudah dapat diajukan ke pengadilan, setelah lama menunggu cukup lama, dapat saja tiba-tiba ditutup dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari kejaksaan.Selain itu,kerap kali pemeriksaan BPKP mengungkapkan adanya penyimpangan-penyimpangan yang masih bersifat administratif, akan tetapi mengandung potensi untuk menjadi korupsi, jika tidak segera diatasi. Namun, ternyata penyimpangan itu tidak ditindaklanjuti oleh pejabat yang bertanggung jawab, bahkan dalam tahun berikutnya penyimpangan itu berulang kembali.brPelanggaran oleh NegaraDalam suasana seperti ini, tidak heran jika korupsi masih terus merajalela meski Indonesia memiliki Undang-undang Anti Korupsi no. 3 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sejak tahun 1971. Bahkan kerap kali sumber penyimpangan ini justru berasal dari pemerintah.

Kecenderungan penguasa, terutama di negara-negara berkembang, untuk melanggar hukum yang dibuatnya sendiri dapat dilacak pada sejarah pembentukan negara-negara tersebut. Berbeda dengan negara-negara industri yang berkesempatan menumbuhkan birokrasi yang berbasis pada prestasi(merit system), kelembagaan politik yang kompetitif, proses pemerintahan yang mapan dan transparan, serta masyarakat sipil yang berpengetahuan cukup (well informed) dan didukung oleh perkembangan media massa, negara-negara sedang berkembang tidak memiliki pengalaman yang sama. Akibat warisan penjajahan, lembaga-lembaga pemerintah di negara sedang berkembang cenderung lebih lemah, masyarakat sipilnya kurang berperan serta dalam pengambilan keputusan publik, dan proses-proses birokrasi serta politik berlangsung kurang terbuka dan kurang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kondisi demikian, aparat negara yang efektif, serta kemampuan menegakkan hukum nyaris tidak ada.

Dampak Sosial dan Politik 

1. Demokrasi
Korupsi menunjukkan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.

2. Ekonomi
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dengan membuat distorsi dan ketidakefisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

3. Kesejahteraan Umum Negara
Korupsi politis ada dibanyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.

4. Turunnya Nilai Mata Uang

5. Terpuruknya Nilai-nilai Kemasyarakatan
Jika korupsi menyebabkan nilai matauang turun seperti saat ini, hal itu bisa dipulihkan dalam lima hingga10 tahun. Tetapi jika nilai-nilai kemasyarakatan yang terpuruk bisa membutuhkan satu generasi untuk memulihkannya. Orang tidak dapat lagi membedakan mana yang benar dan tidak benar, mana yang adil dan tidak adil. Korupsi menggerogoti pembangunan dengan mengabaikan aturan hukum dan melemahkan landasan kelembagaan tempat pertumbuhan ekonomi bertumpu. Dampak jelek korupsi terutama diderita oleh kaum miskin, yang paling terpukul dengan menurunnya perekonomian, yang paling tergantung dengan layanan-layanan publik, dan yang paling tidak mampu untuk membayar biaya ekstra yang berkaitan dengan suap, pemerasan, dan berbagai penyalahgunaan keuntungan ekonomi. Korupsi juga memukul kaum miskin dengan berbagai cara yang lain.

6. Demoralisasi
Akibat praktek korupsi yang berkepanjangan, akibatnya lama kelamaan rakyat tidak lagi mempercayai kredibilitas aparat dan lembaga pemerintahan. Sifat korupsi yang tidak demokratis dan merusak menimbulkan demoralisasi, keresahan sosial dan keterasingan politik.

7. Merusak Birokrasi Sipil
Merusak Birokrasi Sipil Lebih jauh lagi, korupsi merusak birokrasi sebagai tulang punggung pemerintahan negara. Dengan korupsi birokratis ini, birokrasi kemudian jadi membesar sehingga ia menjadi penting dilihat dari kacamata publik. Birokrasi, baik sipil maupun militer, memang merupakan kelompok yang paling rawan terhadap korupsi. Sebab, di tangan mereka terdapat kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan, yang menjadi kebutuhan semua warga negara.

8. Penyalahgunaan Kekuatan Militer
Sementara pada birokrasi militer, peluang korupsi, baik uang maupun kekuasaan, muncul akibat tidak adanya transparansi dalam pengambilan keputusan di tubuh angkatan bersenjata serta nyaris tidak berdayanya hukum saat harus berhadapan dengan oknum militer yang seringkali berlindung di balik institusi militer.

Empat kerusakan yang terjadi ditubuh ABRI akibat korupsi:
• Secara formal material anggaran pemerintah untuk menopang kebutuhan angkatan bersenjata amatlah kecil karena ABRI lebih mementingkan pembangunan ekonomi nasional. Ini untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat bahwa ABRI memang sangat peduli pada pembangunan ekonomi. Padahal, pada kenyataannya ABRI memiliki sumber dana lain di luar APBN
• Perilaku bisnis perwira militer dan kolusi yang mereka lakukan dengan para pengusaha keturunan Cina dan asing ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan prajurit secara keseluruhan.
• Orientasi komersial pada sebagian perwira militer ini pada gilirannya juga menimbulkan rasa iri hati perwira militer lain yang tidak memiliki kesempatan yang sama. Karena itu, demi menjaga hubungan kesetiakawanan di kalangan militer, mereka yang mendapatkan jabatan di perusahaan negara atau milik ABRI memberikan sumbangsihnya pada mereka yang ada di lapangan.
• Suka atau tidak suka, orientasi komersial akan semakin melunturkan semanagat profesionalisme militer pada sebagaian perwira militer yang mengenyam kenikmatan berbisnis baik atas nama angkatan bersenjata maupun atas nama pribadi. Selain itu, sifat dan nasionalisme dan janji ABRI, khususnya Angkatan Darat, sebagai pengawal kepentingan nasional dan untuk mengadakan pembangunan ekonomi bagi seluruh bangsa Indonesia lambat laun akan luntur dan ABRI dinilai masyarakat telah beralih menjadi pengawal bagi kepentingan golongan elite birokrat sipil, perwira menengah ke atas, dan kelompok bisnis besar (baca: keturunan Cina). Bila ini terjadi, akan terjadi pula dikotomi, tidak saja antara masyarakat sipil dan militer, tetapi juga antara perwira yang profesional dan Saptamargais dengan para perwira yang berorientasi komersial.
Persepsi tentang meluasnya korupsi di negara-negara sedang berkembang benar-benar
mengurangi dukungan masyarakat negara-negara donor yang akan memberikan bantuan pembangunan serta menggoyahkan kepercayaan pemilik modal asing, sehingga mengalihkan modal yang sebenarnya sangat dibutuhkan dan demikian melemahkan pertumbuhan ekonomi.

Kiat Memberantas Korupsi di Indonesia

Pendidikan antikorupsi memang sebaiknya dimulai dari sekolah karena selama ini sekolah menjadi salah satu sumber korupsi dan penyebarluasan budaya korupsi.Sekolah yang memiliki tugas mulia dalam mencerdaskan bangsa ternyata bukan institusi yang bersih dari korupsi. Departemen Pendidikan Nasional, menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2003, merupakan departemen terkorup setelah Departemen Agama. Korupsi dalam dunia pendidikan, menurut laporan Indonesian Corruption Watch, dilakukan secara bersama- sama dalam berbagai jenjang, dari tingkat sekolah, dinas, sampai departemen. Guru, kepala sekolah, kepala dinas, dan seterusnya masuk dalam jaringan korupsi. Sekolah yang diharapkan menjunjung nilai-nilai kejujuran justru mempertontonkan kepada siswanya praktik-praktik korupsi. 

Korupsi dana pendidikan, menyangkut baik dana pemerintah maupun dana yang langsung ditarik dari masyarakat. Bila aparat birokrasi selama ini mengeluhkan dana pendidikan yang kecil, ternyata dana yang kecil itu dikorup pula.Investigasi ICW dalam pengadaan buku pelajaran di beberapa daerah menunjukkan bahwa korupsi pendidikan masih jalan terus. Beberapa kabupaten di Jawa Tengah, misalnya, menganggarkan pengadaan buku miliaran rupiah. Yang terkecil Rp 5 miliar, tetapi ada kabupaten yang menganggarkan pengadaan buku pelajaran sampai Rp 30 miliar. Korupsi dilakukan sejak proses pengambilan keputusan, pengadaan buku tidak melalui tender, hingga distribusi buku ke sekolah. Ujung-ujungnya banyak siswa tidak menerima buku. Itu pun kalau tidak buku yang diterima jumlah halamannya berkurang, bahkan tidak bisa dipakai sama sekali. Kekaburan dalam sistem anggaran sekolah memungkinkan kepala sekolah negeri mempraktikkan anggaran ganda. 

Dana operasional atau pembelian barang yang telah dianggarkan dari dana pemerintah dibebankan lagi kepada masyarakat. Bahkan, ada kasus dana perawatan gedung tidak hanya dianggarkan melalui dana pemerintah dan dana komite sekolah, tetapi masih juga dibebankan kepada anak secara langsung dengan dalih lomba kebersihan antarkelas.Selain penganggaran ganda, modus yang sering digunakan kepala sekolah adalah penggelapan. Banyak biaya yang semestinya dikeluarkan sekolah ternyata tidak dikeluarkan. Praktik ini sangat mencolok sehingga sejumlah bendahara sekolah menjadi kolektor stempel dan bukti pembayaran sehingga ia tinggal memilih stempel dan bukti pembayaran bila sewaktu-waktu dibutuhkan. Modus lainnya adalah uang dibagi-bagi dengan setoran ke dinas, memberikan amplop kepada pejabatyang datang ke sekolah, termasuk pengawas. Kepala sekolah yang pelit memberikan setoran bakal dimasukkan daftar hitam dan tidak akan pernah menerima dana-dana proyek.Guru juga merupakan pelaku sekaligus korban dalam korupsi pendidikan.

Karena kuatnya kebutuhan terhadap langkah bersama yang terkoordinasi, pemerintah disarankan membentuk komisi independen untuk memberantas korupsi. Dengan beranggotakan orang-orang yang punya track record bersih serta dukungan dunia internasional, komisi ini dapat bekerja efektif memberantas penyakit korupsi ini.

Kesimpulan
Dari uraian diatas mengindikasikan bahwa korupsi benar-benar telah menjadi permasalahan yang serius dan sistemik yang sangat membahayakan dan merugikan negara maupun masyarakat, khususnya di negara kecil dan berkembang seperti halnya Indonesia. Padahal masyarakat pada umumnya bukannya tidak menyadari bahwa korupsi telah mencederai rakyat miskin dengan terjadinya penyimpangan dana yang seharusnya diperuntukkan terhadap pembangunan dan kesejahteraan mereka. Korupsi juga telah mengikis kemampuan pemerintah untuk menyediakan pelayanan dan kebutuhan dasar bagi rakyatnya, sehingga pemerintah tidak mampu lagi menyediakan kebutuhan pangan bagi masyarakatnya secara adil. Lebih jauh lagi, korupsi bahkan telah meruntuhkan demokrasi dan penegakan hukum, mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia, mengacaukan pasar, mengikis kualitas kehidupan dan memicu terjadinya kejahatan terorganisir, terorisme dan ancaman-ancaman lainnya terhadap keamanan masyarakat, serta menghambat masuknya bantuan dan investasi asing. Oleh sebab itu, korupsi merupakan salah satu elemen yang turut memberikan kontribusi bagi terjadinya keterbelakangan dan buruknya kinerja ekonomi Indonesia, serta merupakan salah satu faktor penghambat yang utama bagi pembangunan dan upaya pengentasan kemiskinan




DAFTAR PUSTAKA
Bahan Bacaan Akhiar Salmi, Paper 2006, “Memahami UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, MPKP, FE,UI.

Harian Kompas, 13 juni 2006,

Gramedia Hikmahanto Juwana, Paper 2006, “ Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia”, MPKP, FE.UI.

Mubaryanto, Artikel, “ Keberpihakan dan Keadilan”, Jurnal Ekonomi Rakyat, UGM, 2004 Jeremy Pope,” Confronting Corruption: The Element of National Integrity System”, Transparency International, 2000.

Robert A Simanjutak,” Implementasi Desentralisasi Fiskal:Problema, Prospek, dan Kebijakan”, LPEM UI, 2003

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Wikipedia.com

www.google.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS