Keuangan Daerah

Keuangan daerah merupakan bagian integral dari keuangan negara dalam pengalokasian sumber-sumber
ekonomi, pemerataan hasil-hasil pembangunan dan menciptakan stabilitas
ekonomi guna stabilitas sosial politik. Peranan keuangan daerah menjadi
semakin penting karena adanya keterbatasan dana yang dapat dialihkan
ke daerah berupa subsidi dan bantuan. Selain itu juga karena semakin
kompleksnya persoalan yang dihadapi daerah yang pemecahannya membutuhkan
partisipasi aktif dari masyarakat di daerah. Peranan keuangan daerah
akan dapat meningkatkan kesiapan daerah untuk mendorong terwujudnya
otonomi daerah yang lebih nyata dan bertanggungjawab.

Mamesah (1995: 16) mengemukakan bahwa keuangan negara ialah semua hak dan kewajiban
yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa
uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan negara berhubungan
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Kekayaan daerah ini sepanjang
belum dimiliki atau dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi,
serta pihak-pihak lain sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundangan
yang berlaku.

Pemerintah daerah sebagai sebuah institusi publik dalam kegiatan pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan memerlukan sumber dana atau modal untuk
dapat membiayai pengeluaran pemerintah tersebut (goverment expenditure)
terhadap barang-barang publik (public goods) dan jasa pelayanan. Tugas
ini berkaitan erat dengan kebijakan anggaran pemerintah yang meliputi
penerimaan dan pengeluaran.

Pemerintah dalam melaksanakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab
memerlukan dana yang cukup dan terus meningkat sesuai dengan meningkatnya
tuntutan masyarakat, kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Dana tersebut
diperoleh melalui kemampuan menggali sumber-sumber keuangan sendiri
yang didukung oleh perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai sumber
pembiayaan. Oleh karena itu, keuangan daerah merupakan tolak ukur bagi
penentuan kapasitas dalam menyelenggarakan tugas-tugas otonomi, di samping
tolak ukur lain seperti kemampuan sumber daya alam, kondisi demografi,
potensi daerah, serta partisipasi masyarakat.

Tujuan utama pengelolaan keuangan daerah, yaitu (1) tanggung jawab, (2) memenuhi
kewajiban keuangan, (3) kejujuran, (4) hasil guna, dan (5) pengendalian
(Binder, 1984: 279). Dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah saat
ini, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan
daerah dan anggaran daerah adalah sebagai berikut (Mardiasmo, 2000:
3) :
  1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public oriented). Hal
    tersebut tidak hanya terlihat dari besarnya pengalokasian anggaran untuk
    kepentingan publik, tetapi juga terlihat dari besarnya partisipasi masyarakat
    (DPRD) dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan daerah.
  2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada
    khususnya.
  3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran serta dari partisipasi yang terkait dalam
    pengelolaan anggaran, seperti DPRD, Kepala Daerah, Sekda dan perangkat
    daerah lainnya.
  4. Kerangka hukum dan administrasi atas pembiayaan, investasi dan pengelolaan keuangan daerah
    berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan
    akuntabilitas.
  5. Kejelasan tentang
    kedudukan keuangan DPRD, Kepala Daerah, dan PNS, baik rasio maupun dasar
    pertimbangannya.
  6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja dan anggaran multi tahunan.
  7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang-barang daerah yang lebih profesional.
  8. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, peran akuntan publik
    dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran, serta
    transparansi informasi anggaran kepada publik.
  9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi dan peran
    anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah
    daerah.

  10. Pengembangan sistem
    informasi keuangan daerah untuk menyediakan informasi anggaran yang
    akurat dan komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi,
    sehingga memudahkan pelaporan dan pengendalian, serta mempermudah mendapatkan
    informasi.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Keberhasilan Otonomi Daerah

Untuk mengetahui apakah suatu daerah otonom mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri, Syamsi (1986: 199) menegaskan beberapa ukuran sebagai berikut:
    1. Kemampuan struktural organisasi
    Struktur organisasi pemerintah daerah harus mampu menampung segala aktivitas
    dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya, jumlah dan
    ragam unit cukup mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas, wewenang dan
    tanggung jawab yang cukup jelas.
    1. Kemampuan aparatur pemerintah daerah
    Aparat pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam mengatur dan
    mengurus rumah tangga daerah. Keahlian, moral, disiplin dan kejujuran
    saling menunjang tercapainya tujuan yang diinginkan.
    1. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat
    Pemerintah daerah harus mampu mendorong masyarakat agar memiliki kemauan untuk
    berperan serta dalam kegiatan pembangunan.
    1. Kemampuan keuangan daerah
    Pemerintah daerah harus mampu membiayai kegiatan pemerintahan, pembangunan dan
    kemasyarakatan secara keseluruhan sebagai wujud pelaksanaan, pengaturan
    dan pengurusan rumah tangganya sendiri. Sumber-sumber dana antara lain
    berasal dari PAD atau sebagian dari subsidi pemerintah pusat.
Keberhasilan suatu daerah menjadi daerah otonomi dapat dilihat dari beberapa hal
yang mempengaruhi (Kaho, 1998), yaitu faktor manusia, faktor keuangan,
faktor peralatan, serta faktor organisasi dan manajerial. Pertama, manusia
adalah faktor yang esensial dalam penyelenggaraan pemerintah daerah
karena merupakan subyek dalam setiap aktivitas pemerintahan, serta sebagai
pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Kedua,
keuangan yang merupakan bahasan pada lingkup penulisan ini sebagai faktor
penting dalam melihat derajat kemandirian suatu daerah otonom untuk
dapat mengukur, mengurus dan membiayai urusan rumah tangganya. Ketiga,
peralatan adalah setiap benda atau alat yang dipergunakan untuk memperlancar
kegiatan pemerintah daerah. Keempat, untuk melaksanakan otonomi daerah
dengan baik maka diperlukan organisasi dan pola manajemen yang baik.

Kaho (1998) menegaskan bahwa faktor yang sangat berpengaruh dalam pelaksanaan otonomi
daerah ialah manusia sebagai pelaksana yang baik. Manusia ialah faktor
yang paling esensial dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagai
pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Agar
mekanisme pemerintahan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan
yang diharapkan, maka manusia atau subyek harus baik pula. Atau dengan
kata lain, mekanisme pemerintahan baik daerah maupun pusat hanya dapat
berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuan seperti yang diinginkan
apabila manusia sebagai subyek sudah baik pula.

Selanjutnya, faktor yang kedua ialah kemampuan keuangan daerah yang dapat mendukung
pembiayaan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Mamesah
mengutip pendapat Manulang (1995: 23) yang menyebutkan bahwa dalam kehidupan
suatu negara, masalah keuangan negara sangat penting. Semakin baik keuangan
suatu negara, maka semakin stabil pula kedudukan pemerintah dalam negara
tersebut. Sebaliknya kalau kondisi keuangan negara buruk, maka pemerintah
akan menghadapi berbagai kesulitan dan rintangan dalam menyelenggarakan
segala kewajiban yang telah diberikan kepadanya.

Faktor ketiza ialah anggaran, sebagai alat utama pada pengendalian keuangan daerah,
sehingga rencana anggaran yang dihadapkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) harus tepat dalam bentuk dan susunannya. Anggaran berisi
rancangan yang dibuat berdasarkan keahlian dengan pandangan ke muka
yang bijaksana, karena itu untuk menciptakan pemerintah daerah yang
baik untuk melaksanakan otonomi daerah, maka mutlak diperlukan anggaran
yang baik pula.

Faktor peralatan yang cukup dan memadai, yaitu setiap alat yang dapat digunakan untuk
memperlancar pekerjaan atau kegiatan pemerintah daerah. Peralatan yang
baik akan mempengaruhi kegiatan pemerintah daerah untuk mencapai tujuannya,
seperti alat-alat kantor, transportasi, alat komunikasi dan lain-lain.
Namun demikian, peralatan yang memadai tersebut tergantung pula pada
kondisi keuangan yang dimiliki daerah, serta kecakapan dari aparat yang
menggunakannya.

Faktor organisasi dan manajemen baik, yaitu organisasi yang tergambar dalam struktur organisasi
yang jelas berupa susunan satuan organisasi beserta pejabat, tugas dan
wewenang, serta hubungan satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan
tertentu. Manajemen merupakan proses manusia yang menggerakkan tindakan
dalam usaha kerjasama, sehingga tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai.
Mengenai arti penting dari manajemen terhadap penciptaan suatu pemerintahan
yang baik, mamesah (1995 : 34) mengatakan bahwa baik atau tidaknya manajemen
pemerintah daerah tergantung dari pimpinan daerah yang bersangkutan,
khususnya tergantung kepada Kepala Daerah yang bertindak sebagai manajer
daerah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah

Agar dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang menitik beratkan pada Daerah sesuai
dengan tujuannya, seperti yang dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 bahwa penyelenggaraan pemerintah daerah mempunyai
prinsip sebagai berikut:
    1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, potensi dan keanekaragaman daerah.
    2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
    3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan kota,
      sedangkan untuk propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
    4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap terjamin
      hubungan yang serasi antara pusat dan daerah, serta antar daerah.
    5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom dan karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada bagi wilayah administrasi.
    6. Pelaksanaanh otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif
      daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
    7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai
      wilayah administratif untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah.
Berdasarkan prinsip tersebut di atas, maka dapat diartikan bahwa peranan pemerintah
daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah
cukup besar. Terutama dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat,
akan tetapi masih tetap dalam kerangka memperkokoh negara kesatuan sesuai
dengan konstitusi yang berlaku. Prinsip-prinsip tersebut perlu dipahami
oleh setiap aparatur pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan terhadap
masyarakat dan pemerintah pusat sebagai perumus kebijaksanaan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Arti Otonomi Daerah

Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu outus yang berarti sendiri dan nomos
berarti undang-undang. Menurut perkembangan sejarah pemerintahan di
Indonesia, otonomi selain mengandung arti perundang-undangan juga mengandung
arti pemerintahan atau perundang-undangan sendiri (Pamudji, 1982: 45).

Sesuai dengan Pasal 1 butir (h) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah, menyebutkan bahwa otonomi daerah
adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri atau aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

Tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur
dan mengurus rumah tangga sendiri dalam rangka meningkatkan daya guna
dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan bagi pelayanan masyarakat
dan pelaksanaan pembangunan. Untuk melaksanakan tujuan itu, maka kepada
daerah diberikan wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan.

Untuk pemerintah Propinsi hanya diberikan otonomi terbatas yang meliputi kewenangan lintas
kabupaten dan kota. Selain itu, kewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan
oleh daerah kabupaten atau kota, serta kewenangan bidang pemerintahan
tertentu lainnya (Pasal 9 ayat 1 dan 2 UU No. 32 Tahun 2004).

Hal tersebut menunjukkan bahwa otonomi daerah merupakan hak, wewenang dan kewajiban
daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Ini berguna
untuk peningkatan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan
di daerah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan. Untuk dapat mencapainya, maka titik berat
otonomi diletakkan di daerah kabupaten dan daerah kota dengan pertimbangan
bahwa daerah kabupaten atau kota langsung berhubungan dengan masyarakat.

Menurut Utomo (2000), seluruh khasanah politik dan pemerintahan di Indonesia, termasuk
manajemem pemerintahan daerah, membicarakan mengenai otonomi, desentralisasi
atau demokrasi lokal yang harus menitik beratkan adanya kewenangan.
Dengan kewenangan yang dimiliki, akan memotivasi daerah untuk menumbuhkan
inisiatif dan kreativitas tidak saja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
tetapi juga untuk tercapainya kemandirian daerah.

Meskipun tidak dapat ditolak bahwa penyelenggaraan manajemen pemerintahan daerah diperlukan
adanya keuangan yang cukup memadai. Hal ini dapat terjadi suatu polemik
“apa artinya kewenangan apabila tidak ada uang atau sebaliknya apa
artinya memiliki uang kalau tidak memiliki kewenangan”.

Kewenangan menjadi central issues dalam pelaksanaan otonomi karena untuk mengembalikan
kekuasaan dari tangan penguasa kepada kedaulatan rakyat. Di samping
itu, untuk menumbuhkan kemandirian dan pemberdayaan daerah dan masyarakat
daerah. Selama beberapa tahun yang lalu, kewenangan belum pernah dirasakan
dan dipegang oleh daerah, sehingga tidaklah mengherankan apabila di
era reformasi sering terjadi adanya euphoria yang berlebihan ataupun
juga defence mechanism yang terlalu ketat padahal kewenangan belum secara
nyata dilimpahkan.

Pada prinsipnya, hakekat otonomi daerah ialah mempunyai sumber keuangan sendiri, mengelola
dan menggunakannya untuk melaksanakan tugas otonomi, serta mempunyai
anggaran belanja yang ditetapkan sendiri. Dalam pelaksanaan otonomi
daerah, ada tiga faktor yang menentukan, yaitu perangkat, personalia,
dan pembiayaan atau pendanaan daerah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Publik Oleh Pemerintah Daerah

George Edwards III (1980) mengungkapkan ada empat faktor dalam mengimplementasikan
suatu kebijakan publik yaitu:
  1. Komunikasi
  2. Sumber daya
  3. Disposisi atau perilaku
  4. Struktur Birokratik
Keempat faktor tersebut secara simultan bekerja dan berinteraksi satu sama lain agar
membantu proses implementasi atau sebaliknya menghambat proses implementasi.
keempat faktor tersebut saling mempengaruhi secara langsung ataupun
tidak langsung keefektifan implementasi kebijakan.

Sementara menurut Maarse (1987), Keberhasilan suatu kebijakan ditentukan oleh isi dari
kebijakan yang harus dilaksanakan dimana isi yang tidak jelas dan samar
akan membingungkan para pelaksana di lapangan sehingga interpretasinya
akan berbeda. Kemudian ditentukan pula oleh tingkat informasi dari aktor-aktor
yang terlibat dalam pelaksanaan sehingga pelaksana dapat bekerja optimal.
Lalu ditentukan juga oleh banyaknya dukungan yang harus dimiliki agar
kebijakan dapat dilaksanakan dan pembagian dari potensi-potensi yang
ada seperti diferensiasi wewenang dalam struktur organisasi.

Atas dasar hal tersebut, dalam mengimplementasikan suatu kebijakan Pemerintah Daerah
harus memperhatikan bermacam-macam faktor. Arus informasi dan komunikasi
perlu diperhatikan sehingga tidak terjadi pemahaman yang berbeda antara
isi kebijakan yang diberikan oleh pusat dengan persepsi aparat pelaksana
di daerah. Diperlukan pula dukungan sumber daya maupun stakeholders
yang terkait dengan proses implementasi kebijakan di daerah. Diperlukan
pula pembagian tugas maupun struktur birokrasi yang jelas di daerah
sehingga tidak terjadi ketimpangan tugas dalam proses implementasi suatu
kebijakan di daerah. Diperlukan pula nilai-nilai yang dapat dianut atau
dijadikan pegangan oleh pemerintah daerah untuk menerjemahkan setiap
kebijakan yang harus diimplementasikan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Peran Pemerintah Daerah Dalam Implementasi Kebijakan Publik

Menurut Fadilah Putra (2001), kebijakan publik adalah sesuatu yang dinamis dan kompleks bukannya sesuatu yang kaku dan didominasi oleh para pemegang kekuasaan formal semata, namun kebijakan publik kembali ke makna dasar demokratiknya, yaitu kebijakan yang dari, oleh dan untuk publik (rakyat).

Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang  Nomor 33 tahun 2004, yang disempurnakan dengan Undang-Undang proses desentralisasi menghendaki kekuasaan terdistribusi hingga ke lapisan bawah di masyarakat. Menurut Sudantoko (2003) Desentralisasi menjanjikan banyak hal bagi kemanfaatan dan kesejahteraan kehidupan masyarakat di tingkat lokal.

Untuk mengimplementasikan kebijakan publik yang sesuai dengan makna dasarnya yakni dari, oleh dan untuk rakyat diperlukan implementasi yang sesuai dengan keadaan masyarakat setempat melalui desentralisasi yang diwujudkan perannya oleh pemerintah daerah yang dianggap lebih mengenal dan lebih dekat dengan masyarakat lokal.

Menurut Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999, pemerintah dan masyarakat di daerah dipersilahkan mengurus rumah tangganya sendiri secara bertanggung jawab. Pemerintah pusat tidak menguasai dengan penuh, namun hanya sebatas memberi arahan, memantau, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian setiap kebijakan nasional harus diimplementasikan oleh pemerintah daerah. Implementasi tidak hanya dalam bentuk menterjemahkan kebijakan dalam suatu pedoman teknis, tetapi juga dengan memperhatikan berbagai faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Agar pemerintah daerah dapat mengimplementasikan Kebijakan nasional diperlukan pemahaman terhadap isu strategis yang hendak diaturnya, hal ini terkait dengan persepsi dari aparat pemerintah daerah terhadap isu strategis tersebut. Tentang persoalan pemahaman pemerintah daerah atau dikenal dengan persepsi sebenarnya merupakan bidang psikologis yang memiliki dimensi kerumitan tinggi. Pembongkaran kerumitan variabel psikologis berkaitan dengan persepsi, sebagaimana sikap dan kepribadian, merupakan pekerjaan yang berat dan besar. Persepsi yang sederhananya dimengerti sebagai ”proses kognitif seseorang untuk menafsirkan dan memahami lingkungannya” pada intinya merupakan bagian dari tafsiran pribadi. Oleh karena itu individu yang berbeda akan memberi makna berbeda terhadap obyek yang sama.

Karena persepsi yang berkaitan erat dengan kognisi atau pengetahuan, maka pengalaman individu akan memegang peran penting dalam proses penafsiran obyek. Secara simultan, persepsi akan mencakup penerimaan stimulus, pengorganisasian stimulus, dan penafsiran stimulus, yang pada akirnya mempengaruhi perilaku dan pembentukan sikap seseorang. Adanya potensi ketidakseimbangan antara cakupan persepsi tersebut, maka tidak mengherankan apabila sering muncul kesalahan seseorang dalam mempersepsikan obyek tertentu. Individu cenderung menginterpretasikan obyek sesuai dengan keadaannya sendiri (Gibson Ivancevich Donnelly, 1895: 58-61).

Persepsi demikian penting dan memiliki relevansi mendasar dalam kaitannya dengan perilaku organisasi, sebagaimana organisasi pemerintah daerah. Namun demikian yang pertama perlu difahami tentang persepsi adalah, bahwa persepsi tidak mungkin dapat berdiri sendiri tanpa adanya keterjalinan dengan
komunikasi. Dengan demikian antara persepsi dan komunikasi terjalin suatu interdependensi yang kuat. Agar lebih jelas perlu dikemukakan terlebih dahulu makna persepsi dan komunikasi sebagai berikut:

Persepsi adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang didalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman.

Komunikasi adalah suatu proses penyampaian dan penerimaan berita atau informasi dari seseorang ke orang lain.

Persepsi pada dasarnya terbentuk karena adanya kolaborasi antara faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan proses pemahaman didalam sistem nilai, tujuan, kepercayaan dan penilaian atas hasil yang dicapai. Sedangkan faktor eksternal berarti lingkungan yang mempengaruhi. Kolaborasi antara faktor internal dan eksternal yang pada gilirannya melahirkan persepsi, hanya dapat mungkin berlangsung dalam suatu proses yang dinamakan komunikasi. Demikian pula sebaliknya, suatu komunikasi hanya mungkin berlangsung berdasarkan suatu persepsi dari orang-orang yang terlibat (Miftah Thoha, 1983: 145)

Berdasarkan pemahaman tersebut ternyatalah bahwa persepsi sebenarnya merupakan suatu kegiatan interpretatif terhadap situasi sehingga tidak dapat dikatakan sebagai kebenaran atas situasi. Sebagai suatu proses yang sangat kompleks, persepsi dapat menghasilkan suatu kesimpulan atas suatu realitas yang kemungkinan sangat berbeda dengan realitas yang sesungguhnya. Meskipun persepsi sangat tergantung pada penginderaan sebagaimana dipahami dalam batasan persepsi, namun persepsi tidak sama dengan penginderaan. Proses persepsi lebih luas dan rumit dibanding penginderaan, karena persepsi secara kognitif dapat melakukan aktivitas seleksi, penyusunan, penyederhanaan, pengubahan dan penafsiran terhadap data. Atau dengan kata lain melalui proses persepsi, maka proses penginderaan dapat dimanipulasi dalam bentuk
penambahan-penambahan ataupun pengurangan-pengurangan (Miftah Thoha, 2004: 159).

Pada sisi lain, persepsi juga berkaitan langsung dengan motivasi. Persepsi yang merupakan suatu kesadaran kognitif, merupakan penilaian umpan balik dari kenyataan lingkungan yang dialaminya dan rangsangan yang diterima. Setelah persepsi terjadi, maka reaksi selanjutnya adalah motivasi untuk betingkah laku
(Cushway, 1993). Motiva\si menguraikan cara individu berperilaku sebagai reaksi dari adanya persepsi, dengan terlebih dahulu melibatkan tahapan negosiasi (Shortell, 1988). Kemampuan pemimpin dalam memberikan motivasi kepada bawahan secara efektif, sangat memerlukan komunikasi yang baik. Pimpinan harus memiliki kemampuan untuk menjalankan kerjasama dan menyesuaikan antara kebutuhan staf dan tugas organisasi. Berbagai teori dikemukakan para ahli tentang cara melakukan motivasi (Burges, 1988). Dalam permasalahan organisaasi, perilaku ini sangat dipengaruhi oleh tujuan, visi, misi, panutan, tanggung jawab, batas waktu, dan komunikasi. Selain itu, perilaku akan dipermudah oleh sumber daya yang dimiliki, baik alat, dana, informasi, personil, waktu, dan kewenangan (Cushway, 1993).

Jelaslah bahwa persepsi seorang manajer terhadap perubahan organisasi maupun tugas yang harus dilakukan seorang manajer adalah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dihadapi agar mendapatkan kesamaan persepsi terhadap tujuan, misi, dan tanggung jawab, serta organisasi yang dipimpinnya, sehingga organisasi dapat mencapai tujuan dan misinya dengan baik, efisien, dan efektif (Cushway, 1993). Kesamaan persepsi akan mendorong terbentuknya motivasi yang mendukung makna dari perubahan-perubahan yang terjadi, dengan kata lain bahwa kesamaan persepsi akan mendorong terciptanya motivasi bagi pelaksanaan pencapaian tujuan dan misi yang dihadapinya. Dengan motivasi, maka perilaku yang diinginkan akan menjadi faktor yang menentukan tercapainya tujuan organisasi.

Faktor internal yang yang menonjol mempengaruhi terjadinya persepsi antara lain proses belajar, motivasi, dan kepribadian. Sedangkan faktor ekternal terdiri atas intensitas, ukuran, keberlawanan, pengulangan, dan gerakan. Pengorganisasian atas faktor internal dan ekternal tersebut dapat melahirkan suatu pengertian dalam bentuk: kesamaan dan ketidaksamaan, kedekatan dalam ruang, dan kedekatan dalam waktu. Pengorganisasian dalam bentuk kesamaan dan ketidaksamaan akan mempersepsikan obyek sebagai berhubungan dan tidak berhubungan. Pengorganisasian bentuk kedekatan dalam ruang akan mempersepsikan obyek sebagai berhubungan. Pengorganisasian bentuk kedekatan dalam waktu akan
mempersepsikan obyek sebagai berhubungan.

Pada akhirnya yang penting dipahami dalam kaitannya dengan perilaku organisasi adalah konsep persepsi sosial. Persepsi sosial mengandung makna berhubungan langsung dengan pemahaman individual terhadap pihak lain. Didalam persepsi sosial akan terjadi pelibatan antara pihak penilai dan pihak dinilai yang memiliki karakteristik masing-masing. Karakter pihak penilai antara lain: mengetahui karakter diri sendiri, karakter diri sendiri seolah dapat mempengaruhi karakter pihak lain, aspek meny\enangkan dari pihak lain seolah mampu dilihat oleh diri sendiri, dan ketepatan dalam menilai orang lain bukan merupakan kecakapan yang berdiri sendiri. Sedangkan karakter pihak dinilai antara lain: status pihak dinilai mempengaruhi persepsi penilai, pihak dinilai ditempatkan dalam kategori tertentu, Sifat atau perangai pihak dinilai mempengaruhi persepsi penilai.

Persepsi dalam manajemen pemerintah daerah, secara umum diartikan sebagai respon pemerintah daerah terhadap perubahan yang terjadi, dan hal ini tergantung pada perhatian dan kebutuhan-kebutuhan, serta tujuan-tujuan dari manajer itu sendiri (Shortell, 1988). Bagi organisasi pemerintah daerah, pemahaman terhadap perubahan-perubahan yang terjadi tersebut dapat dilakukan melalui empat pendekatan sebagai berikut:
  1. Melakukan motivasi kepada para anggota, baik perorangan maupun dalam kelompok, untuk menumbuhkan kesamaan persepsi, kebersamaan, mengurangi konflik, meningkatkan semangat
    kerja, dan menyusun kekuatan yang dimiliki.
  2. Melakukan penguasaan tehnik operasional dalam rangka mencapai produktivitas, efisiensi, peningkatan mutu, dan orientasi terhadap pelanggan.
  3. Menyusun kembali bentuk organisasi yang cocok dan sesuai dengan lingkungan kebutuhan,
    tantangan, maupun peluang yang dihadapi.
  4. Memiliki wawasan jauh ke depan, dan mengembangkan pola pikir strategi, pro-aktif, kreatif
    dalam menyongsong masa depannya (Shortell, 1988).
Konstruksi tentang persepsi sebagaimana terurai di atas, pada akhirnya harus menyadari pentingnya pemahaman atas ”persepsi sosial” dan ”persepsi selektif” Kepentingan pemahaman terhadap persepsi sosial dikarenakan kita hidup dalam suatu organisasi, sedangkan kepentingan pemahaman terhadap persepsi selektif karena kita harus mampu bersikap kritis terhadap besarnya informasi dan data yang masuk. Persepsi sosial dan persepsi selektif lebih lanjut dapat diuraikan lebih lanjut.

Persepsi sosial secara umum dapat dibagi dalam tiga aspek, yaitu aspek atribusi, stereotype dan hallo effect.
  1. Aspek Atribusi: merupakan aspek dalam persepsi sosial yang cenderung menginterpretasikan
    obyek dalam kondisi sebab akibat. Contoh: Persepsi seseorang terhadap perilaku pejabat yang cenderung lunak terhadap wanita, dikarenakan semua anaknya adalah wanita.
  2. Aspek Stereotype: merupakan aspek dalam persepsi sosial yang cenderung menginterpretasikan obyek dalam kondisi beberapa kategori. Contoh: Persepsi seseorang terhadap perilaku pejabat dilihat dari kategori suku, akan menghasilkan interpretasi bahwa pejabat dari suku batak dinilai kasar
    dan pejabat dari suku sunda dinilai lebih halus. Namun jika dilihat dari kategori ketegasan, akan menghasilkan interpretasi bahwa pejabat dari suku batak dinilai lebih tegas.
  3. Aspek Hallo Effect: merupakan aspek dalam persepsi sosial yang cenderung menginterpretasikan
    obyek berdasarkan sifat tunggal saja. Contoh: Persepsi seseorang terhadap perilaku pejabat dilihat hanya dari sifat rajinnya saja, sehingga sifat-sifat lain tidak diperhitungkan.
Sebagaimana didalam persepsi sosial, maka didalam persepsi selektif terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan, antara lain adalah aspek karakteristik, situasi, kebutuhan, dan emosi.
  1. Aspek Karakteristik: merupakan aspek dalam persepsi selektif yang cenderungmenginterpretasikan obyek berdasarkan kriteria diri sendiri. Contoh: Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang sangat kritis, cenderung akan memiliki persepsi mitra kerjanya juga memiliki sikap kritis.
  2. Aspek Situasi: merupakan aspek dalam persepsi selektif yang cenderung menginterpretasikan obyek berdasarkan kriteria situasi. Contoh: Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang sedang terdesak waktu untuk menyelesaikan tugas, cenderung akan memiliki persepsi yang dipengaruhi oleh keterbatasan waktu sehingga terkadang berpotensi mengabaikan beberapa prosedur yang biasanya dilakukan.
  3. Aspek Kebutuhan: merupakan aspek dalam persepsi selektif yang cenderung menginterpretasikan
    obyek berdasarkan kriteria kebutuhan. Contoh: Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerahyang sedang membutuhkan data pembanding untuk menyelesaikan tugas, cenderung akan memiliki persepsi ang dipengaruhi oleh kebutuhan akan data tersebut sehingga berpotensi kurang teliti
    dalam penggunaan data.
  4. Aspek Emosi: merupakan aspek dalam persepsi selektif yang cenderung menginterpretasikan obyek berdasarkan kriteria emosi. Contoh: Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang sedang dalam kondisi emosional oleh suatu sebab, cenderung akan memiliki persepsi bahwa peraturan organisasi yang ada sangat buruk.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Fungsi dan Peran Pemerintah Daerah

Pemerintah selaku pemegang kekuasaan eksekutif dibedakan dalam dua pengertian yuridis,
yakni:
  1. Selaku alat kelengkapan negara yang bertindak untuk dan atas nama negara yang kekuasaannya melekat pada kedudukan seorang kepala negara.
  2. Selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas penyelenggaraan pemerintahan atau selaku administrator
    negara (pejabat atau badan atas usaha negara)
Pemerintahan adalah berkenaan dengan sistem, fungsi, cara, perbuatan, kegiatan, urusan,
atau tindakan memerintah yang dilakukan atau diselenggarakan atau dilaksanakan
oleh pemerintah. Eksekutif adalah cabang kekuasaan dalam negara yang
melaksanakan kebijakan publik (kenegaraan dan atau pemerintahan) melalui
peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif
maupun atas inisiatif sendiri.

Administrasi (negara) adalah badan atau jabatan dalam lapangan kekuasaan eksekutif
yang mempunyai kekuasaan mandiri berdasarkan hukum untuk melakukan tindakan-tindakan,
baik di lapangan pengaturan maupun penyelenggaraan administrasi (negara).

Berkaitan hubungan antara pemerintahan dan administrasi negara, maka didalam organisasi
modern sebagaimana negara dan perangkatnya, Max Weber mengintroduksi
terminologi birokrasi dengan mengatakan sebagai berikut: (Dahl, 1994: 13)

Pemerintah tidak lain adalah yang berhasil menopang klaim bahwa perintahlah yang
secara eksklusif berhak menggunakan kekuatan fisik untuk memaksakan
aturan-aturannya dalam suatu batas wilayah tertentu. Sedangkan dalam
pelaksanaan organisasi pemerintahan dibentuk birokrasi.

Tugas pokok pemerintahan adalah pelayanan yang membuahkan kemandirian, pembangunan
menciptakan kemakmuran. Sedangkan Birokrasi itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

  1. Birokrasi patrimonial yang berfungsi berdasarkan nilai-nilai tradisional yang tidak memisahkan antara tugas, wewenang, dan tanggung jawab dinas dengan urusan pribadi pejabat.
  2. Birokrasi modern (rasional) dicirikan dengan adanya spesialisasi, hukum, pemisahan tugas
    dinas dan urusan pribadi.
Lebih jauh berkaitan dengan birokrasi publik di Indonesia, Miftah Thoha (Miftah
Thoha, 2000: 4-5) memberikan catatan tentang restrukturisasi dan reposisi
birokrasi publik. Sekurangnya terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan,
yaitu aspek penegakan demokrasi, aspek perubahan sistem politik, dan
aspek perkembangan teknologi informasi.
  1. Aspek Penegakan Demokrasi: Prinsip demokrasi yang paling urgen adalah meletakkan kekuasaan pada rakyat dan bukan pada penguasa. Oleh karena itu struktur kelembagaan pemerintah yang disebut birokrasi tidak dapat lepas dari kontrol rakyat. Wujud kekuasaan dan peran rakyat ialah bahwa pada setiap penyusunan birokrasi harus berdasarkan undang-undang. Berdasarkan undang-undang, rakyat terlibat dalam mendesain dan menetapkan lembaga-lembaga pemerintahan atau birokrasi di pusat maupun di daerah.
  2. Aspek Perubahan Sistem Politik: Era reformasi saat ini sungguh menghadapi persoalan kondisi mental, sikap dan perilaku politik warisan rezim terdahulu terutama dalam kerangka single majority Golongan Karya. Pada masa orde baru semua posisi jabatan dalam organisasi publik ditempati olehkader-kader Golkar. Oleh karena itu tidak dapat dibedakan manakah yang “birokrat tulen” dan manakah “birokrat partisan” Struktur organisasi publik berkembang antara pejabat birokrasi dan pejabat politik. Semua organisasi pemerintah dikaburkan antara jabatan karier dan nonkarier, antara jabatan birokrasi
    dan jabatan politik.
  3. Aspek Perkembangan Teknologi Informasi: Kemajuan jaman dan perubahan global telah menjadikan
    cara kerja suatu birokrasi dengan menggunakan teknologi informasi. Cara demikian telah menciptakan “birokrasi tanpa batas dan tanpa kertas” Berdasarkan kondisi demikian, maka tatanan organisasi akan berubah menjadi lebih pendek dan ramping. Sesuai dengan asas demokrasi, kewenangan birokrasi
    menjadi tidak hanya berada pada tataran penguasa melainkan tersebar dimana-mana (decentralized). Birokrasi tanpa batas dan tanpa kertas telah menjadikan birokrasi tidak lagi secara tegas mengikuti garis hirarki. Struktur organisasi bersifat ad-hoc, komite, dan matrik akan menjadi model organisasi mendatang, yang sering disebut sebagai organisasi struktur logis (logical structure).
Menurut Max Weber (Dahl, 1994:13),
pemerintah tidak lain adalah yang berhasil menopang klaim bahwa perintahlah yang
secara eksklusif berhak menggunakan kekuatan fisik untuk memaksakan
aturan-aturannya dalam suatu batas wilayah tertentu. Sedangkan dalam
pelaksanaan organisasi pemerintahan dibentuk birokrasi.
Sedangkan tugas pokok pemerintahan adalah pelayanan yang membuahkan kemandirian, pembangunan
menciptakan kemakmuran

Pada suatu pemerintahan terdapat fungsi legislasi. Fungsi legislasi secara umum adalah fungsi untuk membuat peraturan perundang-undangan atau pembuatan kebijakan. Mengacu pada pengertian ini, kewenangan legislasi sebenarnya tidak hanya dimiliki oleh parlemen (DPR/DPRD), tetapi juga oleh institusi-institusi
lain seperti eksekutif serta yudikatif. Akan tetapi kajian modul ini hanya akan berfokus pada peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam proses penyusunan Peraturan Daerah (Perda).

Sesuai dengan UU nomor 22 tahun 2003 (tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), DPRD merupakan sebuah lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah provinsi/kabupaten/kota. Dalam UU nomor 32 tahun 2004 (tentang Pemerintahan Daerah) menyebutkan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan di daerah. Sebagai sebuah lembaga pemerintahan di daerah atau unsur penyelenggara pemerintahan di daerah, DPRD mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.

Untuk fungsi legislasi sendiri, terdapat beberapa peraturan perundangan yang mengatur pelaksanaan fungsi ini, antara lain:
  1. Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
  2. Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD
Fungsi legislasi dari DPRD adalah bersama-sama dengan Kepala Daerah membuat dan menetapkan
Perda, yang berfungsi sebagai:
  1. Perda sebagai arah pembangunan
    Sebagai kebijakan publik tertinggi di daerah, Perda harus menjadi acuan seluruh
    kebijakan publik yang dibuat termasuk didalamnya sebagai acuan daerah
    dalam menyusun program pembangunan daerah. Contoh konkritnya adalah
    Perda tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah dan Rencana
    Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) atau Rencana Strategik Daerah (RENSTRADA)
  1. Perda sebagai Arah Pemerintahan di Daerah
    Sesuai dengan Tap MPR Nomor XI tahun 1998 serta UU Nomor 28 tahun 1999 tentang
    Penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN, maka ditetapkan
    asas-asas umum penyelenggaraan negara yang baik (good governance). Dalam
    penerapan asas tersebut untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
    bersih dan bebas dari KKN, maka asas-asas tersebut merupakan acuan dalam
    penyusunan Perda sebagai peraturan pelaksanaannya di daerah.
Fungsi penganggaran merupakan salah satu fungsi DPRD yang diwujudkan dengan menyusun dan
menetapkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) bersama-sama
pemerintah daerah. Dalam melaksanakan fungsi penganggaran tersebut DPRD
harus terlibat secara aktif, proaktif, bukan reaktif, dan bukan hanya
sebagai lembaga legitimasi usulan APBD yang diajukan pemerintah daerah.

Fungsi penganggaran memegang peranan yang sangat penting dalam mewujudkan kesejahteraan
rakyat, karena APBD yang dihasilkan oleh fungsi penganggaran DPRD memiliki
fungsi sebagai berikut:
  1. APBD sebagai fungsi kebijakan fiskal
    Sebagai cerminan kebijakan fiskal, APBD memiliki 3 (tiga) fungsi utama, yaitu:
    1. Fungsi alokasi
    Fungsi alokasi mengandung arti bahwa APBD harus diarahkan untuk menciptakan
    lapangan kerja/mengurangi pengangguran, mengurangi pemborosan sumber
    daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. APBD
    harus dialokasikan sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan.
    1. Fungsi distribusi
    Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan APBD harus memperhatikan
    rasa keadilan dan kepatutan. Jika fungsi distribusi APBD berjalan dengan
    baik, maka APBD dapat mengurangi ketimpangan dan kesenjangan dalam berbagai
    hal.
    1. Fungsi stabilisasi
    Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa APBD merupakan alat untuk memelihara
    dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.
  1. APBD sebagai fungsi investasi daerah
    Dalam pandangan manajemen keuangan daerah, APBD merupakan rencana investasi daerah yang
    dapat meningkatkan daya saing daerah dan kesejahteraan rakyat. Oleh
    karena itu, APBD harus disusun sebaik mungkin agar dapat menghasilkan
    efek ganda (multiplier effect) bagi peningkatan daya saing daerah yang
    pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkesinambungan.
  1. APBD sebagai fungsi manajemen pemerintahan daerah
    Sebagai fungsi manajemen pemerintahan daerah, APBD mempunyai fungsi sebagai
    pedoman kerja, alat pengendalian (control), dan alat ukur kinerja bagi
    pemerintah daerah. Dengan kata lain, dipandang dari sudut fungsi manajemen
    pemerintah daerah, APBD memiliki fungsi perencanaan, otorisasi, dan
    pengawasan. Dalam penjelasan PP Nomor 58/2005, fungsi perencanaan, otorisasi,
    dan pengawasan didefinisikan sebagai berikut:
    1. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
    2. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan
      pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
    3. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai
      apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Uraian di atas memberikan gambaran jelas bahwa fungsi penganggaran memiliki peranan
yang sangat penting dalam pembangunan daerah. Selain itu, fungsi penganggaran
yang baik mendorong terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance). Pengawasan adalah mutlak diperlukan, sebab pengawasan merupakan
salah satu kegiatan dalam rangka upaya pencegahan. Jadi norma pengawasan
harus benar-benar diatur secara rinci, sistematis, dan jelas, baik menyangkut
instansi/pajabat pangawas, obyek pengawasan, prosedur (tata cara), koordinasi,
persyaratan, dan akibat pengawasan.

Pengawasan terhadap kegiatan usaha ini sekurang-kurangnya meliputi 3 (tiga) aspek,
yaitu:
  1. Pemantauan penaatan (compliance monitoring).
  2. Pengamatan dan pemantauan lapangan.
  3. Evaluasi.
Paling tidak ada empat faktor yang menentukan hubungan pusat dan daerah dalam otonomi
daerah menurut Bagir Manan (2002) yaitu hubungan kewenangan, hubungan
keuangan, hubungan pengawasan dan hubungan yang timbul dari susunan
organisasi pemerintahan di daerah. Dikaitan dengan topik kajian ini
yang, maka uraian berikut akan lebih menitik beratkan pada hal-hal yang
berkaitan dengan pengawasan.

Hubungan kewenangan, antara lain bertalian dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan
atau cara menentukan urusan rumah tangga daerah. Cara penentuan ini
akan mencerminkan suatu bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Dapat
digolongkan sebagai otonomi terbatas apabila: Pertama, urusan-urusan
rumah tangga daerah ditentukan secara kategoris dan pengembangannya
diatur dengan cara tertentu pula. Kedua, sistem supervisi dan
pengawasan dilakukan sedemikian rupa, sehingga daerah otonom kehilangan
kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur dan mengurus
rumah tangga daerahnya. Ketiga, sistem hubungan keuangan antara
pusat dan daerah dilakukan sepihak oleh Pusat, sehingga dapat menimbulkan
pengaruh pada keuangan daerah.

UU Nomor 22 Tahun 1999 sangat mengendorkan sistem pengawasan. Dalam Penjelasan Umum
angka 10 menyatakan:
“… sedangkan pengawasan lebih ditekankan pada pengawasan represif untuk
lebih memberi kebebasan kepada daerah otonom dalam mengambil keputusan
serta memberikan peran kepada DPRD dalam mewujudkan fungsinya sebagai
badan pengawas terhadap pelaksanaan otonomi daerah.”
Karena itu peraturan daerah yang ditetapkan daerah otonom tidak memerlukan pengesahan
terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang. Meniadakan syarat pengesahan
(preventief toezicht) dapat menimbulkan masalah hukum yang rumit.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Perangkat Pemerintah Daerah Sebagai Implementator Kebijakan Publik

Seperti diamanatkan dalam pasal 120 Undang-Undang no 32 tahun 2004 mengenai pemerintahan
daerah, dinyatakan bahwa setiap pemerintahan daerah diharuskan memiliki
perangkat daerah dengan komposisi sebagai berikut:
  1. Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah,
    dan lembaga teknis daerah.
  2. Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas
    daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.
Sekretariat daerah dipimpin oleh Sekretaris Daerah yang mempunyai tugas dan kewajiban
membantu kepala daerah dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan
dinas daerah dan lembaga teknis daerah. Dalam pelaksanaan tugas dan
kewajibannya, sekretaris daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah.

Sekretariat DPRD dipimpin oleh Sekretaris DPRD.yang diangkat dan diberhentikan oleh
Gubernur/Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRD.

Sekretaris DPRD mempunyai tugas:
  1. Menyelenggarakan administrasi kesekretariatan DPRD.
  2. Menyelenggarakan administrasi keuangan DPRD.
  3. Mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD
  4. Menyediakan dan mengkoordinasi tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD dalam melaksanakan
    fungsinya sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
Sekretaris DPRD dalam melaksanakan tugasnya secara teknis operasional berada dibawah
dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRD dan secara administratif
bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah.

Untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah daerah di bidang-bidang tertentu khususnya sebelas
kewenangan wajib, maka pemerintah daerah membentuk dinas-dinas. Dinas
daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah. Dinas daerah dipimpin
oleh kepala dinas yang diangkat dan diberhentikan oleh kepala daerah
dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat atas usul Sekretaris
Daerah. Kepala dinas daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui
Sekretaris Daerah.
 
Untuk melaksanakan tugas-tugas strategis setiap pemerintah daerah dapat membentuk lembaga
teknis daerah. Lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas
kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang
bersifat spesifik berbentuk badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah.

Badan, kantor atau rumah sakit umum daerah sebagaimana dimaksud dipimpin oleh kepala
badan, kepala kantor, atau kepala rumah sakit umum daerah yang diangkat
oleh kepala daerah dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat atas
usul Sekretaris Daerah. Kepala badan, kantor, atau rumah sakit umum
daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah.

Sementara itu untuk susunan organisasi serta tata kerja pemerintah daerah disusun
berdasarkan kewenangan, kebutuhan dan kemampuan yang pengaturan lebih
lanjutnya ditetapkan dalam Perda dengan memperhatikan faktor-faktor
tertentu dan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Pengendalian organisasi
perangkat daerah sebagaimana dimaksud diatas dilakukan oleh Pemerintah
untuk provinsi dan oleh Gubernur untuk kabupaten/kota dengan berpedoman
pada Peraturan Pemerintah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia  menurut Taliziduhu Ndraha (Ndraha, 2004) terletak pada lima karakteristik  daerah otonom yakni daerah otonom sebagai masyarakat hukum, unit ekonomi publik, lingkungan budaya, lebensraum dan subsistem bangsa. Kelima karakteristik inilah yang mengintegrasikan daerah yang satu dengan daerah yang lain dan mengintegrasikan daerah dengan pusat. Hal ini mengandung makna bahwa misi otonomi daerah tidak semata-mata membangun simbol politik daerah setempat yaitu kemandirian lokal, tetapi seperti definisipembangunan masyarakat menurut PBB adalah: “untuk mengintegrasikan berbagai komunitas bangsa ke dalam suatu kehidupan bersama dan memberdayakan komunitas itu, sehingga dapat memberikan kontribusi yang maksimal dalam rangka kemajuan bersama.”Dilihat dari dimensi pertama sampai dimensi keempat tersebut di atas, kemandirian adalah puncak budaya otonomi daerah. Tetapi jika dimensi kelima sebagai subsistem politik diperhitungkan, maka puncak budaya otonomi daerah bukan hanya kemandirian saja, melainkan juga seberapa jauh daerah yang bersangkutan memberikan kontribusi terhadap proses persatuan bangsa. Kelima dimensi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: sebagai kesatuan masyarakat hukum, masyarakat sebagai subyek hukum yang mengatur berbagai kepentingan berbangsa, bernegara dan berpemerintahan baik kepentingan di tingkat lokal maupun kepentingan di tingkat nasional dan bahkan kepentingan internasional. Sebagai unit ekonomi publik, maka ekonomi lokal harus mampu menjadi mata rantai ekonomi nasional, yang memberikan kontribusi dalam meningkatkan daya saing dalam ekonomi global. Dengan demikian, perekonomian yang bersifat hulu, melainkan ekonomi yang lengkap mulai hulu sampai hilir. Sebagai lingkungan budaya, daerah harus membangun nilai daerah sendiri yang tidak hanya tercermin dari simbol-simbol yang ada tetapi nilai yang dibangun itu tercermin dari pola perilaku semua masyarakat sehingga mampu memperkaya nilai-nilai budaya bangsa yang efektif dalam mencapai tujuan bangsa. Sebagai lebensraum, daerah harus mampu melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup sebagai ruang yang ramah bukan ruang mati, sehingga eksploitasi terhadap sumber daya alam harus dilakukan secara hati-hati dengan memperhitungkan dampak negatif yang ditimbulkan termasuk kepentingan generasi manusia
berikutnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Model-Model Impementasi Kebijakan Publik

Dimensi paling inti dari kebijakan publik adalah proses kebijakan. Di sini kebijakan
publik dilihat sebagai sebuah proses kegiatan atau sebagai satu kesatuan
sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara sinambung,
saling menentukan dan saling membentuk.
Dalam bukunya
Public Policy
, Riant Nugroho (2009, 494-495) memberi makna implementasi
kebijakan sebagai “cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.
Tidak lebih dan tidak kurang”. Ditambahakan pula, bahwa untuk mengimplementasikan
kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu: langsung
mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan
derivat atau turunan dari kebijakan publik tesebut. Secara umum dapat
digambarkan sebagai berikut:

Sekuensi
Implementasi Kebijakan



Sekuensi Implementasi Kebijakan



Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena di sini masalah-masalah
yang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. Selain itu, ancaman
utama adalah konsistensi implementasi.

Pendekatan dalam implementasi kebijakan publik oleh Peter deLeon dan Linda deLeon
(2001) dikelompokkan menjadi tiga generasi. Generasi pertama, yaitu
pada tahun 1970-an, memahami implementasi kebijakan sebagai masalah-masalah
yang terjadi antara kebijakan dan eksekusinya. Mempergunakan pendekatan
ini, antara lain: Graham T. Allison dengan studi kasus misil kuba (1971,
1979). Pada generasi ini implementasi kebijakan berhimpitan studi pengambilan
keputusan di sektor publik.

Generasi kedua, tahun 1980-an, adalah generasi yang mengembangkan pendekatan implementasi
kebijakan yang bersifat “dari atas ke bawah” (top-downer perspective).
Perspektif ini lebih fokus pada tugas birokrasi untuk melaksanakan kebijakan
yang telah diputuskan secara politik. Para ilmuwan sosial yang mengembangkan
pendekatan ini adalah Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier (1983), dan
Paul Berman (1980). Pada saat yang sama, muncul pendekatan bottom-upper

yang dikembangkan oleh Michael Lipsky (1971, 1980), dan Benny Hjern
(1982, 1983).

Generasi ketiga, tahun 1990-an, dikembangkan oleh ilmuwan sosial Malcolm L. Goggin (1990),
memperkenalkan pemikiran bahwa variabel perilaku aktor pelaksana implementasi
kebijakan lebih menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Pada
saat yang sama, muncul pendekatan kontijensi atau situsional dalam implementasi
kebijakan yang mengemukakan bahwa implementasi kebijakan banyak didukung
oleh adaptabilitas implementasi kebijakan tersebut. Para ilmuwan yang
mengembangkan yang mengembangkan pendekatan ini adalah antara lain Richard
Matland (1995), Helen Ingram (1990), dan Denise Scheberle (1997).

Model-Model
Implementasi Kebijakan Publik
      1. Model Van Meter dan Van Horn
Model pertama adalah model yang paling klasik, yakni model yang diperkenalkan oleh
Donald Van Meter dan Carl Van Horn (1975). Model ini mengandaikan bahwa
implementasi kebijakan berjalan seara linear dari kebijakan publik,
implementator, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang
dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah
variabel berikut:
  1. Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi
  2. Karakteristik agen pelaksana/implementator
  3. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik
  4. Kecenderungan (disposition) pelaksana/implementor.
      1. Model Mazmanian dan Sabatier
Model yang kedua adalah model yang dikembangkan Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier
(1983) yang mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan
keputusan kebijakan. Model Mazmanian dan Sabatier disebut Model Kerangka
Analisis Implementasi
(a framework for implementation analysis).

Mazmanian-Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel,
yaitu:
  1. Variabel Independen
    Mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan
    teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang
    dikehendaki
  1. Variabel Intervening
    Diartikan sebagai kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi
    dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori
    kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hirarkis di antara
    lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan
    pejabat pelaksana yang memiliki keterbukaan kepada pihak luar, variabel
    di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan
    dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan publi,
    sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta
    komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.
  1. Variabel Dependen
    Yaitu tahapan dalam proses implementasi kebijakan publik dengan lima tahapan, yang
    terdiri dari: pertama, pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam
    bentuk disusunnya kebijakan pelaksana. Kedua, kepatuhan objek. Ketiga,
    hasil nyata. Ke-empat, penerimaan atas hasil nyata. Terakhir, kelima,
    tahapan yang mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan,
    baik sebagian maupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.
      1. Model Hogwood dan Gunn
Model ketiga adalah Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978), untuk dapat
mengimplementasikan kebijakan secara sempurna, maka diperlukan beberapa
persayaratan tertentu. Syarat-syarat itu adalah:
  1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius. Beberapa kendala/hambatan (constraints) pada saat implementasi
    kebijakan seringkali berada diluar kendali para administrator, sebab
    hambatan-hambatan itu memang diluar jangkauan wewenang kebijakan dari
    badan pelaksana. Hambatan-hambatan tersebut diantaranya mungkin bersifat
    fisik maupun politis.
  2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumberdaya yang cukup memadahi. Syarat kedua
    ini sebagian tumpang tindih dengan syarat pertama diatas, dalam pengertian
    bahwa kerapkali ia muncul diantara kendala-kendala yang bersifat eksternal.
    Kebijakan yang memilki tingkat kelayakan fisik dan politis tertentu
    bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan karena menyangkut
    kendalan waktu yang pendek dengan harapan yang terlalu tinggi
  3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar memadahi. Persyaratan ini mengikuti syarat
    item kedua artinya disatu pihak harus dijamin tidak ada kendala-kendala
    pada semua sumber-sumber yang diperlukan, dan dilain pihak, setiap tahapan
    proses implementasi perpaduan diantara sumber-sumber tersebut harus
    dapat disediakan. Dalam prakteknya implementasi program yang memerlukan
    perpaduan antara dana, tenaga kerja dan peralatan yang diperlukan untuk
    melaksanakan program harus dapat disiapkan secara serentak, namun ternyata
    ada salah satu komponen tersebut mengalami kelambatan dalam penyediaannya
    sehingga berakibat program tersebut tertunda pelaksanaannya.
  4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal.
    Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplemetasikan secara efektif bukan
    lantaran ia telah diimplementasikan secara asal-asalan, tetapi kebijakan
    itu sendiri memang jelek. Penyebabnya karena kebijakan itu didasari
    oleh tingkat pemahaman yang tidak memadahi mengenahi persoalan yang
    akan ditanggulangi, sebab-sebab timbulnya masalah dan cara pemecahanya,
    atau peluang-peluang yang tersedia untuk mengatasi masalahnya, sifat
    permasalahannya dan apa yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang-peluang
    tersebut.
  5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya. Pada
    kebanyakan program pemerintah sesungguhnya teori yang mendasari kebijakan
    jauh lebih komplek dari pada sekedar hubungan antara dua variabel yang
    memiliki hubungan kausalitas. Kebijakan-kebijakan yang memiliki hubungan
    sebab-akibat tergantung pada mata rantai yang amat panjang maka ia akan
    mudah sekali mengalami keretakan, sebab semakin panjang mata rantai
    kausalitas, semakin besar hubungan timbal balik diantara mata rantai
    penghubungnya dan semakin kompleks implementasinya. Dengan kata lain
    semakin banyak hubungan dalam mata rantai, semakin besar pula resiko
    bahwa bebarapa diantaranya kelak terbukti amat lemah atau tidak dapat
    dilaksanakan dengan baik.
  6. Hubungan saling ketergantungan harus kecil. Implemetasi yang sempurna menuntut adanya
    persyaratan bahwa hanya terdapat badan pelaksana tunggal dalam melaksanakan
    misi tidak tergantung badan-badan lain/instansi lainnya. Kalau ada ketergantungan
    dengan organisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat yang minimal,
    baik dalam artian jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika implementasi
    suatu program ternyata tidak hanya membutuhkan rangkaian tahapan dan
    jalinan hubungan tertentu, melainkan juga kesepakatan atau komitmen
    terhadap setiap tahapan diantara sejumlah aktor/pelaku yang terlibat,
    maka peluang bagi keberhasilan implementasi program, bahkan hasil akhir
    yang diharapkan kemungkinan akan semakin berkurang.
  7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. Persyaratan ini mengharuskan adanya
    pemahaman yang menyeluruh mengenahi kesepakatan terhadap tujuan yang
    akan dicapai dan dipertahankan selama proses implementasi. Tujuan itu
    harus dirumuskan dengan jelas, spesifik, mudah dipahami, dapat dikuantifikasikan,
    dan disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam organisasi. Namun
    berbagai penelitian telah mengungkap bahwa dalam prakteknya tujuan yang
    akan dicapai dari program sukar diidentifikasikan. Kemungkinan menimbulkan
    konflik yang tajam atau kebingungan, khususnya oleh kelompok profesional
    atau kelompok-kelompok lain yang terlibat dalam program lebih mementingkan
    tujuan mereka sendiri. Tujuan-tujuan resmi kerap kali tidak dipahami
    dengan baik, mungkin karena komunikasi dari atas ke bawah atau sebaliknya
    tidak berjalan dengan baik. Kalaupun pada saat awal tujuan dipahami
    dan disepakati namun tidak ada jaminan kondisi ini dapat terpelihara
    selama pelaksanaan program, karena tujuan-tujuan itu cenderung mudah
    berubah, diperluas dan diselewengkan.
  8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat. Syarat ini mengandung makna
    bahwa dalam menjalankan program menuju tercapainya tujuan-tujuan yang
    telah disepakati, masih dimungkinkan untuk merinci dan menyusun dalam
    urutan-uruan yangbtepat seluruh tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap
    bagian yang terlibat. Kesulitan untuk mencapai kondisi implementasi
    yang sempurna masih terjadi dan tidak dapat dihindarkan. Untuk mengendalikan
    program dengan baik dapat dilakukan dengan teknologi seperti Network
    planning dan contrrol.
  9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna. Syarat ini mengharuskan adanya komunikasi dan ordinasi
    yang sempurna diantara berbagai unsur atau badan yang terlibat dalam
    program. Hood (1976) dalam hubungan ini menyatakan bahwa guna mencapai
    implementasi yang sempurna diperlukan suatu sistem satuan administrasi
    tunggal sehingga tercipta koordinasi yang baik. Pada kebanyakan organiasi
    yang memiliki ciri-ciri departemenisasi, profesionalisasi, dan bermacam
    kegiatan kelompok yang melindungi nilai-nilai dan kepentingan kelompok
    hampir tidak ada koordinasi yang sempurna. Komunikasi dan koordiasi
    memiliki peran yang sangat penting dalam proses implementasi karena
    data, syaran dan perintah-perintah dapat dimengerti sesuai dengan apa
    yang dikehendaki.
  10. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan
    yang sempurna. Hal ini menjelaskan bahwa harus ada ketundukan yang penuh
    dan tidak ada penolakan sama sekali terhadap perintah dalam sistim administrasinya.
    Persyaratan ini menandaskan bahwa mereka yang memiliki wewenang, harus
    juga yang memiliki kekuasan dan mampu menjamin adanya kepatuhan sikap
    secara menyeluruh dari pihak-pihak lain baik dalam organisasi maupun
    luar organisasi. Dalam kenyataan dimungkinkan adanya kompartemenisasi
    dan diantara badan yang satu dengan yang lain mungkin terdapat konflik
    kepentingan.
      1. Model Goggin
Malcolm Goggin, Ann Bowman, dan James Lester mengembangkan apa yang disebutnya sebagai
communication model” untuk implementasi kebijakan yang disebutnya
sebagai “generasi ketiga model implementasi kebijakan” (1990). Goggin
dan kawan-kawan bertujuan mengembangkan sebuah model implementasi kebijakan
yang lebih ilmiah dengan mengedepankan pendekatan metode penelitian
dengan adanya variabel independen, intervening, dan

dependen
, dan meletakkan komunikasi sebagai penggerak dalam implementasi
kebijakan.
      1. Model Grindle
Model ke-empat adalah model Merilee S. Grindle (1980). Model Implementasi Kebijakan
Publik yang dikemukakan Grindle (1980:7) menuturkan bahwa Keberhasilan
proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung
kepada kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain
dipengaruhi oleh Content of Policy (isi kebijakan) dan Contex of Implementation
(konteks implementasinya).

Isi kebijakan yang dimaksud meliputi:
    1. Kepentingan yang terpenuhi oleh kebijakan (interest affected).
    2. Jenis manfaat yang dihasilkan (tipe of benefit).
    3. Derajat perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned).
    4. Kedudukan pembuat kebijakan (site of decision making).
    5. Para pelaksana program (program implementators).
    6. Sumber daya yang dikerahkan (Resources commited).
Sedangkan konteks implementasi yang dimaksud:
    1. Kekuasaan (power).
    2. Kepentingan strategi aktor yang terlibat (interest strategies of actors involved).
    3. Karakteristik lembaga dan penguasa (institution and regime characteristics).
    4. Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana (compliance and responsiveness).
      1. Model Elmore, dkk
Model kelima adalah model yang disusun Richard Elmore (1979), Michael Lipsky (1971),
dan Benny Hjern dan David O’Porter (1981). Model ini dimulai dari
mengidentifikasikan jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan
dan menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-kontak
yang mereka miliki. Model implementasi ini didasarkan pada jenis kebijakan
publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi
kebijakannya atau tetap melibatkan pejabat pemerintah namun hanya di
tataran rendah. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat harus sesuai
dengan harapan, keinginan, publik yang menjadi target atau kliennya,
dan sesuai pula dengan pejabat eselon rendah yang menjadi pelaksananya.
Kebijakan model ini biasanya diprakarsai oleh masyarakat, baik secara
langsung maupun melalui lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM).
      1. Model Edward
George Edward III (1980, 1) menegaskan bahwa masalah utama administrasi publik adalah
lack of attention to implementation
. Dikatakannya, without effective
implementation the decission of policymakers will not be carried out
successfully
. Edward menyarankan untuk memperhatikan empat isu pokok
agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu communication,
resource, disposition or attitudes,
dan beureucratic structures.

Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada organisasi
dan/atau publik, ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan kebijakan,
sikap dan tanggap dari pihak yang terlibat, dan bagaimana struktur organisasi
pelaksana kebijakan.

Resources berkenaan dengan ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya sumber
daya manusia. Hal ini berkenaan dengan kecakapan pelaksana kebijakan
publik untuk carry out kebijakan secara efektif.


Disposition berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk carry out
kebijakan publik tersebut, kecakapaan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan
dan komitmen untuk melaksanakan kebijakan.

Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara
implementasi kebijakan publik. Tantangan adalah bagaimana agar tidak
terjadi beureucratic fragmentation karena struktur ini menjadikan
proses implementasi menjadi jauh dari efektif. Di Indonesia sering terjadi
inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan
kerja sama di antara lembaga-lembaga negara dan/ atau pemerintahan.
      1. Model Nakamura dan Smallwood
Model Nakamura dan Smallwood mengambarkan proses implementasi kebijakan secara detail.
Begitu detailnya, sehingga model ini relatif relevan diimplementasikan
pada semua kebijakan. Tabel di bawah ini menjelaskan keterkaitan antara
pembentukan kebijakan dan implementasi kebijakan secara praktikal.

Model Implementasi
Kebijakan

Nakamura
dan Smallwood



Model Implementasi Kebijakan Nakamura dan Smallwood

      1. Model Jaringan
Model ini memehami bahwa proses implementasi kebijakan adalah sebuah complex of interaction
processes
di antara sejumlah besar aktor yang berada dalam suatu
jaringan (network) aktor-aktor yang independen. Interaksi di
antara para aktor dalam jaringan tersebutlah yang akan menentukan bagaimana
implementasi harus dilaksanakan, permasalahan-permasalahan yang harus
dikedepankan, dan diskresi-diskresi yang diharapkan menjadi bagian penting
di dalamnya.

Pemahaman ini antara lain dikembangkan dalam sebuah buku yang ditulis oleh tiga orang
ilmuwan Belanda, yaitu Walter Kickert, Erik Hans Klijn, dan Joop Koppenjan,
Managing Complex Networks: Strategies for the Public Sector
(1997).
Pada model ini, semua aktor dalam jaringan relatif otonom, artinya mempunyai
tujuan masing-masing yang berbeda. Tidak ada aktor sentral, tidak ada
aktor yang menjadi koordinator. Pada pendekatan ini, koalisi dan/ atau
kesepakatan di antara aktor yang berada pada sentral jaringan menjadi
penentu implementasi kebijakan dan keberhasilannya.
      1. Model Matland
Richard Matland (1995) mengembangkan sebuah model yang disebut dengan Model Matriks
Ambiguitas-Konflik yang menjelaskan bahwa implementasi secara admiministratif
adalah implementasi yang dilakukan dalam keseharian operasi birokrasi
pemerintahan. Kebijakan di sini memiliki ambiguitas atau kemenduaan
yang rendah dan konflik yang rendah. Implementasi secara politik adalah
implementasi yang perlu dipaksakan secara politik, karena, walaupun
ambiguitasnya rendah, tingkat konfliknya tinggi. Implementasi secara
eksperimen dilakukan pada kebijakan yang mendua, namun tingkat konfilknya
rendah. Implementasi secara simbolik dilakukan pada kebijakan yang mempunyai
ambiguitas tinggi dan konflik yang tinggi. Pemikiran Matland dikembangkan
lebih rinci sebagai berikut:

Matriks Matland


Matrik Matland
Pada prinsispnya matrik matland memiliki “empat tepat” yang perlu dipenuhi dalam
hal keefektifan implemenatasi kebijakan, yaitu:
  1. Ketepatan Kebijakan
    Ketepatan kebijakan ini dinilai dari:

    1. Sejauh mana kabijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Pertanyaannya adalah how excelent is the policy.
    2. Apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai dengan karakter masalah yang hendak
      dipecahkan.
    3. Apakah kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan (misi kelembagaan) yang
      sesuai dengan karakter kebijakan.

  1. Ketepatan Pelaksanaan
    Aktor implementasi kebijakan tidaklah hanya pemerintah. Ada tiga lembaga yang bisa menjadi
    pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah-masyarakat/swasta,
    atau implementasi kebijakan yang diswastakan (privatization
    atau contracting out). Kebijakan-kebijakan yang bersifat monopoli,
    seperti kartu identitas penduduk, atau mempunyai derajat politik keamanan
    yang tinggi, seperti pertahanan dan keamanan, sebaiknya diselenggarakan
    oleh pemerintah. Kebijakan yang bersifat memberdayakan masyarakat, seperti
    penanggulangan kemiskinan, sebaiknya diselenggarakan pemerintah bersama
    masyarakat. Kebijakan yang bertujuan mengarahkan kegiatan kegiatan masyarakat,
    seperti bagaimana perusahaan harus dikelola, atau di mana pemerintah
    tidak efektif menyelenggarakannya sendiri, seperti pembangunan industri-industri
    berskala menengah dan kecil yang tidak strategis, sebaiknya diserahkan
    kepada masyarakat
  1. Ketepatan Target
    Ketepatan berkenaan dengan tiga hal, yaitu:
  1. Apakah target yang dintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada tumpang
    tindih dengan intervensi lain, atau tidak bertentangan dengan intervensi
    kebijakan lain.
  2. Apakah targetnya dalam kondisi siap untuk dintervensi ataukah tidak. Kesiapan bukan saja
    dalam arti secara alami, namun juga apakah kondisi target ada dalam
    konflik atau harmoni, dan apakah kondisi target ada dalam kondisi mendukung
    atau menolak.
  3. Apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbarui implementasi kebijakan
    sebelumnya. Terlalu banyak kebijakan yang tampaknya baru namun pada
    prinsipnya mengulang kebijakan yang lama dengan hasil yang sama tidak
    efektifnya dengan kebijakan sebelumnya.

  1. Ketepatan Lingkungan
    Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu:
    1. Lingkungan Kebijakan
    Yaitu interaksi antara lembaga perumus kebijakan dengan pelaksana kebijakan dengan lembaga
    yang terkait. Donald J. Calista menyebutnya sebagai sebagai variabel
    endogen, yaitu authoritative arrangement yang berkenaan dengan
    kekuatan sumber otoritas dari kebijakan, network composition

    yang berkenaan dengan komposisi jejaring dari berbagai organisasi yang
    terlibat kebijakan, baik dari pemerintah maupun masyarakat, implementation
    setting
    yang berkenaan dengan posisi tawar-menawar antara otoritas
    yang mengeluarkan kebijakan dan jejaring yang berkenaan dengan implementasi
    kebijakan.
    1. Lingkungan Eksternal Kebijakan
    Lingkungan ini oleh Calista disebut sebagai variabel eksogen, yang terdiri dari
    atas public opinion, yaitu persepsi publik akan kebijakan dan
    implementasi kebijakan, interpretive instutions yang berkenaan
    dengan interprestasi lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat, seperti
    media massa, kelompok penekan, dan kelompok kepentingan, dalam menginterpretasikan
    kebijakan dan implementasi kebijakan, dan individuals, yakni
    individu-individu tertentu yang mampu memainkan peran penting dalam
    menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan.
Ke-empat “tepat” tersebut masih perlu didukung oleh tiga jenis dukungan, yaitu:
  1. Dukungan politik;
  2. Dukungan strategik; dan
  3. Dukungan teknis.
Selain tiga dukungan di atas, penelitian ataupun analisis tentang implementasi kebijakan
sebaiknya juga menggunakan model implementasi sesuai dengan isu kebijakannya,
sebagaimana yang digambarkan Matland berikut ini:

Ambiguitas
Matland



Ambiguitas Matland



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS