Hubungan International

Hubungan Internationa
Yang mau materi hubungan international dari pak gunawan untuk bahan UAS silakan download link di bawah ini

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Teori Keynes

Teori Keynes 

Teori Keynesian, adalah suatu teori ekonomi yang didasarkan pada ide seorang ekonom Inggris abad ke-20, John Maynard Keynes. Pandangan Keynes sering dianggap sebagai awal dari pemikiran ekonomi modern. Keynes banyak melakukan pembaharuan dan perumusan ulang doktrin-doktrin klasik dan neo-klasik. Kita semua sudah tahu bahwa, analisis klasik bertumpu pada masalah-masalah mikro. Aliran Klasik mengatakan Penawaran akan menciptakan permintaannya sendiri”  hal ini dikritik Keynes sebagai sesuatu yang keliru. Dalam kenyataannya, menurut Keynes permintaan lebih kecil dari penawaran. Alasannya, sebagian dari pendapatan yang diterima masyarakat akan ditabung, dan tidak semuanya dikonsumsi. Menurut Klasik  jumlah tabungan akan selalu sama dengan jumlah investasi, namun ini dibantah Keynes. Alasannya, motif orang untuk menabung tidak sama dengan motif pengusaha untuk menginvestasi. Pengusaha melakukan investasi didorong oleh keinginan untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya. Semantara itu, sektor rumah tangga melakukan penabungan didorong oleh berbagai motif yang sangat berbeda,  hal ini menyebabkan jumlah tabungan tidak akan pernah sama dengan jumlah investasi.

Keynes mengatakan bahwa permintaan akan uang untuk spekulasi saat ini tinggi apabila tingkat bunga saat ini rendah dan permintaan untuk spekulasi saat ini rendah apabila tingkat bunga untuk spekulasi mempunyai hubungan  yang berkebalikan dengan tingkat bunga (saat ini). Ini adalah inti teori moneter Keynes.
Menurut teori Keynesian asumsi dasar bahwa ekonomi bekerja penuh atau full employment, tingkat harga yang fleksibel dan informasi yang dimiliki secara sempurna adalah tidak benar dan bertentangan dengan realitas serta tidak akan tercapai dalam jangka pendek bahkan juga dalam jangka panjang. Menurut Keynes pasar tenaga kerja jauh dari seimbang, karena upah tidak pernah fleksibel, sehingga permitaan dan penawaran hampir tidak pernah seimbang sehingga penganguran sering terjadi.
Menurut Keynesian penganguran bisa terjadi disebabkan oleh tidak fleksibelnya harga-harga, termasuk harga tenaga kerja (upah) dan lambatnya reaksi rasional dari para pelaku ekonomi sehingga tidak terjadinya full employment. Tidak terjadinya full employment berarti akan menciptakan pengagguran.
Dalam teorinya, Keynes berpendapat tentang kebijakan makro. Kebijakan makro Keynes mengatakan bagaimana peran pemerintah dalam  mempengaruhi permintaan agregat (dengan demikian mempengaruhi situasi makro), agar mendekati posisi full employment-nya. Keynes menyarankan agar perekonomian tidak diserahkan begitu saja pada mekanisme pasar. Hingga batas tertentu, peran pemerintah justru diperlukan Misalnya, jika terjadi pengangguran, pemerintah bisa memperbesar pengeluarannya untuk proyek-proyek padat karya. Dengan demikian, sebagian tenaga kerja yang menganggur bisa bekerja, yg akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Dari deskripsi tersebut, memang alur pemikiran Keynes sangat logis dan bisa kita telusuri dengan mudah tanpa berumit- rumit. Dengan demikian kritik Keynes mengenai klasik dan neo-klasik memang masih masuk akal dalam ilmu ekonomis dan memenuhi aturan. Dalam hal ini, teori Keynes merupakan analisis model disequilibeium ekonomi. 
 
untuk lebih jelaas mengenai teori keynes, silakan download di bawah ini
 
 

 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pemikiran Ekonomi J.M.Keynes

John Maynard Keynes
John Maynard Keynes, atau sering disebut J.M. Keynes atau Keynes, definisinya berorientasi pada kebijaksanaan dan beliau memberikan definisi yang bersifat umum yaitu : Ilmu ekonomi adalah ilmu yang menyangkut tentang kebijaksanaan guna mengatasi masalah yang mendesak termasuk masalah pengangguran yang ada (dalam bukunya yang sangat terkenal dengan judul : General theory of employment interest and money yang diterbitkan tahun 1938). Penekanannya pada perluasan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan.
Macroeconomics mulai dipisahkan dari microeconomics oleh Keynes pada 1920s, dan menjadi kesepakatan bersama pada 1930s oleh Keynes dan lainnya, terutama John Hicks. Mereka mendapat ketenaran karena gagasannya dalam mengatasi Great Depression. Keynes adalah tokoh penting dalam gagasan pentingnya keberadaaan Bank sentral dan campur tangan pemerintah dalam hubungan ekonomi. Karyanya “General Theory of Employment, Interest and Money” menyampaikan kritik terhadap ekonomi klasik dan juga mengusulkan metode untuk management of aggregate demand. Pada masa sesudah global depression pada 1930s, negara memainkan peranan yang penting pada sistem kapitalism di hampir sebagian besar kawasan dunia. Pada 1929, sebagai contoh, total pengeluaran U.S. government (federal, state, and local) berjumlah kurang dari sepersepuluh dari GNP; pada 1970s mereka berjumlah mencapai sepertiga. Peningkatan yang sama tampak pada industrialized capitalist economies, sepreti France misalnya, telah mencapai ratios of government expenditures dari GNP yang lebih tinggi dibandingkan United States. Sistem ekonomi ini seringkali disebut dengan “mixed economies.”
Pandangan Keynes sering dianggap sebagai awal dari pemikiran ekonomi modern. Keynes banyak melakukan pembaharuan dan perumusan ulang doktrin-doktrin klasik dan neo-klasik. Karena Keynes menganggap peran pemerintah perlu dalam melaksanakan pembangunan, sehingga Keynes sering disebut “Bapak Ekonomi Pembangunan”. Selain itu, ia juga disebut “Bapak Ekonomi Makro”, sebab dahulu dalam tradisi klasik maupun neo-klasik analisis-analisis ekonomi lebih banyak bersifat mikro, sejak Keynes analisis ekonomi juga dilakukan secara makro. Hal itu dilakukan dengan melihat hubungan di antara variabel-variabel ekonomi secara besar-besaran.
Keynes berhasil melakukan escape dari masa lalu, yaitu dari tradisi laissez faire yang dianut pakar-pakar ekonomi masa silam seperti Adam Smith, David Richardo dan gurunya sendiri Alfred Marshall. Keynes kemudian berhasil membentuk suatu “bangunan rumah utuh” dalam struktur teori-teori ekonomi baru, sehingga terjadi revolusi baik dalam teori bahkan kebijakan ekonomi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Biografi John Maynard Keynes

Biografi John Maynard Keynes
John Maynard Keynes [ˈkeɪns], 1st Baron Keynes of Tilton (lahir di Cambridge, Cambridgeshire, Britania Raya, 5 Juni 1883 – meninggal di East Sussex, Inggris, 21 April 1946 pada umur 62 tahun) adalah seorang ahli ekonomi Inggris. Ide-idenya yang radikal mempunyai dampak luas pada ilmu ekonomi modern. Ia terutama menjadi terkenal dengan karyanya; The General Theory of Employment, Interest and Money (1936) yang merupakan reaksi terhadap Depresi Besar Amerika Serikat pada tahun 1930-an.
Dalam karyanya Keynes menulis bahwa Pemerintah kadangkala harus menstimulasi pertumbuhan ekonomi, terutama pada saat konjungtur lemah.
Pemikiran dan filsafatnya biasa disebut dengan istilah Keynesianisme.

John Maynard Keynes lahir di Cambridge dari keluarga kelas menengah. Ayahnya John Neville Keynes, adalah ekonom dan dosen di Universitas Cambridge.

Kutipan
  • "In the long run, we are all dead"
  • "Pada jangka panjang, kita semua telah mati"

Keynesianisme

Keynesianisme, atau ekonomi ala Keynes atau Teori Keynes, adalah suatu teori ekonomi yang didasarkan pada ide ekonom Inggris abad ke-20, John Maynard Keynes. Teori ini mempromosikan suatu ekonomi campuran, di mana baik negara maupun sektor swasta memegang peranan penting. Kebangkitan ekonomi Keynesianisme menandai berakhirnya ekonomi laissez-faire, suatu teori ekonomi yang berdasarkan pada keyakinan bahwa pasar dan sektor swasta dapat berjalan sendiri tanpa campur tangan negara.
Teori ini menyatakan bahwa trend ekonomi makro dapat memengaruhi perilaku individu ekonomi mikro. Berbeda dengan teori ekonom klasik yang menyatakan bahwa proses ekonomi didasari oleh pengembangan output potensial, Keynes menekankan pentingnya permintaan agregat sebagai faktor utama penggerak perekonomian, terutama dalam perekonomian yang sedang lesu. Ia berpendapat bahwa kebijakan pemerintah dapat digunakan untuk meningkatkan permintaan pada level makro, untuk mengurangi pengangguran dan deflasi. Jika pemerintah meningkatkan pengeluarannya, uang yang beredar di masyarakat akan bertambah sehingga masyarakat akan terdorong untuk berbelanja dan meningkatkan permintaannya (sehingga permintaan agregat bertambah). Selain itu, tabungan juga akan meningkat sehingga dapat digunakan sebagai modal investasi, dan kondisi perekonomian akan kembali ke tingkat normal.
Kesimpulan utama dari teori ini adalah bahwa tidak ada kecenderungan otomatis untuk menggerakan output dan lapangan pekerjaan ke kondisi full employment (lapangan kerja penuh). Kesimpulan ini bertentangan dengan prinsip ekonomi klasik seperti ekonomi supply-side yang menganjurkan untuk tidak menambah peredaran uang di masyarakat untuk menjaga titik keseimbangan di titik yang ideal.

 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Formulasi Kebijakan


Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik merupakan tahap yang paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai, disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai tujuan-tujuannya sebagian besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolaan tahap formulasi (Wibawa; 1994, 2).  Tjokroamidjojo (Islamy; 1991, 24) mengatakan bahwa folicy formulation sama dengan pembentukan kebijakan merupakan serangkaian tindakan pemilihan berbagai alternatif yang dilakukan secara terus menerus dan tidak pernah selesai, dalam hal ini didalamnya termasuk pembuatan keputusan. Lebih jauh tentang proses pembuatan kebijakan negara (publik),  Udoji (Wahab ; 2001, 17) merumuskan bahwa pembuatan kebijakan negara sebagai

“The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solutions into political demands, channelling those demands into the political systems, seeking sanctions or legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)”.

Tahap-tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu. Setiap tahap berhubungan dengan tahap berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda) atau tahap ditengah dalam aktivitas yang tidak linear.

Formulasi kebijakan sebagai suatu proses menurut Winarno (1989, 53), dapat dipandang dalam 2 (dua) macam kegiatan. Kegiatan pertama adalah memutuskan secara umum apa yang apa yang harus dilakukan atau dengan kata lain perumusan diarahkan untuk memperoleh kesepakatan tentang suatu alternatif kebijakan yang dipilih, suatu keputusan yang menyetujui adalah hasil dari proses seluruhnya. Sedangkan kegiatan selanjutnya diarahkan pada bagaimana  keputusan-keputusan kebijakan dibuat, dalam hal ini suatu keputusan kebijakan mencakup tindakan oleh seseorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah atau menolak suatu alternatif kebijakan yang dipilih. Sejalan dengan pendapat Winarno, maka Islamy (1991, 77) membagi proses formulasi kebijakan kedalam  tahap  perumusan masalah kebijakan, penyusunan agenda pemerintah, perumusan usulan kebijakan, pengesahan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian kebijakan.
a.      Perumusan masalah kebijakan.
Pada prinsipnya, walaupun suatu peristiwa, keadaan dan situasi tertentu dapat menimbulkan satu atau beberapa problem, tetapi agar hal itu menjadi masalah publik tidak hanya tergantung dari dimensi obyektifnya saja, tetapi juga secara subyektif, baik oleh masyarakat maupun para pembuat keputusan, dipandang sebagai suatu masalah yang patut dipecahkan atau dicarikan jalan keluarnya. Oleh karena itu, suatu problem, untuk bisa berubah menjadi problem umum tidak hanya cukup dihayati oleh banyak orang sebagai sesuatu masalah yang perlu segera diatasi, tetapi masyarakat perlu memiliki political will untuk memperjuangkannya dan yang lebih penting lagi, problem tersebut ditanggapi positif oleh pembuat kebijakan dan mereka bersedia memperjuangkan problem umum itu menjadi problem kebijakan, memasukannya kedalam agenda pemerintah dan mengusahakannya menjadi kebijakan publik, maka langkah pertama yang harus dilakukan oleh setiap pembuat kebijakan adalah mengidentifikasikan problem yang akan dipecahkan kemudian membuat perumusan yang sejelas-jelasnya terhadap problem tersebut.  Kegiatan ini merupakan upaya untuk menentukan identitas masalah kebijakan dengan terlebih dahulu mengerti dan memahami sifat dari masalah tersebut sehingga akan mempermudah dalam menentukan sifat proses perumusan kebijakan.
b.      Penyusunan agenda pemerintah.
Oleh karena masalah publik yang telah diidentifikasi begitu banyak jumlahnya, maka para pembuat keputusan akan memilih dan menentukan problem mana yang seharusnya memperoleh prioritas utama untuk diperhatikan secara serius dan aktif, sehingga biasanya agenda pemerintah ini mempunyai sifat yang khas, lebih kongkrit  dan terbatas jumlahnya.
Anderson (1966, 57-59) menyebutkan beberapa faktor yang dapat menyebabkan problem-problem umum dapat masuk ke dalam agenda pemerintah, yakni :
·         Apabila terdapat ancaman terhadap keseimbangan antar kelompok (group equlibirium), dimana kelompok-kelompok tersebut mengadakan reaksi dan menuntut tindakan pemerintah untuk mengambil prakarsa guna mengatasi ketidakseimbangan tersebut.
·         Kepemimpinan politik dapat pula menjadi suatu faktor yang penting dalam penyusunan agenda pemerintah, manakala para pemimpin politik didorong atas pertimbangan keuntungan politik atau keterlibatannya untuk memperhatikan kepentingan umum, sehingga mereka selalu memperhatikan problem publik, menyebarluaskan dan mengusulkan usaha pemecahannya.
·         Timbulnya krisis atau peristiwa yang luar biasa dan mendapatkan perhatian besar dari masyarakat, sehingga memaksa para pembuat keputusan untuk memperhatikan secara seksama terhadap peristiwa atau krisis tersebut, dengan memasukkan ke dalam agenda pemerintah.
·         Adanya gerakan-gerakan protes termasuk tindakan kekerasan, sehingga menarik perhatian para pembuat keputusan untuk memasukkannya ke dalam agenda pemerintah. 
·         Masalah-masalah khusus atau isyu-isyu politis yang timbul dalam masyarakat, sehingga menarik perhatian media massa dan menjadikannya sebagai sorotan. Hal ini dapat menyebabkan masalah atau isyu tersebut semakin menonjol sehingga lebih banyak lagi perhatian masyarakat dan para pembuat kebijakan tertuju pada masalah atau isyu tersebut.
Sedangkan Jones (1977, 32) mengajukan suatu pedoman untuk meneliti atau mempelajari tentang syarat-syarat suatu problem publik dapat masuk ke dalam agenda pemerintah, yakni :
·         Dilihat dari peristiwanya, yang meliputi ruang lingkup, persepsi masyarakat, definisi dan intensitas orang-orang yang dipengaruhi oleh peristiwa tersebut.
·         Organisasi kelompok, yang meliputi luasnya anggota kelompok, struktur kelompok dan mekanisme kepemimpinan.
·         Cara mencapai kekuasaan, yang terdiri atas perwakilan, empati dan dukungan.
·         Proses kebijaksanaan, yang meliputi struktur, kepekaan dan kepemimpinan.
Selanjutnya, setelah problem publik tersebut dimasukkan ke dalam agenda pemerintah, maka para pembuat keputusan memprosesnya kedalam fase-fase, yang oleh Jones (ibid) dibagi kedalam 4 (empat) tahap, yakni : (1) problem definition agenda yaitu hal-hal (problem) yang memperoleh penelitian dan perumusan secara aktif dan serius dari para pembuat keputusan ; (2) proposal agenda, yaitu hal-hal (problem) yang telah mencapai tingkat diusulkan, dimana telah terjadi perubahan fase merumuskan masalah kedalam fase memecahkan masalah ; (3) bargaining agenda, yaitu usulan-usulan kebijakan tadi ditawarkan untuk memperoleh dukungan secara aktif dan serius ; dan    (4) continuing agenda, yaitu hal-hal (problem) yang didiskusikan dan dinilia secara terus menerus.  
c.       Perumusan usulan kebijakan
Tahap ini merupakan kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah, meliputi :
·         Identifikasi alternatif dilakukan untuk kepentingan pemecahan masalah. Terhadap problem yang hampir sama atau mirip, dapat saja dipakai alternatif kebijakan yang telah pernah dipilih, akan tetapi terhadap problem yang sifatnya baru maka para pembuat kebijakan dituntut untuk secara kreatif menemukan dan mengidentifikasi alternatif kebijakan baru sehingga masing-masing alternatif jelas karakteristiknya, sebab pemberian identifikasi yang benar dan jelas pada setiap alternatif kebijakan akan mempermudah proses perumusan alternatif.
·         Mendefinisikan dan merumuskan alternatif, bertujuan agar masing-masing alternatif yang telah dikumpulkan oleh pembuat kebijakan itu jelas pengertiannya, sebab semakin jelas alternatif itu diberi pengertian, maka akan semakin mudah pembuat kebijakan menilai dan mempertimbangkan aspek positif dan negatif dari masing-masing alternatif tersebut.
·         Menilai alternatif, yakni kegiatan pemberian bobot pada setiap alternatif, sehingga jelas bahwa setiap alternatif mempunyai nilai bobot kebaikan dan kekurangannya masing-masing, sehingga dengan mengetahui bobot yang dimiliki oleh masing-masing alternatif maka para pembuat keputusan dapat memutuskan alternatif mana yang lebih memungkinkan untuk dilaksanakan/dipakai. Untuk dapat melakukan penilaian terhadap berbagai alternatif dengan baik, maka dibutuhkan kriteria tertentu serta informasi yang relevan.
·         Memilih alternatif yang memuaskan. Proses pemilihan alternatif yang memuaskan atau yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan barulah dapat dilakukan setelah pembuat kebijakan berhasil dalam melakukan penilaian terhadap alternatif kebijakan. Suatu alternatif yang telah dipilih secara memuaskan akan menjadi suatu usulan kebijakan yang telah diantisipasi untuk dapat dilaksanakan dan memberikan dampak positif. Tahap pemilihan alternatif yang memuaskan selalu bersifat obyektif dan subyektif, dalam artian bahwa pembuat kebijakan akan menilai alternatif kebijakan sesuai dengan kemampuan rasio yang dimilikinya, dengan didasarkan pada pertimbangan terhadap kepentingan pihak-pihak yang akan memperoleh pengaruh sebagai konsekwensi dari pilihannya.  
d.      Pengesahan kebijakan
Sebagai suatu proses kolektif, pengesahan kebijakan merupakan proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap prinsip-prinsip yang diakui dan diterima (comforming to recognized principles or accepted standards). Landasan utama untuk melakukan pengesahan adalah variabel-variabel sosial seperti sistem nilai masyarakat, ideologi negara, sistem politik dan sebagainya.
Proses pengesahan suatu kebijakan biasanya diawali dengan kegiatan persuasion dan bargaining (Andersson; 1966, 80). Persuasion diartikan sebagai “Usaha-usaha untuk meyakinkan orang lain tentang sesuatu kebenaran atau nilai kedudukan seseorang, sehingga mereka mau menerimanya sebagai milik sendiri”. Sedangkan Bergaining diterjemahkan sebagai “Suatu proses dimana dua orang atau lebih yang mempunyai kekuasaan atau otoritas mengatur/menyesuaikan setidak-tidaknya sebagian tujuan-tujuan yang tidak mereka sepakati agar dapat merumuskan serangkaian tindakan yang dapat diterima bersama meskipun itu tidak terlalu ideal bagi mereka”. Yang termasuk ke dalam kategori bargaining adalah perjanjian (negotiation), saling memberi dan menerima (take and give) dan kompromi (compromise). Baik persuasion maupun bargaining, kedua-duanya saling melengkapi sehingga penerapan kedua kegiatan atau proses tersebut akan dapat memperlancar proses pengesahan kebijakan.

Sebagai suatu proses, maka tahap formulasi kebijakan terdiri atas beberapa komponen (unsur) yang saling berhubungan secara respirokal sehingga membentuk pola sistemik berupa input – proses – output – feedback. Menurut Wibawa (1994, 13), komponen (unsur) yang terdapat dalam proses formulasi kebijakan adalah : 
a.      Tindakan.
Tindakan kebijakan adalah tindakan disengaja yang selalu dilakukan secara terorganisasi dan berulang (ajeg) guna membentuk pola-pola tindakan tertentu, sehingga pada akhirnya akan menciptakan norma-norma bertindak bagi sistem kebijakan. Jika pada tahap awal tumbuhnya sistem kebijakan dan tujuan dari sistem itu ditetapkan terlebih dahulu untuk menentukan tindakan apa yang akan dilakukan guna mencapai tujuan tersebut, maka pada giliran berikutnya, ketika sistem telah berjalan, norma yang terbentuk oleh pola tindakan tadi akan mengubah atau setidaknya mempengaruhi tujuan sistem. 
b.      Aktor.
Orang atau pelaku yang terlibat dalam proses formulasi kebijakan akan memberikan dukungan maupun tuntutan serta menjadi sasaran dari kebijakan yang dihasilkan oleh sistem kebijakan. Aktor yang paling dominan dalam tahap perumusan kebijakan dengan tuntutan yang bersifat intern, dalam artian mempunyai kekuasaan atau wewenang untuk menentukan isi dan memberikan legitimasi terhadap rumusan kebijakan tersebut, disebut pembuat kebijakan (policy maker). Sementara itu, aktor yang mempunyai kualifikasi atau karakteristik lain dengan tuntutan ekstern, dikenal sebagai kelompok-kelompok kepentingan, partai politik, pimpinan elit profesi dan lain-lain. Untuk dapat tetap bertahan bermain di dalam sistem tersebut, mereka harus memilik komitmen terhadap aturan main, yang pada mulanya dirumuskan secara bersama-sama oleh semua aktor. Pada tataran ini komitmen para aktor akan menjadikan menjadikan mereka mematuhi aturan atau norma bersama. Selain itu, kepatuhan terhadap norma ini bahkan menjadi keharusan, karena diasumsikan bahwa pencapaian tujuan sistem akan terwujud jika semua aktor mematuhi norma bersama.    
c.       Orientasi nilai.
Proses formulasi kebijakan pada prinsipnya berhubungan dengan proses mengidentifikasi dan menganalisis nilai-nilai yang beraneka ragam kemudian menentukan nilai-nilai yang relevan dengan kepentingan masyarakat, sehingga setiap kebijakan yang dihasilkan akan mempunyai implikasi nilai, baik secara implisit maupun eksplisit. Oleh karena itu, aktor-aktor yang berperan dalam formulasi kebijakan tidak hanya berfungsi menciptakan adanya keseimbangan diantara kepentingan-kepentingan yang berbeda (muddling through or balancing interests), tetapi juga harus berfungsi sebagai penilai (valuer), yakni mampu menciptakan adanya nilai yang dapat disepakati bersama yang didasarkan pada penilaian-penilaian rasional (rational judgements) guna pencapaian hasil yang maksimal.   

Tahap formulasi kebijakan sebagai suatu proses yang dilakukan secara ajeg dengan melibatkan para stakeholders (aktor) guna menghasilkan serangkaian tindakan dalam memecahkan problem publik melalui identifikasi dan analisis alternatif, tidak terlepas dari nilai-nilai yang mempengaruhi tindakan para aktor dalam proses tersebut. Anderson (1966), Winarno (1989, 16) dan Wibawa (1994, 21) mengemukakan bahwa nilai-nilai (ukuran) yang mempengaruhi tindakan dari para pembuat keputusan dalam proses formulasi kebijakan dapat dibagi kedalam beberapa kategori, yakni :
a.      Nilai-nilai politik, dimana keputusan dibuat atas dasar kepentingan politik dari partai politik atau kelompok kepentingan tertentu.
Seperti umumnya pada paradigma kritis dalam kebijakan publik, maka dalam fase formulasi kebijakan publik, realitas politik yang melingkupi proses pembuatan kebijakan publik itu tidak boleh dilepaskan dalam fokus kajiannya, sebab apabila kita melepaskan kenyataan politik itu dari proses pembuatan kebijakan publik, maka kebijakan yang dihasilkan akan miskin aspek lapangannya sementara kebijakan publik itu sendiri tidak pernah steril dari aspek politik. Dalam konteks ini, maka proses formulasi kebijakan dipahami sebagai sebuah proses pengambilan keputusan yang sangat ditentukan oleh factor kekuasaan, dimana sumber-sumber kekuasaan itu berasal dari strata social, birokrasi, akademis, profesionalisme, kekuatan modal dan lain sebagainya.  
b.      Nilai-nilai organisasi, dalam hal ini keputusan-keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai yang dianut organisasi, seperti balas jasa (rewards) dan sanksi (sanction) yang dapat mempengaruhi anggota organisasi untuk menerima dan melaksanakannya. Pada tataran ini, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para stakeholders lebih dipengaruhi serta dimotivasi oleh kepentingan dan perilaku kelompok, sehingga pada gilirannya, produk-produk kebijakan yang dihasilkan lebih mengakomodasi kepentingan organisasi mereka ketimbang kepentingan publik secara keseluruhan. Oleh karena itu, diperlukan adanya sebuah perangkat sistemik yang mampu mengeliminir kecenderungan tersebut. 
c.       Nilai-nilai pribadi, dimana seringkali keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai pribadi yang dianut oleh pribadi pembuat keputusan untuk mempertahankan status quo, reputasi, kekayaan dan sebagainya.
Proses formulasi kebijakan dalam konteks ini lebih dipahami sebagai suatu proses yang terfokus pada aspek emosi manusia, personalitas, motivasi dan hubungan interpersonal. Fokus dari pandangan ini adalah siapa mendapatkan nilai apa, kappa ia mendapatkan nilai tersebut dan bagaimana ia mengaktualisasikan nilai yang telah dianutnya.
d.      Nilai-nilai kebijakan, dalam hal ini keputusan dibuat atas dasar persepsi pembuat kebijakan tentang kepentingan publik atau pembuatan kebijakan yang secara moral dan dapat dipertanggungjawabkan. Termasuk dalam kategori ini adalah nilai moral, keadilan, kemerdekaan, kebebasan, kebersamaan dan lain-lain. Pandangan iniu melihat bagaimana pembuat kebijakan sebagai personal mampu merespon stimulasi dari lingkungannya. Artinya, di sini, akan banyak terlihaty tentang bagaimana seorang pembuat kebijakan mengenali masalah, bagaimana mereka menggunakan informasi yang mereka miliki, bagaimana mereka menentrukan pilihan dari berbagai alternatif yang ada, bagaimana mereka mempersepsi realitas yang ditemui, bagaimana informasi diproses dan bagaimana informasi dikomunikasikan dalam organisasi.
e.      Nilai-nilai ideologi, dimana nilai ideologi seperti misalnya nasionalisme dapat menjadi landasan pembuatan kebijakan, baik kebijakan dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu, ideologi juga masih merupakan sarana untuk merasionalisasikan dan melegitimasikan tindakan-tindakan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.  

Sedangkan menurut Nigro and Nigro (Islamy; 1991, 25), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses formulasi kebijakan adalah :
a.      Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar.
Walaupun ada pendekatan formulasi kebijakan dengan nama “rationale comprehensive” yang berarti administrator sebagai pembuat keputusan harus mempertimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian rasional semata, tetapi proses dan formulasi kebijakan itu tidak dapat dipisahkan dari dunia nyata, sehingga adanya tekanan dari luar ikut berpengaruh terhadap proses formulasi kebijakan.  
b.      Adanya pengaruh kebiasaan lama.
Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal, sumber-sumber dan waktu terhadap kegiatan suatu program tertentu cenderung akan selalu diikuti, meskipun keputusan-keputusan tersebut telah dikritik sebagai sesuatu yang salah sehingga perlu dirubah, apalagi jika suatu kebijakan yang telah ada dipandang memuaskan.  
c.       Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi.
Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya, seperti dalam proses penerimaan atau pengangkatan pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat keputusan berperan besar sekali.
d.      Adanya pengaruh dari kelompok luar.
Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan juga sangat berpengaruh, bahkan sering pula pembuatan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan pengalaman dari orang lain yang sebelumnya berada diluar proses formulasi kebijakan.
e.      Adanya pengaruh keadaan masa lalu.
Pengalaman latihan dan pengalaman pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan keputusan  atau bahkan orang-orang yang bekerja di kantor pusat sering membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan dilapangan, hal ini disebabkan karena adanya kekhawatiran bahwa delegasi wewenang dan tanggung jawab kepada orang lain akan disalahgunakan.

Masalah nilai dalam diskursus analisis kebijakan publik, merupakan aspek metapolicy karena menyangkut substansi, perspektif, sikap dan perilaku, baik yang tersembunyi ataupun yang dinyatakan secara terbuka oleh para actor yang bertanggung jawab dalam perumusan kebijakan publik. Masalah nilai menjadi relevan untuk dibahas karena ada satu anggapan yang mengatakan bahwa idealnya pembuat kebijakan itu seharusnya memiliki kearifan sebagai seorang filsuf raja, yang mampu membuat serta mengimplementasikan kebijakan-kebijakannya secara adil sehingga dapat memaksimalkan kesejahteraan umum tanpa melanggar kebebasan pribadi. Meskipun demikian, realita menunjukkan bahwa kebanyakan keputusan-keputusan kebijakan tidak mampu memaksimasi ketiga nilai tersebut di atas. Juga, tidak ada bukti pendukung yang cukup meyakinkan bahwa nilai yang satu lebih penting dari yang lainnya. Oleh karena itu, maka keputusan-keputusan kebijakan mau tidak mau haruslah memperhitungkan multi-nilai (multiple values). Kesadaran akan pentingnya multiple values itu dilandasi oleh pemikiran “ethical pluralism”, yang dalam teori pengambilan keputusan sering disebut dengan istilah “multi objective decision making”.

Pada tataran ini, menjadi jelas bahwa para pembuat kebijakan idealnya memperhatikan semua dampak, baik positif maupun negatif dari tindakan mereka, tidak saja bagi para warga unit geopolitik mereka, tetapi juga warga yang lain, dan bahkan generasi di masa yang akan datang. Oleh karena itu, proses pembuatan kebijakan yang bertanggung jawab ialah proses yang melibatkan interaksi antara kelompok-kelompok ilmuwan, pemimpin-pemimpin organisasi professional, para administrator dan para politisi.           

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Posisi Mata Kuliah Ekonomi Politik Pembangunan


Posisi Mata Kuliah Ekonomi Politik Pembangunan


Subyek
Metode
1. Fokus pada politik
dengan menggunakan metode ekonomi murni
2. Gabungan ekonomi – politik
Menggunakan metode ekonomi  dengan fokus kepada politik
Contohnya
Kebijakan publik
Kebijakan pembangunan
3. Gabungan eknomi politik – ekonomi
Metode uang digunakan adalah politik dengan fokus(subyek) ekonomi
4. Menggunakan metode politik dengan fokus kepada ilmu politik

penjelasan
kotak 2
neo klasikal political ekonomi – the new political ekonomi
merupakan dasar menggunakan metodologi ekonomi, yaitu:
-          analitical public choice
-          rasional choice
metode yang digunakan adalah melalui pendekatan neo-klasik

Perspektif Klasik
cara yang paling baik dalam mengelola ekonomi suatu negara untuk mencapai kesejahteraan adalah dengan cara  menyerahkan seluruh pengelolaan seluruhnya kepada masing-masing individu.
alasannya adalah:
1. ada asumsi  bahwa setiap makhluk atau pelaku ekonomi atau individu adalah makhluk rasional, setiap tindakan untuk nelakukan sesuatu mempertimbangkan untung rugi.
2. yang paling tahu tentang tujuan dan cara mencapai tujuan itu adalah diri sendiri
mekanisme pasar – persaingan pasar – ketimpangan (sifatnya sementara) – keseimbangan baru ( tidak ada yang mengatur / impisible hand)
state atau negara tidak diharapkan mengatur karena sudah diserahkan kepada mekanisme pasar.
pada tahun 1930 terjadi krisis ekonomi. yang membuat
a. tidak ada pertumbuhan ekonomi ( stagnasi)
b. inflasi sangat tinggi (uang yang beredar dalam masyarakat lebih banyak dari paa barang yang ada)
pasar gagal menciptakan kemakmuran masyarakat (market failure)

John M, Kynes
untuk mengatasi kolaps , negara harus turun campur:
kebijakan fiscal -> apbn -> subsidi
prakteknya malah negara mengatur seluruh aktifitas masyarakat
negara memonopoli pasar -> tidak menciptakan kemakmuran

Neo-Klasik
boleh ada campur tangan negara, akan tetapi melalui mekanisme  moneter ( ada batasannya)
fiskal - APBN
moneter – manaikkan atau menurunkan tingkatvsuku bungan
disamping itu negara juga harus berupaya melalui kebijakan
contohnya kebijakan kepastian hukum

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS