Data, Fakta dan Isu Kebijakan Perencaanaan dan Penganggaran



Sejak dicanangkannya
kebijakan desentralisasi yang dialamatkan ke level daerah, telah mampu
mendorong kebangkitan partisipasi masyarakat sipil. Tak ayal jika asosiasi
sipil makin marak tumbuh di aras lokal. Upaya mereka, umumnya, berkehendak
memajukan peran masyarakat di setiap pengambilan kebijakan, baik itu
menyangkut perencanaan pembangunan, penganggaran daerah, sampai dengan
pelayanan hak-hak sosial dasar.

Banyak cara
telah ditempuh. Selain memanfaatkan jalur formal kebijakan, biasanya
gerak dinamik lokal diisi juga memilih strategi advokasi melalui pengorganisasian
warga, mengangkat isu-isu populis. Pilihan advokasi dilakukan dalam
tiga model: (1) pendekatan diplomasi; (2) pengembangan wacana kritis;
sampai dengan (3) pengorganisasian masyarakat. Dalam rentang perubahan
pada babak awal reformasi, pilihan pengorganisasian masyarakat sering
ditempuh oleh para aktivis, sebagai bagian dari episode merintis pondasi
dan membangun tembok bagi demokrasi lokal, yang telah lama menjadi harapan
sejak reformasi dideklarasikan.


Sementara,
berkenaan dengan peran pemerintah daerah, sejumlah perubahan juga patut
disyukuri. Merujuk bermacam riset mengenai local governance
reform
, telah memberikan informasi-informasi positif. Sekurang-kurangnya
pada aras formal kelembagaan, juga regulasi, telah banyak inisiatif-inisiatif
awal oleh pemerintah yang makin tumbuh. Hal itu dapat digolongkan sebagai
respon atas tuntutan perubahan yang dikawal para CSO (civil
society organisation
), maupun sebentuk political
will
yang lahir dari teknokratisasi pemimpin daerah. Dapat disebutkan
misalnya: terbentuknya peraturan-peraturan daerah (Perda) berkaitan
dengan partisipasi sipil dalam kebijakan publik, pembaharuan tata kelola
perijinan dan pelayanan masyarakat, transparansi dan partisipasi dalam
perencanaan pembangunan dan penganggaran, serta yang paling aktual adalah
inisiatif perubahan anggaran yang berpihak pada kaum miskin atau yang
dikenal dengan reformasi social policy (pendidikan dan kesehatan).

Meskipun pada
aras masyarakat sipil dan negara telah dicapai kemajuan positif, banyak
catatan penting di seputar kendala tak bisa dielakkan. Perubahan yang
berlangsung sejauh ini, tidak berarti secara otomatis berujung pada
implementasi yang konsisten sesuai koridor normatif. Perubahan tata
kelembagaan yang berlangsung secara radikal, khususnya di bidang politik
formal, dibarengi sejumlah bukti keadaan sosial ekonomi masyarakat yang
menunjukkan fakta berlawanan. Jerit keluh warga terkait problem-problem
sosial ekonomi, masih terus terdengar. Bahkan makin keras. Demokrasi
politik belum membuahkan kesejahteraan.


Berbagai langkah
politik warga membendung dan mengatasi segala macam masalah itu, memang
bukan pekerjaan mudah. Pengalaman pahit makin merisaukan masyarakat,
terutama banyaknya pengingkaran agenda reformasi. Kerisauan dan sinisme
makin mencuat, menyaksikan berbagai jebakan pragmatisme yang selalu
menghantui irama dan dinamika lokal. Kemerosotan kepercayaan makin berlangsung
saat reproduksi ketegangan antar kelompok sipil dalam advokasi kebijakan
makin menebal, yang seringkali diiringi sikap dan tindakan yang saling
berbenturan. Propaganda buruk antar aktivis muncul, meski hanya berkutat
pada perbedaan pilihan strategi, tanpa ditopang komunikasi antar mereka.
Perselisihan tanpa kompromi dan negosiasi, justru mengurangi energi
bagi bangunan konsistensi kesadaran dalam perjuangan.

Meningkatnya
derajat partisipasi formal, yang didorong dalam sketsa demokratisasi
lokal, nampaknya belum berkorelasi positif dengan derajat perubahan
kebijakan secara nyata. Bahkan partisipasi itu, seringkali terjebak
dalam formalisasi. Menyangkut perencanaan pembangunan dan penganggaran,
sesungguhnya secara normatif telah tertuang beberapa regulasi. Sebut
saja misalnya, berkenaaan dengan musyawarah perencanaan pembangunan
(Musrenbang), yang mensyaratkan pendekatan partisipasi, telah diatur
melalui UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
dan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan daerah.

Partisipasi
dalam perencanaan pembangunan, yang diatur dalam dua regulasi tersebut,
ternyata membentur proses penganggaran daerah. Proses penganggaran ini
mengikuti regulasi yang khusus mengaturnya, yaitu UU No 17/2003 tentang
Keuangan Negara dan UU No 33/2004 tentang perimbangan dana pemerintah
pusat dan daerah. Meski kehendak regulasi berupaya mengintegrasikan
proses perencanaan dan penganggaran, namun dalam praktiknya yang sering
terjadi di banyak daerah adalah disconnection antara hasil Musrenbang
kabupaten dengan posting alokasi belanja anggaran. Hasil Musrenbang
dalam bentuk daftar skala prioritas (DSP), tidak dijadikan referensi
nyata dalam posting alokasi anggaran oleh tim anggaran pemerintah daerah
(TAPD) dan Panitia Anggaran (Panggar) DPRD. Karena itu, bisa disadari
bahwa anggaran daerah cenderung disusun secara oligarkis oleh eksekutif
dan legislatif, sehingga tidak bisa disentuh (untouchable) oleh
partisipasi masyarakat.


Padahal, Permendagri
nomor 59 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, memungkinkan
masyarakat untuk mengetahui akses informasi yang seluas-luasnya tentang
keuangan daerah. Dalam cara pandang kritis, terjadinya elitisasi dan
oligarki proses perencanaan dan penganggaran, berakibat pada kecenderungan
formalisasi Musrenbang yang tidak bisa dijadikan tolok ukur perencanaan
yang partisipatif dan transparan. Wajar saja, jika akhirnya output Musrenbang
dan penganggaran, dalam bentuk APBD, tidak sesuai harapan. Hal ini biasanya
tercermin dari, besaran partispasi warga dalam Musrenbang tidak berkorelasi
positif atas alokasi anggaran yang semestinya diperuntukkan untuk masyarakat.

Apalagi, di
sejumlah kasus menunjukkan modus-modus perilaku aktor-aktor yang memanfaatkan
secara informal proses kebijakan perencanaan maupun penganggaran, yang
menerobos jalur formal (prosedural). Tidak mengherankan, jika akhirnya
arena penganggaran memperlihatkan dua gerak sirkuit: arus formal dan
informal dalam mempengaruhi kebijakan perencanaan dan penganggaran,
yang berujung pada abainya kepentingan masyarakat luas, apalagi kelompok
marginal. Kontestasi formal seringkali berbeda dengan geliat penetrasi
aktor-aktor informal, termasuk jaringan agencies dalam institusi
pengambil kebijakan. Disanalah, tidak jarang senantiasa muncul ”penumpang
gelap” kebijakan, yang mendistorsi kebijakan.

Skema perencanaan
dan penganggaran semestinya mensyaratkan perpaduan antara pendekatan
teknokrasi, politik dan partisipasi. Kaitan antar pendekatan tersebut
merupakan konstruksi demokratisasi kebijakan. Namun faktanya, kecenderungan
modus perencanaan dan penganggaran daerah masih bersifat terlalu teknokratis-politis,
tidak diimbangi dengan aspek partisipasi yang nyata. Sebagai ukuran,
bahwa di setiap hasil Musrenbang yang diolah pada tingkat SKPD, selalu
mengalami pemangkasan di lintasan eksekutif. Apalagi, pada fase penganggaran,
senantiasa absen dari pantauan dan keterlibatan warga. Tahap krusial
yang perlu diperhatikan, karena sekaligus menjadi titik strategis penentu
perencanaan, tidak lain ada pada tahap perumusan program/kegiatan SKPD
yang dikoordinasi Bappeda.

Proses dan
rute dari bawah, sesungguhnya sangat bergantung bagaimana pembahasan
masuk dalam sistematisasi dan rasionalisasi dalam kacamata SKPD yang
didalamnya terjadi “interaksi” sekaligus pertarungan antar sektoral.
Arena ini, memang sebagian besar memiliki modus yang sama mengenai kecenderungan
para kepala dinas memperjuangkan segala usulan masing-masing instansi
berbasis keinginannya. Silang kepentingan dengan nalar teknokratik,
berproses dengan (cenderung) mengabaikan segala dokumen usulan dari
hasil Musrenbang. Bahkan tragisnya, produk perencanaan teknokratik tersebut
meninggalkan koherensinya dengan RPJMD, Renstra, maupun Renja SKPD.
Hal itu bisa terjadi karena mekanisme perencanaan pembangunan telah
“terbakukan dalam sangkar birokratik”.

Perangkat kelembagaan
dan mekanisme perencanaan jika sudah memasuki area kabupaten, daftar
usulan dari hasil Musrenbang mengalami penyusutan secara sistematik,
dengan tergantikan oleh bermacam skema yang berasal dari dinas-dinas
(SKPD). Hal semacam ini memperlihatkan terjadinya gap (kesenjangan),
antara model perencanaan dari bawah berbasis spasial (desa), yang menunjukkan
pendekatan partisipasi, berhadapan dengan model perencanaan berbasis
sektoral (daerah/kabupaten), yang mencerminkan teknokratisasi. Salah
satu akar penyebab kesenjangan, sebagaimana disinyalemen banyak kalangan,
bahwa jika perencanaan desa (dari bawah) itu masih melekat dalam perencanaan
daerah, sebagaimana diatur dalam tata kelembagaan Musrenbang, kemungkinan
berlanjutnya dominasi kabupaten akan terus berlangsung. Secara hipotetis
dapat dikatakan, set up tata kelembagaan perencanaan pembangunan
daerah, senantiasa menjadi perangkap formalisasi partisipasi dan hanya
memperkuat dominasi SKPD.


Secara teoritik,
anggaran belanja daerah merupakan instrumen pemerintah dalam menyelenggarakan
roda kekuasaannya. Dalam skema kebijakan, keputusan alokasi sumber daya
untuk berbagai keperluan berupa pengeluaran setiap tahunnya, tercermin
pada APBD. Dalam prakteknya, anggaran belanja daerah tak terlepas dari
sejumlah kepentingan yang harus diakomodasi, sekaligus menjadi mediasi
berbagai kebutuhan masyarakat. Dalam konteks demikian, kebutuhan atau
kepentingan itu seringkali memiliki bobot prioritas yang relatif sama.
Dari sanalah diperlukan pilihan-pilihan memutuskan mana yang akan didanai
terlebih dahulu. Tidak heran jika atas pertimbangan itu pada akhirnya
berbagai pihak dan kelompok kepentingan akan berebut pengaruh di dalam
memutuskan alokasi anggaran belanja daerah.

Anggaran belanja
daerah merupakan salah satu komponen dasar kebijakan publik daerah.
Dalam perspektif mikro, kebijakan anggaran belanja daerah adalah merupakan
keputusan politik yang ditetapkan kepala daerah bersama Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD), untuk dilaksanakan oleh aparat birokrasi daerah.
Sebagai keputusan politik, kebijakan anggaran belanja daerah sering
melalui proses politik yang panjang dan kompleks. Prosesnya meliputi
tujuan-tujuan kebijakan dan cara pengambilan keputusannya, orang-orang
atau kelompok-kelompok yang dilibatkan, baik sebagai perencana, pelaksana
maupun penerima manfaat kebijakan anggaran belanja daerah. Sementara
dalam khasanah makro tata pemerintahan demokrasi, kebijakan anggaran
belanja daerah merupakan mandat politik warga (citizen political
mandate
) atas sumberdaya publik yang diamanatkan kepada lembaga
pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif) sebagai pemilik otoritas
pengelolaan anggaran. Sifat otoritatif pemerintah demikian tentu hanya
berlaku sepanjang pemerintah daerah mampu melaksanakan alokasi atau
distribusi anggaran berdasarkan nilai-nilai kepentingan warga.

Kombinasi dua
perspektif setidaknya telah terefleksikan pada muatan Undang-undang
No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dimana pada Pasal 3 dinyatakan
bahwa keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan,
efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Artinya, selain proses kebijakan
penganggaran mengacu kepada prinsip-prinsip teknokratis, lebih dari
itu yang patut digaris bawahi adalah adanya proses politik dan partisipasi
warga.

Dalam pengertian
yang luas, anggaran memiliki fungsi distributif, yang diartikan bahwa
suatu anggaran harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Sebagai
fungsi alokasi sumberdaya, anggaran harus diarahkan untuk menciptakan
lapangan kerja, mengatasi kesenjangan serta meningkatkan efektivitas
dan efisiensi perekonomian. Untuk itulah, penyusunan anggaran harus
mempergunakan prioritas kebutuhan dasar bagi masyarakat, apa yang akan
dipenuhi, memperkirakan sumber daya yang dimiliki pada tahun yang akan
datang, pelayanan atau pembangunan apa yang akan diberikan pemerintah
untuk satu tahun ke depan.

Anggaran belanja
daerah mempunyai beberapa karakteristik yang membuat anggaran itu sarat
dengan masalah-masalah politik. Pemerintah daerah menyusun anggaran
itu secara teknis dengan kriteria efesiensi dan profesional. Biasanya
pejabat-pejabat penyusun itu mempunyai pendidikan yang khusus mendalami
masalah-masalah anggaran, tetapi kadang-kadang perhitungan-perhitungan
yang telah disusun secara teknis dan profesional itu sulit disajikan
secara rasional, karena adanya intervensi dari unsur-unsur politik.
Di sini berhadapan antara penyusun anggaran yang profesional dengan
para politisi yang bekerja dengan pertimbangan politik. Dengan kata
lain, terdapat batasan antara keputusan-keputusan yang bersifat teknis
dari para penyusun anggaran, dan bersifat politis dari para politisi
atau anggota legislatif.


Diantara anggota
legislatif yang mewakili rakyat itu, sering terjadi konflik diantara
mereka sendiri. Jadi konflik bukan terjadi antara anggota legislatif
dan penyusun anggaran atau pemerintah saja, tetapi juga dapat terjadi
dikalangan dewan legislatif. Anggota legislatif itu mewakili kelompok-kelompok
masyarakat yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda, antara lain
kelompok-kelompok ekonomi kuat dan ekonomi lemah. Dengan demikian dikalangan
legislatif itu, tidak heran apabila disatu pihak memperjuangkan anggaran
untuk golongan pengusaha yang sudah mapan.

Dimensi politik
dan kepentingan dalam perumusan kebijakan publik merupakan sebuah hal
yang lazim terjadi di Indonesia termasuk dominasi elite kekuasaan di
dalam mempengaruhi perumusan kebijakan. Pengaruh politik dalam anggaran
bukan hanya pada penyusunannya, tetapi juga pada prosesnya. Proses anggaran
yang dimaksud adalah dari mulai tingkat usulan sampai ke pelaksanaan
dan penilaian. Pada proses inilah unsur-unsur politik itu banyak bermain
atau berperan. Pada akhirnya, kebijakan banyak dianggap sebagai sebuah
upaya mempertahankan kekuasaan.

Formulasi kebijakan
perencanaan merefleksikan sebuah gugatan terhadap peran elit kekuasaan
yang memegang kendali utama dalam proses perumusan kebijakan yang akan
menentukan masa depan banyak pihak; bukan hanya negara/daerah sebagai
sesuatu yang pasif namun, masyarakat sebagai sesuatu yang aktif termasuk
masa depan negara/daerah.

Dalam perspektif
produk kebijakan, perencanaan daerah merefleksikan sebuah gugatan terhadap
sisi kelayakan dan rasionalitas atas substansi kebijakan perencanaan.
Berangkat dari fenomena yang telah digambarkan, dengan segenap kekuatan
pada derajat analisis pengalaman, penelitian formulasi kebijakan berusaha
menginterpretasikan persoalan pada proses perencanaan (formulasi) dan
kelayakan substansi perencanaan (produk) dari kebijakan perencanaan.
Tentu bukan bermaksud replikasi, atau universalisasi. Segala keterbatasan
yang dikandungnya, memberi harapan pula untuk kritik dan input, agar
setiap upaya perubahan pada level proses selalu bermakna, andai belum
menghadirkan perubahan langsung dalam waktu pendek. Pengetahuan dengan
basis pengalaman yang terakumulasi dari manapun, semoga kian mencerahkan
sesama.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Corak Perencanaan Inkrimental



Kritik paling
awal dalam sejarah terhadap pendekatan perencanaan komprehensif—dan
sangat mempengaruhi—diberikan oleh Charles Lindblom pada tahun 1959.
Penulis tersebut mengkritik pendekatan perencanaan komprehensif sebagai
model perencanaan yang membutuhkan tingkat ketersediaan data dan kompleksitas
analisis yang berada di luar jangkauan dan kemampuan para perencana
pada umumnya.

Menurutnya,
dalam praktek, jarang perencanaan dilakukan secara komprehensif, sehingga
lebih baik perencanaan dilakukan secara inkrimental (sepotong demi sepotong)
menggunakan “perbandingan terbatas dari hasil-hasil berurutan” untuk
mencapai tujuan jangka pendek yang realistis.


Pendekatan
inkrimental sendiri juga dikritik sebagai terlalu “kuatir” dan konservatif,
karena memperkuat kondisi yang ada (status quo) dan mengingkari kekuatan
perubahan sosial yang revolusioner (perubahan besar dan dalam waktu
relatif singkat). Pendekatan ini juga dikritik berkaitan dengan kelemahannya
dalam berpikir induktif dengan berasumsi bahwa stimulus dan respon jangka
pendek dapat menggantikan kebutuhan terhadap visi dan teori.

Meskipun menerima
kritik-kritik tersebut, pendekatan ini merupakan argumen balik/kontra
terhadap perencanaan tradisional “master planning” yang berbasis
kekomprehensifan arsitektur dan perancangan kota. Pendekatan inkrimental
meningkatkan orientasi ke analisis marginal dari kebijakan sarana prasarana,
ekonomi dan politik serta sosial budaya secara pragmatis dan tidak terpadu.
Oleh karena itu, perencanaan inkrimental (oleh beberapa pihak) dianggap
bukan perencanaan karena tidak mengantisipasi masa depan yang berjangka
panjang;




Tabel
….

Hubungan
Corak Perencanaan dengan Teori Politik




Hubungan Corak Perencanaan dengan Teori Politik



Perencanaan
strategis memang lebih mewadahi partisipasi masyarakat dalam proses
perencanaannya, sehingga memang mampu mewadahi aspirasi partai atau
golongan/ kelompok yang memperjuangkan demokrasi. Aliran sosialis cenderung
memilih corak perencanaan ekuiti atau perencanaan advokasi. Aliran sosialis
yang “radikal” mungkin lebih menyukai perencanaan advokasi, karena
mewadahi konflik antar kelas sosial, sedangkan aliran sosialis yang
lebih lunak mungkin memilih perencanaan ekuiti, karena hasilnya menjadi
satu rencana, secara kompromi dengan golongan lain di masyarakat.

Kompromi tersebut
dapat saja berakhir dengan menerima rencana komprehensif atau rencana
strategis bila aspirasi kelompok minoritas/tertindas yang diperjuangkan
oleh para perencana ekuiti secara adil telah dapat terwadahi. Kelompok
masyarakat yang ingin lebih bebas, tidak terikat dengan pihak lain dan
juga tidak terikat dengan masa lalu serta merasa tidak perlu mempunyai
tujuan jangka panjang, mungkin sekali akan lebih memilih perencanaan
inkrimental.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Corak Perencanaan Advokasi



Perencanaan
advokasi meragukan bahwa ada satu saja “kepentingan umum” bersama.
Paul Davidoff dalam Junaedi (2000:6) mengkiritik bahwa perencanaan yang
mengaku mampu merumuskan satu versi kepentingan umum berarti memonopoli
kekuatan/kewenangan perencanaan dan tidak mendorong adanya partisipasi.
Menurut penulis tersebut, bila perencanaan bersifat inklusif, maka sebuah
lembaga tidak akan dapat mewadahi kepentingan masyarakat yang beragam
dan saling konflik.

Sebaliknya,
perencanaan haruslah dapat mendorong pluralisme yang berimbang dengan
cara mengadvokasi (“memberi hak bersuara”) pihak-pihak yang tidak
mampu menyalurkan aspirasinya. Perencanaan tradisional menghambat tumbuhnya
pluralisme yang efektif, karena: (1) komisi perencanaan (semacam Bappeda)
tidak demokratis dan kurang sekali mewakili kepentingan yang saling
bersaing dalam masyarakat yang beragam (plural), dan (2) perencanaan
kota tradisional berfokus pada aspek fisik yang terpisah dengan aspek
sosial, sehingga mengabaikan kenyataan adanya konflik sosial dan ketidakadilan
di kota.


Karena tidak
percaya adanya satu kepentingan umum, yang berarti juga tidak percaya
adanya satu rencana yang dapat disepakati bersama, maka menurut perencanaan
advokasi, tiap kelompok masyarakat dapat mempunyai rencananya sendiri.
Dengan demikian, terdapat beragam rencana yang mewadahi kepentingan
yang plural di masyarakat.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Corak Perencanaan Ekuiti

Di dekade-dekade
akhir Abad ke 20, tidak hanya pendekatan perencanaan strategis saja
yang muncul, tapi juga tipe perencanaan ekuiti. Tipe ini secara progresif
mempromosikan kepentingan umum bersama yang lebih besar (tidak hanya
kepentingan satu kelompok saja) sekaligus menentang ketidakadilan di
perkotaan. Perencanaan ekuiti mengikuti pendapat perencanaan advokasi
bahwa akar-akar ketidakadilan sosio-ekonomis perkotaan perlu diatasi,
tapi tidak sependapat bahwa perencana mempunyai tanggung-jawab eksplisit
untuk membantu pihak-pihak yang tidak beruntung.

Pengalaman
dalam mempraktekkan tipe perencanaan ini dilaporkan oleh Norman Krumholz
di tahun 1982, yang pernah bertugas sebagai direktur perencanaan Cleveland
(AS), yang mempunyai pengalaman impresif dalam melakukan pemerataan
sosial di sebuah kota industri yang mengalami pertumbuhan yang negatif.
Hasil perencanaan ekuiti dapat saja menjadi satu dengan hasil perencanaan
komprehensif atau perencanaan strategis bila partisipasi “kaum pinggiran”
(kelompok minoritas)—yang memperjuangkan keadilan bagi kelompoknya—telah
terwadahi dengan memuaskan.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Corak Perencanaan Strategis

Sebagai respon terhadap tujuan yang terlalu luas (dan sering seperti impian) dalam
perencanaan komprehensif, maka para perencana, di dekade-dekade akhir
Abad ke 20, meminjam pendekatan perencanaan strategis yang biasa dipakai
dalam dunia usaha dan militer. Pendekatan strategis memfokuskan secara
efisien pada tujuan yang spesifik, dengan meniru cara perusahaan swasta
yang diterapkan pada gaya perencanaan publik, tanpa menswastakan kepemilikan
publik.

Di tahun 1987, Jerome Kaufman dan Harvey Jacobs dalam Djunaedi (2000:4) mengkaji perencanaan
strategis ini dengan bertanya apakah tipe perencanaan ini dapat dipakai
untuk seluruh masyarakat dan bukan hanya untuk pengguna tradisionalnya
yaitu sebuah perusahaan publik atau kantor dinas. Mereka juga mewawancarai
perencana praktisi untuk mengetahui seberapa jauh sebenarnya para praktisi
tersebut menggunakan pendekatan perencanaan strategis tersebut.

Hal yang paling penting, ada anggapan bahwa perencanaan strategis secara fundamental
berbeda dengan praktek perencanaan yang ada (komprehensif). Dapat disimpulkan
bahwa banyak unsur dasar perencanaan strategis (seperti: berorientasi
tindakan, kajian lingkungan, partisipasi, kajian kekuatan dan kelemahan
masyarakat) sebenarnya telah ada sejak lama dalam tradisi perencanaan.
Membandingkan perencanaan strategis dengan perencanaan komprehensif,
menurut para tokoh di atas bagaikan “barang yang sama tapi dikemas
dengan bungkus yang lebih baru”.

Perencanaan strategis tidak mengenal standar baku dan prosesnya mempunyai variasi
yang tidak terbatas. Tiap penerapan perlu merancang variasinya sendiri
sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi setempat. Meskipun demikian,
secara umum proses perencanaan strategis memuat unsur-unsur: (1) perumusan
visi dan misi, (2) pengkajian lingkungan eksternal, (3) pengkajian lingkungan
internal, (4) perumusan isu-isu strategis, dan (5) penyusunan strategi
pengembangan (yang dapat ditambah dengan tujuan dan sasaran). Proses
perencanaan strategis tidak bersifat sekuensial penuh, tapi dapat dimulai
dari salah satu dari langkah ke (1), (2), atau (3).

Ketiga langkah tersebut saling mengisi. Setelah ketiga langkah pertama ini selesai,
barulah dilakukan langkah ke (4), yang disusul dengan langkah ke (5).
Setelah rencana trategis (renstra) selesai disusun, maka diimplementasikan
dengan terlebih dahulu menyusun rencana-rencana kerja (aksi/tindakan).

Seperti disebutkan di atas, karena tidak ada standar baku proses perencanaan strategis,
maka banyak sekali terdapat versi perencanaan strategis. Suatu versi
yang mengkombinasikan antara perencanaan strategis dan perencanaan komprehensif
juga mungkin dilakukan untuk mengisi masa transisi dari penggunaan perencanaan
komprehensif ke masa perencanaan strategis.

Pada suatu masa transisi dari pemerintahan yang bersifat sentralistik kuat (yang
menyeragamkan tipe perencanaan yang dipakai—misal pemerintahan Orde
Baru) ke pemerintahan desentralistik (dalam Era Otonomi Daerah) mungkin
sekali dipakai suatu versi perencanaan strategis yang diseragamkan untuk
semua daerah. Bila semua daerah telah terbiasa berbeda dalam tipe perencanaan
yang dipakai, maka tiap daerah dapat memilih versi perencanaan strategisnya
sendiri-sendiri.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Corak Perencanaan Komprehensif dan Induk

Corak perencanaan induk (master planning) adalah model yang paling tua. Perencanaan komprehensif
melakukan perencanaan secara menyeluruh (komprehensif), yang berarti
Perencanaan induk (master planning) biasanya diterapkan pada perencanaan
komplek bangunan atau kota baru secara fisik.

Dibandingkan dengan perencanaan komprehensif yang dilakukan secara multi-disiplin,
maka perencanaan induk umumnya dilakukan secara satu disiplin, yaitu
arsitektur. Keduanya, perencanaan induk dan perencanaan komprehensif,
mempunyai kesamaan dalam sifat produk akhir rencana yang jelas, rinci,
end-state, tidak fleksibel—seakan masa depan sangat pasti-. Proses
perencanaan induk mengacu pada perencanaan dan perancangan arsitektur,
yaitu dengan langkah-langkah sekuensial (urut): (1) problem seeking,
(2) programming, dan (3) designing. Terhadap hasil perencanaan/perancangan
dilakukan kegiatan konstruksi atau pelaksanaan aksi/tindakan.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kriteria Kelayakan Sebuah Kebijakan

Dalam melakukan sebuah proses analisis harus ditetapkan terlebih dahulu kriteria yang
ingin digunakan dalam sebuah proses analisis kebijakan. Ada beberapa
kategori dalam penentuan kriteria yang bertujuan untuk mengarahkan kriteria
yang akan dipilih sesuai dengan konteks yang terjadi. Baardach dalam
Abidin 1972 mengemukakan empat titik fokus yang dapat disesuaikan dengan
tujuan dari sebuah analisis kebijakan, yaitu sebagai berikut:

  1. Technical feasibility
    Tipologi kriteria yang menitikberatkan hasil sebuah tujuan pada ukuran-ukuran
    teknis yang pasti untuk mencapai tujuan dasar.
  1. Economic dan financial possibility
    Mengukur program atau kebijakan dengan ukuran ekonomi, seperti pembiayaan, keuntungan
    yang akan didapat dan ukuran-ukuran finansial lainnya.
  1. Administrative operability
    Tipologi kriteria yang mengukur tingkat pelaksanaan rencana dalam konteks administrasi.
  1. Political viability
    Tipologi kriteria yang mengukur kemungkinan sebuah rencana kebijakan dilaksanakan
    dalam konteks yang terkait dengan kelompok kepentingan dan para pengambil
    keputusan, seperti badan legislatif, badan eksekutif, partai politik,
    LSM, kelompok warga dan aktor-aktor lainnya yang terkait dan terkena
    dampak dari program dan kebijakan yang hendak dibuat.
Secara umum, keragaman corak perencanaan yang ada dalam praktek saat ini, yaitu:
(1) perencanaan komprehensif (comprehensive planning); (2) perencanaan
induk (master planning); (3) perencanaan strategis (strategic planning);
(4) perencanaan ekuiti (equity planning); (5) perencanaan advokasi (advocacy
planning); dan (6) perencanaan inkrimental (incremental planning). (Djunaedi,
2000 : 2)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Perencana sebagai Salah Satu Stakeholders atau Aktor

Perencanaan sebagai sebuah proses komunikasi, menekankan kepada peran perencana
sebagai komunikator dari produk perencanaan yang dihasilkannya. Perencana
mendengarkan, mengakomodasi, melakukan mediasi dan pada akhirnya melakukan
sebuah sosialisasi mengenai produk rencana yang dihasilkan.

Perspektif manapun yang dipilih oleh seorang perencana, ketika berhadapan dengan
situasi dan proses politik yang kompleks, fungsi perencana sebagai seorang
komunikator memegang peranan penting dalam menyelesaikan konflik yang
terjadi. Karena informasi merupakan sumber kekuasaan bagi setiap aktor
yang dapat meningkatkan kapasitas dan posisi politik setiap aktor, perencana
memiliki posisi yang strategis ketika berperan sebagai pemberi informasi.

Forester (1989) memberikan lima persepektif yang ada dalam menjelaskan peran informasi
dalam sebuah perencanaan yang sarat dengan nuansa politik. Pertama sebagai
technician, dimana kekuasaan terletak di informasi teknis yang berkaitan
dengan sumber data dan metode analisis yang digunakan. Perspektif ini
menggunakan ide paling tradisional dari perencanaan, dimana perencana
bertindak sebagai pemecah masalah dan bertindak untuk tidak terlibat
secara langsung dengan politik.

Kedua, perencana sebagai seorang inkrementalis yang memandang informasi sebagai sumber
kekuasaan karena informasi itu menjawab kebutuhan organisasi, dimana
setiap orang membutuhkan sumber informasi, prosedur perijinan atau restriksi
dalam melakukan perencanaan. Kekuasaan yang didapatkan melalui organisasi
sebagi sumber informasi, memungkinkan perencana memilih informasi yang
ingin disampaikan.

Ketiga, perencana sebagai liberal-advocate yang memandang informasi sebagai sumber kekuasaan
karena merespon kebutuhan dari sebuah sistem politik yang beragam. Informasi
dapat digunakan oleh kelompok yang tidak terwakili atau tidak terorganisasi
untuk meningkatkan kapasitas partisipasi dalam proses perencanaan. Perencana
memiliki peran sebagai pendamping kelompok masyarakat yang tidak terwakili
untuk memberikan saran dan pertimbangan teknis untuk memperkuat kapasitas
dan memperbesar tingkat partisipasi.

Keempat, perencana sebagai strukturalis, dimana informasi menjadi media dan alat dalam
memperoleh atau memperkuat legitimasi struktur kekuasaan yang ada dan
memperkuat perhatian publik terhadap sebuah isu. Seorang perencana tidak
memiliki kekuasaan, akan tetapi dapat mempertahankan kekuasaan yang
ada dan memberikan sebuah kondisi status-quo dalam tatanan politik yang
telah ada.

Yang terakhir adalah perencana sebagai kekuatan progresif dimana informasi dimanfaatkan
sebagai alat meningkatkan partisipasi masyarakat dan menghindari legitimasi
yang dibuat oleh struktur yang ada. Perencana memiliki fungsi dalam
mengorganisir tindakan masyarakat untuk meraih kekuasaan yang ada dengan
mengorganisir informasi yang ada untuk mencegah misinformasi dan manipulasi
informasi yang dilakukan oleh kelompok dengan kapasitas politik yang
lebih besar.

Model Perencana
Forester



Model Perencana Forester


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pengertian Stakeholders

Istilah stakeholders sudah sangat populer. Kata ini telah dipakai oleh banyak pihak dan hubungannnya
dengan berbagi ilmu atau konteks, misalnya manajemen bisnis, ilmu komunikasi,
pengelolaan sumberdaya alam, sosiologi, dan lain-lain. Lembaga-lembaga
publik telah menggunakan secara luas istilah stakeholder ini ke dalam
proses-proses pengambilan dan implementasi keputusan. Secara sederhana,
stakeholder sering dinyatakan sebagai para pihak, lintas pelaku, atau
pihak-pihak yang terkait dengan suatu issu atau suatu rencana.

Freeman (1984) mendefenisikan stakeholders sebagai kelompok atau individu yang dapat
mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu.
Sedangkan Biset (1998) secara singkat mendefinisikan stakeholder sebagai
orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan. Stakeholder
ini sering diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu sebagaimana dikemukakan
Freeman (1984), yaitu dari segi kekuatan dan kepentingan relatif stakeholder
terhadap issu, Grimble and Wellard (1996), dari segi posisi penting
dan pengaruh yang dimiliki mereka.

Berdasarkan kekuatan, posisi penting, dan pengaruh stakeholder terhadap suatu issu,
stakeholder dapat diketegorikan kedalam beberapa kelompok yaitu stakeholder
primer, sekunder dan stakeholder kunci.

Stakeholder utama merupakan stakeholder yang memiliki kaitan kepentingan secara
langsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek. Mereka harus ditempatkan
sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan. Misalnya masyarakat
dan tokoh masyarakat, masyarakat yang terkait dengan proyek, yakni masyarakat
yang di identifkasi akan memperoleh manfaat dan yang akan terkena dampak
(kehilangan tanah dan kemungkinan kehilangan mata pencaharian) dari
proyek ini. Sedangkan tokoh masyarakat adalah anggota masyarakat yang
oleh masyarakat ditokohkan di wilayah itu sekaligus dianggap dapat mewakili
aspirasi masyarakat. Di sisi lain, stakeholders utama adalah juga pihak
manajer Publik yakni lembaga/badan publik yang bertanggung jawab dalam
pengambilan dan implementasi suatu keputusan.

Stakeholder pendukung (sekunder) adalah stakeholder yang tidak memiliki kaitan kepentingan
secara langsung terhadap suatu kebijakan, program, dan proyek, tetapi
memiliki kepedulian (concern) dan keprihatinan sehingga mereka turut
bersuara dan berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal
pemerintah. Yang termasuk dalam stakeholders ini misalnya lembaga(Aparat)
pemerintah dalam suatu wilayah tetapi tidak memiliki tanggung jawab
langsung, lembaga pemerintah yang terkait dengan issu tetapi tidak memiliki
kewenangan secara langsung dalam pengambilan keputusan, Lembaga swadaya
Masyarakat (LSM) setempat : LSM yang bergerak di bidang yang bersesuai
dengan rencana, manfaat, dampak yang muncul yang memiliki concern (termasuk
organisasi massa yang terkait). Perguruan Tinggi yakni kelompok akademisi
ini memiliki pengaruh penting dalam pengambilan keputusan pemerintah
serta Pengusaha (Badan usaha) yang terkait sehingga mereka juga masuk
dalam kelompok stakeholder pendukung.

Sedangkan Stakeholder kunci merupakan stakeholder yang memiliki kewenangan secara legal dalam
hal pengambilan keputusan. Stakeholder kunci yang dimaksud adalah unsur
eksekutif sesuai levelnya, legislatif dan instansi. Misalnya, stakeholder
kunci untuk suatu keputusan untuk suatu proyek level daerah kabupaten
adalah Pemerintah Kabupaten, DPR Kabupaten serta dinas yang membawahi
langsung proyek yang bersangkutan.

Di sisi lain, James Anderson (1979), Charles Lindblom (1980), James Lester dan Joseph
Stewart, Jr (2000) dalam Winarno (2002 : 84) berpendapat bahwa aktor-aktor
atau pemeran dalam proses perumusan kebijakan dapat dibagi ke dalam
dua kelompok yaitu para pemeran resmi dan para pemeran tidak resmi.
Yang termasuk para pemeran resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi),
eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota), legislatif dan yudikatif.
Sedangkan yang termasuk dalam kelompok pemeran tidak resmi meliputi
kelompok-kelompok kepentingan, partai politik dan warga negara individu
baik para pakar perencana maupun individu lainnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Partisipasi dalam Perencanaan

Wacana tentang partisipasi publik dalam perencanaan dan pengelolaan sektor publik sebenarnya
mendapat perhatian. Di Amerika wacana ini muncul sejak akhir tahun 1950-an,
sementara di Inggris sejak awal tahun 1960-an dan Australia menyusul
pada tahun 1970-an. Wacana ini berkembang sejalan dengan perubahan struktur
politik yang mengarah kepada sistem yang disebut sebagai demokrasi.
Proses demokratisasi ini pada suatu saat akan mendorong terbentuknya
suatu tatanan masyarakat untuk turut serta dalam proses pengambilan
keputusan publik.

Paradigma perencanaan sebagai sebuah domain publik merupakan sebuah paradigma yang lahir dari
tradisi perencanaan sebagai sebuah proses pembelajaran sosial. Dari
hal tersebut maka lahir sebuah konsekuensi logis perencanaan yang berbasiskan
diri kepada masyarakat dengan peran perencana yang berbeda dengan perencana
sebagai sebuah alat dalam mempertahankan power yang dimiliki.

Terminologi perencanaan partisipatif pertama kali dicetuskan oleh John Friedman
pada tahun 1973 sebagai sebuah cerminan dari goncangan yang terjadi
pada paradigma perencana yang terjadi di Amerika Serikat. Kritikan dilancarkan
oleh John Friedman kepada paradigma-paradigma perencana awal di Amerika
Serikat, yang hanya memfokuskan diri kepada para pembuat dokumen rencana
semata dan melupakan proses dan hubungan timbal balik antara elemen-elemen
sosial di dalamnya. Inti dari pemikiran John Friedman pada saat itu,
ialah perencanaan ’dari bawah’ yang dapat mencerminkan dengan tepat
kepentingan rakyat yang sesungguhnya dari rakyat yang yang terlibat
dalam kegiatan kehidupan sosial mereka (Friedman, 1981).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Dimensi Kekuasaan dan Politik dalam Perencanaan

Kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari proses pengambilan keputusan. Definisi tentang  kekuasaan terkadang tidak dapat dilepaskan dari proses pengambilan keputusan.  Lasswell (Dalam Dwicaksono, 2003) berpendapat bahwa kekuasaan adalah  partisipasi dalam membuat keputusan yang penting. Sheppered (dalam Abbot,  1995) berpendapat bahwa proses pengambilan keputusan publik adalah contoh  nyata dari penggunaan kekuasaan. Kekuasaan merupakan sesuatu yang tidak  dapat dilepaskan dari proses pembuatan keputusan yang melipatkan hubungan  antar individu dan kelompok kepentingan dengan negara.

Teori mengenai kekuasaan mengalami metamorfosa dan proses dialektika untuk menuju sebuah  penyempurnaan mengenai pemahaman para ahli mengenai kekuasaan. Salah  satu teori yang terkemuka adalah teori tiga dimensi kekuasaan yang dikemukakan  oleh Luke dan dikembangkan oleh John Gaventa. Teori tersebut merupakan  sebuah evolusi dari teori lain yang berkembang sebelumnya.

Teori yang pertama adalah teori kekuasaan satu dimensi yang dikemukakan oleh Robert  Dahl. Persepektif ini disebut sebagai pendekatan pluralis dan meningkatkan  kepada peningkatan kekuasaan melalui proses pembuatan kebijakan dan  perilaku yang bisa diamati. Persepektif satu dimensi ini menjelaskan  sebuah kondisi dimana salah satu kelompok didominasi oleh kelompok yang  lain, sehingga kelompok yang didominasi tidak bisa melakukan apapun  tanpa ada ’perintah’ dari kelompok yang mendominasi.

Pendekatan pluralis melihat arena politik sebagai sebuah sistem terbuka dengan  kesempatan yang sama dengan semua orang untuk dapat terlibat, bukan  hanya berputar disebuah elite saja. Setiap orang akan ikut terlibat  dan berpartisipasi dalam proses kebijakan, apabila merasa terkait dengan  satu isu dan ingin menyampaikan pendapatnya mengenai isu tersebut. Apatisme  atau non-partisipasi merupakan sebuah gambaran dari kurangnya minat  terhadap sebuah isu yang berkembang. Menyadari kondisi masyarakat yang beragam, maka konflik merupakan sebuah hal yang wajar terjadi sebagai sebuah hasil yang diharapkan atau sebagai sebuah media untuk menentukan  siapa yang menang.

Pendekatan  ini mendapatkan kritikan yang menyatakan bahwa ketika pendekatan satu  dimensi ini melihat kekuasaan sebagai sebuah fungsi yang tersembunyi dari pembuatan kebijakan yang mengamati konflik terbuka melalui partisipasi terbuka, maka pendekatan itu telah mengabaikan mekanisme politik yang penting. Seringkali terjadi, dimana kekuasaan menggunakan potensinya untuk mencegah satu isu untuk diangkat dan menekan partisipasi di dalam arena politik. Isu potensial dan keluhan tidak pernah terungkapkan karena
telah dimatikan oleh kekuasaan. Pendekatan yang membatasi pada sebuah fenomena yang nampak, dapat melewatkan fenomena manipulasi dan paksaan yang menyebabkan sebuah isyu atau suatu kelompok tidak masuk dalam arena politik.

Kritikan terhadap pendekatan satu dimensi melahirkan pendekatan kedua yang dikemukakan oleh Bachrach dan Baratz yang melihat kekuasaan melalui pendekatan dua dimensi yang sering disebut sebagai elite model. Dimensi pertama melihat arena sebagai sebuah sistem terbuka dan walaupun distribusi kekuasaan tidak tersebar merata, akan tetapi tidak berpusat pada satu kelompok saja. Dimensi yang kedua adalah sistem ketidakmerataan yang monopolistik diciptakan dan dipertahankan oleh kelas dominator. Elite mempunyai kekuatan dan sumber daya untuk mencegah tindakan politik yang tidak menguntungkan mereka. Elite menentukan agenda untuk mempertahankan dominasinya. Pendekatan dua dimensi ini membahas lebih dalam mengenai fenomena non-partisipasi, keluhan dan apatisme.

Analisis yang lebih dalam dari dimensi kedua ini tetap melahirkan kritikan. Salah satu kritikan yang dikemukakan adalah pada dasarnya pendekatan ini tidak berbeda dengan pendekatan sebelumnya, yakni memfokuskan analisis pada sebuah konflik yang terlihat. Pendekatan ini melihat ketika tidak terjadi konflik, maka sudah terjadi sebuah konsensus atau alokasi sumber daya yang menyebabkan tidak terjadi sebuah konflik. Luke (dalam Hardiansyah, 2005) menerangkan bahwasanya manipulasi dan kewenangan merupakan sebuah bentuk kekuasaan yang tidak perlu melibatkan konflik terbuka. Sehingga konflik laten dapat terjadi dimana ketika seseorang menerima sesuatu yang berlawanan dengan kepentingannya tanpa mengetahuinya sama sekali.

Pendekatan
tiga dimensi merupakan perluasan daari pendekatan satu dimensi dan dua
dimensi dan sering disebut calss dialetical model. Pendekatan ini lahir
dari sebuah kritikan terhadap pendekatan yang fokus dan prilaku yang
memasukkan pertimbangan kekuatan yang tersembunyi dan konflik yang mendapat
pengaruh kekuasaan (Gaventa, 1985) adalah untuk mengidentifikasi alat
dan media yang digunakan oleh pengaruh kekuasaan untuk membentuk atau
menentukan konsepsi dari kebutuhan, kemungkinan dan strategi untuk menghadapi
konflik yang terjadi.

Proses yang
terjadi dalam proses politik dalam persepektif dalam tiga dimensi ini
adalah sebuah proses ekskalatif. Dimana kelompok yang terdominasi akan
bergerak dari sebuah kondisi ketidakberdayaan menjadi sebuah kondisi
melawan kelompok dominan. Proses ini dipersepsikan oleh Gaventa (1985)
sebagai kondisi ”power serves to create power, powerlessness serves
to re-enforce powerless-ness”


Kerangka
Kekuasaan Tiga Dimensi



Kerangka Kekuasaan Tiga Dimensi


Dimensi pertama,
yaitu kekuasaan, melibatkan sebuah titik tekan dari perilaku dalam pengambilan
keputusan dari sebuah isu yang terdapat konflik terbuka dari sebuah
kepentingan subjektif. Dimensi ini mencoba menjelaskan bagaimana sebuah
kelompok atau individu berusaha untuk memperbesar dan memperluas kekuasaan
yang dimilikinya. Domensi kedua adalah kepentingan, merupakan perluasan
dari dimensi pertama, sehingga proses-proses yang terjadi dalam spektrum
dimensi pertama termasuk pula dalam dimensi kedua.

Dimensi kedua
mencoba menjelaskan bagaimana proses pembuatan keputusan sedapat mungkin
berangkat dari isu potensial yang didasarkan pada sebuah konflik terbuka
dari sebuah kepentuingan subjektif semata. Tindakan-tindakan politis
yang diambil dan termasuk spektrum dimensi ini menekankan kepada sebuah
proses perluasan kekuasaan serta mulai melibatkan kepentingan sebagai
sebuah pencapaian yang harus daraih. Pada titik ini tindakan-tindakan
yang dilakukan dimaksudkan untuk memperbesar kekuasaan dan kepentingan-kepentingan
yang dimiliki oleh kelompok atau individu. Pada dimensi ini pula kepentingan-kepentingan
yang tidak sejalan dengan perluasan kekuasaan dan

kepentingan
objektif mulai disingkirkan.


Dimensi yang
ketiga adalah hegemoni, yang merupakan perluasan dari kedua dimensi
sebelumnya. Dimensi kedua dan ketiga pada dasarnya dibangun untuk memperoleh
sebuah gambaran mengenai hubungan sebab akibat dari dimensi yang pertama.
Dimensi ketiga merupakan sebuah proses bagaimana sebuah kelompok atau
individu bukan hanya memperluas kekuasaan dan berusaha meloloskan kepentingan
mereka, tetapi juga berusaha mempertahankan hegemoni yang telah dimiliki
oleh kelompok atau individu.

John Gaventa
(1980) mencoba menjelaskan hubungan para pelaku pilitik dalam konteks
kerangka kekuasaan tiga dimensi Luke. Model ini menganalogikan dua belah
pihak antara A dan B. Kelompok A merupakan kelompok dominan sedangkan
kelompok B kelompok yang terdominasi. Hal ini diungkapkan oleh Gaventa
pada penelitiannya yang menggunakan pendekatan tiga dimensi ini pada
kasus Suku Indian Applachian yang terdominasi oleh kelompok pengusaha
yang mengambil alih lahan yang dimiliki.


Model Relasi
Kekuasaan Tiga Dimensi Gaventa



Model Relasi Kekuasaan Tiga Dimensi Gaventa



Proses penyusunan
strategi dalam meraih kepentingan adalah sebuah usaha dalam meraih inovasi
deliberatif yang dijelaskan oleh Bryson dan Crosby (1992). Penjelasan
model ini mengadaptasi dari model kekuasaan tiga dimensi yang dikemukakan
sebelumnya oleh Luke. Bryson dan Crosby (1992) mencoba menjelaskan sebuah
tindakan yang diambil oleh masing-masing aktor perencanaan dalam perumusan
kebijakan publik berdasarkan dimensi Luke dal tiga macam sifat pertemuan
yaitu forum, arena dan pengadilan.

Titik perbedaan
ketiganya adalah jenis pertemuan yang dilakukan dalam memenuhi kepentingan
kelompok dan individu yang ada. Pada forum menekankan kepada sebuah
proses komunikasi dan interpretasi makna, sedangkan pada arena titik
tekannya pada sebuah proses pembuatan dan implementasi dari kebijakan.
Sedangkan pengadilan merupakan sebuah bentuk dan media arbitrasi dalam
meminimasi konflik yang terjadi. Pemain kunci dari ketiga bentuk pertemuan
ini adalah para pemimpin yang berperan sebagai seorang inisiator dan
pemimpin dari kelompok-kelompok tersebut. Pekerjaan dalam membangun
sebuah forum adalah melibatkan sebuah kesepakatan diantara para aktor
utama dengan mencoba mencari sebuah konsensus antara kelompok yang berkepentingan.

Dalam persepektif
perencanaan model ini melihat dan memformulasikan proses-proses politik
yang tidak mungkin dihindari dari sebuah perumusan kebijakan publik.
Targetan-targetan dari tiap dimensi dari masing-masing jenis pertemuan
berbeda-beda, karena kepentingan yang akan diraih berbeda pula untuk
masing-masing konteks.


Dimensi politik
dalam proses pengambilan keputusan publik selalu terkait erat dengan
sebuah proses pengaruh dalam pengambilan keputusan. Menurut Cristian
Bay (Dalam Varma, 1992), arena politik bukan hanya studi yang terkait
dengan bentuk kenegaraan, tetapi termasuk pula proses mensejahterakan
manusia dan kemaslahatan masyarakat. Dimana kedua proses tersebut difokuskan
kepada perbaikan-perbaikan individu yang terpinggirkan dalam dunia publik.

Paul Davidovf
menekankan pada sisi politis dan srat nilai perencanaan. Davidoff menilai
perencanaan sebagai sebuah proses, yang menekankan lebih sebagai proses
atas-atas pilihan. Sehingga dalam sebuah proses perencanaan, akan sangat
terkait sekali dengan proses penentuan pilihan-pilihan yang merupakan
sebuah pengejewantahan dari proses politik yang terjadi dalam proses
politik perumusan kebijakan publik.

Dalam persepektif
perencanaan model ini melihat dan memformulasikan proses-proses politik
yang tidak mungkin dihindari dari sebuah perumusan kebijakan publik.
Targetan-targetan dari tiap dimensi dalam masing-masing jenis pertemuan
berbeda-beda, karena kepentingan yang ingin diraih berbeda pula untuk
masing-masing konteks. Model ini akan menjadi sebuah dasar untuk mengamati
tindakan yang diambil oleh aktor dalam mempengaruhi sebuah kebijakan
publik. Penelusuran modus, strategi dan rencana para aktor dalam mempengaruhi
proses penataan ruang dapat diidentifikasi dengan menggunakan model
di atas.

Proses partisipasi
di masyarakat seringkali dapat merupakan sebuah usaha dari kelompok
elite untuk mempertahankan atau memperkuat kekuasaannya dan untuk membina
usaha-usaha mencapai tujuan lain yang mereka perlu. Para politik elite
akan berusaha memberikan ruang partisipasi sebagai metode mengendalikan
partisipasi itu sendiri. Menurut Huntington dan Nelson (1954, dalam
Aswindi, 2002), dibanyak negara dunia ketiga pendekatan pembangunan
sering meminggirkan golongan masyarakat marjinal.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Relasi Power (Kekuasaan) dan Knowledge (Pengetahuan)

Dalam memahami kekuasaan sebagai sebuah bagian dari perencanaan, maka harus dapat dilihat
pada sebuah titik tolak, yaitu bahwa peran kekuasaan dalam sebuah perencanaan
ialah proses dalam mempengaruhi keputusan publik yang dibuat dan produk
perencanaan yang dihasilkan. Proses perencanaan akan selalu menjadi
sebuah proses dalam mempengaruhi alternatif-alternatif yang mungkin
diambil dalam penataan ruang sebuah kota atau wilayah.

Istilah kekuasaan banyak mengalami proses diskursus dan transformasi persepsi serta pemahaman
dari waktu ke waktu. Koneksitas antara kekuasaan dan pengetahuan menjadi
sebuah diskusi yang menarik diantara para ahli organisasi dan filsafat.
Dua ahli yang sangat terkenal membahas koneksitas pengetahuan dan power
adalah Michael Foucault (1926-1984) dan Francis Bacon (1561-1626).

Francis Bacon memulai diskursus mengenai koneksitas kekuasaan dan pengetahuan pada
abad 17. Bacon memiliki sebuah kutipan yang sangat terkenal yaitu ”knowledge
it self is power”. Pendapat ini didasari pada sebuah keyakinan bahwasanya
suatu saat semua persoalan manusia akan dapat diselesaikan melalui ilmu
pengetahuan. Bacon mendasarkan pendapatnya setelah kemajuan yang signifikan
dicapai oleh bangsa Eropa setelah mengambil teknologi yang dimiliki
bangsa Islam di Cordoba.

Pemikiran empirisme sangat mendominasi ide rasionalitas yang membangun kekuatan, atau dengan
kata lain wacana yang memberikan kekuasaan kepada manusia baik untuk
mensejahterakan maupun menindas. Wacana empirisme terhadap kekuatan
membuat sebuah superioritas pengetahuan terhadap aspek lainnya, dengan
sebuah stigma awal bahwasanya pengetahuan yang membentuk peradaban manusia
begitu juga kekuatan yang dimiliki untuk membentuk peradaban itu sendiri.

Di spektrum lainnya, berdiri pemikiran Foucault mengenai relasi antara kekuasaan
dan pengetahuan. Foucault merupakan filosof yang menjadi gerbong gerakan
filosofi post-modern di dunia bersama dengan Jacques Derrida. Pemikirannya
dilandasi oleh sebuah pemikiran kritis terhadap pemikiran pada masa
lalu, ia menganggap bahwa pemikiran dapat mengalami proses seiring perjalanan
waktu.

Foucault mengkritik pemikiran dari Bacon dan memunculkan pemikiran baru yaitu “power/knowledge”.
Foucault melakukan sebuah demistifikasi terhadap sebuah makna power
terhadap sebuah hubungan resiprokal, mutualisme antara sirkulasi pengetahuan
dengan kekuatan untuk mengendalikan. Foucault menyatakan dalam bukunya
“power/knowledge” (1980), bahwa power adalah sebuah mekanisme yang
menciptakan rasionalitas hukum dan pengetahuan sebagai sebuah alat untuk
menegakkan kekuasaan yang lebih besar.

Analogi pernyataan ini adalah seperti tidak ada kriminologi tanpa penjara, tidak ada teknologi
forensik tanpa polisi atau tidak ada obat tanpa ada klinik, yang menunjukkan
sebuah pengetahuan tidak lebih dari sekedar perangkat dalam memaksa
individu-individu untuk mematuhi kekuasaan yang ada. power/knowledge
menunjukkan sebuah hubungan positif antara kekuasaan dan pengetahuan.
Menurut Foucault, yang mendasari ahli lain seperti Luke, Dahl, Clegg,
dan Giddens, dalam membuat pemahaman baru mengenai fungsi, definisi
dan posisi power dalam konteks relasi dengan pengetahuan.

Luke (1974) mengungkapkan konsepsi kekuasaan sebagai sebuah kepentingan dalam berusaha
memenuhi kepentingan rakyat dengan menguasai atau menghindari oposisinya.
Dahl (1986) mengungkapkan kekuasaan sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi
seseorang untuk mengerjakan sesuatu yang bilamana tanpa itu maka ia
takkan mengerjakannya. Mirip dengan Dahl, Wrong (1979, dalam Clegg,
1989) menginterpretasikan kekuasaan sebagai sebuah kapasitas yang dimiliki
seseorang untuk menghasilkan efek yang dikehendaki dan nyata terhadap
orang lain.

Kekuasaan secara etimologis (dalam KBBI) merupakan kesanggupan, kemampuan, kuasa untuk
menentukan, mengatur dan kemampuan orang/golongan untuk mempengaruhi
orang/golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang atau kekuatan fisik.
Kekuasaan dan pengaruh merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
relasi atau aktivitas yang merupakan bagian dari politik (Dwicaksono,2003).

Barnes (1989) mengungkapkan konsep power sebagai sebuah entitas dari sebuah prilaku,
proses atau agen yang dimiliki. Barnes menyebutkan tiga dimensi dari
kekuasaan yang mungkin dimiliki oleh seseorang, pertama kekuatan fisik,
kedua kekuatan karisma, dan ketiga kekuatan posisi atau kedudukan yang
dimilikinya dalam sebuah kelompok.

Menurut Culver dan Syer (dalam Dwicaksono,2003) kekuasaan (power) dapat dibagi menjadi
dua yaitu kekuasaan individu dan kelompok. Dalam kekuasaan individu
faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah sumber daya yang dimiliki,
keinginan untuk menggunakan sumber daya tersebut, dan kemampuan untuk
menggunakan sumber daya yang dimilikinya.

Pengertian sumber daya yang dikaji ini bermakna luas. Secara umum jenis kepemilikan
sumber daya yang dimiliki yang mempengaruhi tingkat kekuasaan, yaitu:
  1. Kepemilikan yang
    meliputi informasi, ekonomi dan lain-lain
  2. Atribut yang melekat
    pada kepribadian seseorang
  3. Kemampuan tambahan
  4. Agak berbeda dengan
    kekuasaan individu, pada kekuasaan kelompok sumber daya dimiliki oleh
    keanggotaan dari kelompok tersebut (Dwicaksono,2003).
  5. Dengan berkumpulnya
    individu-individu yang memiliki sumber daya, maka kelompok tersebut
    akan memiliki akumulasi yang dimiliki oleh individu-individu yang dimiliki
    di dalam kelompok tersebut.
Pada akhirnya kekuasaan-kekuasaan individu tersebut akan dijadikan sebagai sebuah
bentuk kekuasaan kelompok dalam melaksanakan agenda yang telah disepakati
oleh kelompok tersebut. Kekuasaan yang dimiliki oleh individu tersebut
merupakan sebuah modal yang akan dipakai oleh kelompok tersebut untuk
mempengaruhi kelompok lain untuk turut mendukung agenda kelompok tersebut.
Dalam konteks perumusan kebijakan publik, yang berupa produk perencanaan,
kelompok yang memiliki kekuasaan akan menggunakan kekuasaannya tersebut
untuk mempengaruhi keputusan publik yang hendak dibuat, sehingga dapat
sesuai dengan agenda yang ingin dicapai oleh kelompok tersebut.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Konsepsi Perencanaan Sebagai Sebuah Proses Politik

Ketika perencanaan dipandang sebagai sebuah alat dan metode dalam pengambilan keputusan
dan tindakan publik, maka sudah sewajarnya dipahami akan adanya dimensi
politik dalam perencanaan (Astuti dan Mirmasari, 2002). Dimensi politik
dalam perumusan kebijakan publik merupakan sebuah hal yang tidak dapat
dipisahkan dari proses perencanaan sebagai sebuah tindakan yang rasional
dan ilmiah. Perbedaan dalam proses perencanaan yang teknokratis dengan
perencanaan yang demokratis sangat jelas terlihat dan mempengaruhi perencana
untuk masing-masing konteks. Perbedaan tersebut dapat diamati dalam
tabel berikut.

Perbedaan
Antara Proses Pengambilan Keputusan Teknokratis


Dengan Proses
Pengambilan Keputusan Demokratis



Perbedaan Antara Proses Pengambilan Keputusan Teknokratis Dengan Proses Pengambilan Keputusan Demokratis



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kriteria Isu (Masalah) Publik sebagai Agenda Kebijakan

Dalam sejumlah literatur (Kimber, 1974; Salesbury, 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan
Gunn, 1986) memang disebutkan bahwa secara teoritis, suatu isu akan
cenderung memperoleh respon dari pembuat kebijakan, untuk dijadikan
agenda kebijakan publik, kalau memenuhi beberapa kriteria tertentu.

Diantara sejumlah kriteria itu yang penting ialah:
  1. Isu tersebut telah mencapai suatu titik kritis tertentu, sehingga ia praktis tidak lagi
    bisa diabaikan begitu saja; atau ia telah dipersepsikan sebagai suatu
    ancaman serius yang jika tak segera diatasi justru akan menimbulkan
    luapan krisis baru yang jauh lebih hebat di masa datang.
  2. Isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak
    (impact) yang bersifat dramatik.
  3. Isu tersebut menyangkut emosi tertentu dilihat dan sudut kepentingan orang banyak bahkan umat
    manusia pada umumnya, dan mendapat dukungan berupa liputan media massa
    yang luas.
  4. Isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas.
  5. Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam masyarakat.
  6. Isu tersebut menyangkut suatu persediaan yang fasionable, di mana posisinya sulit untuk dijelaskan
    tapi mudah dirasakan kehadirannya.
Di sisi lain Abidin (2004:107) menambahkan bahwa masalah publik dapat dibagi ke dalam
masalah strategis dan masalah yang tidak strategis (taktis). Masalah
strategis adalah masalah yang antara lain memenuhi keempat syarat-syarat
sebagai berikut :
  1. Luas cakupanya. Artinya, wawasan cakupannya tidak hanya meliputi satu sektor atau satu
    wilayah saja, tetapi meliputi beberapa sektor/wilayah.
  2. Jangka waktunya panjang. Pengertian ini erat hubungannya dengan tujuan dari perencanaan
    jangka panjang. Hal ini bisa ditafsirkan bahwa penyelesaian masalah memerlukan waktu yang panjang dan dampak yang ditimbulkan bisa jadi mempunyai akibat yang jauh ke depan.
  3. Mempunyai keterkaitan yang luas. Substansi permasalahan dan cara-cara penyelesaiannya menyangkut banyak pihak dalam masyarakat
  4. Mengandung resiko dan kemungkinan keuntungan yang besar. Rugi yang ditimbulkan atau hasil
    yang mungkin diperoleh akibat dari penanganan masalah tersebut cukup besar baik dalam nilai uang maupun dalam nilai sosial lainnya yang tidak dapat dinilai dengan uang.
Oleh karena itu, tidak semua masalah atau isu akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Lester dan Steward dalam Winarno (2002 : 60) menyatakan bahwa suatu isu akan mendapat perhatian bila memenuhi beberapa kriteria yakni :
  1. Bila suatu isu telah melampaui proporsi suatu krisis dan tidak dapat terlalu lama didiamkan.
  2. Suatu isu akan mendapat perhatian bila isu tersedbut mempunyai sifat partikularitas, di mana
    isu tersebut menunjukkan dan mendramatisir isu yang lebih besar.
  3. Mempunyai aspek emosional dan mendapat perhatian media massa karena faktor human interest.
  4. Mendorong munculnya pertanyaan menyangkut kekuasaan dan legitimasi dari masyarakat.
  5. Isu tersebut sedang menjadi trend atau sedang diminati oleh banyak orang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pentingnya Masalah Publik sebagai Isu Kebijakan

Sedikitnya ada dua alasan yang dapat dikemukakan mengenai hal ini. Pertama, sebagai
telah disinggung di muka, proses pembuatan kebijakan publik di sistem
politik mana pun lazimnya berangkat dari adanya tingkat kesadaran tertentu
atas suatu masalah atau isu tertentu. Kedua, derajat keterbukaan yakni
tingkat relatif demokratis atau tidaknya suatu sistem politik, di antaranya
dapat diukur dari cara bagaimana mekanisme mengalirnya isu menjadi agenda
kebijakan pemerintah, dan pada akhirnya menjadi kebijakan publik (Wahab:2001:38).

Artinya, yang dimaksud dengan kebijakan publik ialah tindakan (politik) apa pun yang
diambil oleh pemerintah (pada semua level) dalam menyikapi sesuatu permasalahan
yang terjadi dalam konteks atau lingkungan sistem politiknya. Dipahami
seperti ini, maka perilaku kebijakan (policy behavior) akan mencakup
pula kegagalan bertindak yang tidak disengaja, dan keputusan yang disengaja
untuk tidak berbuat sesuatu apa pun, semisal tindakan-tindakan tertentu
yang dilakukan (baik secara sadar atau tidak), untuk menciptakan rintangan-rintangan
(constraints) tertentu agar publik atau masyarakat tidak dapat menyikapi
secara kritis terhadap kebijakan pemerintah (Bachrach dan Baratz, 1962;
Heclo, 1972).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Makna Isu Kebijakan dan Dinamikanya

Sekalipun harus diakui dalam pelbagai literatur istilah isu itu tidak pernah dirumuskan
dengan jelas, namun sebagai suatu "technical term' utamanya dalam
konteks kebijakan publik, muatan maknanya lebih kurang sama dengan apa
yang kerap disebut sebagai "masalah kebijakan" (policy problem).
Dalam analisis kebijakan publik, konsep ini menempati posisi sentral.

Hal tersebut mungkin ada kaitannya dengan fakta, bahwa proses pembuatan kebijakan
publik apa pun pada umumnya berawal dari adanya awareness of a problem
(kesadaran akan adanya masalah tertentu). Misalnya, gagalnya kebijakan
tertentu dalam upayanya mengatasi suatu masalah pada suatu tingkat yang
dianggap memuaskan.

Tapi, pada situasi lain, awal dimulainya proses pembuatan kebijakan publik juga
bisa berlangsung karena adanya masalah tertentu yang sudah sekian lama
dipersepsikan sebagai "belum pernah tersentuh" oleh pemerintah
atau ditanggulangi lewat kebijakan pemerintah. Pada titik ini kemudian
mulai membangkitkan tingkat perhatian tertentu. (Wahab : 2001:35)

Jadi, pada intinya isu kebijakan (policy issues) lazimnya muncul karena telah terjadi
silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah
atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan
itu sendiri.

Isu kebijakan dengan begitu lazimnya merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan
baik tentang rumusan rincian, penjelasan, maupun penilaian atas suatu
masalah tertentu (Dunn, 1990). Pada sisi lain, isu bukan hanya mengandung
makna adanya masalah atau ancaman, tetapi juga peluang-peluang bagi
tindakan positif tertentu dan kecenderungan-kecenderungan yang dipersepsikan
sebagai memiliki nilai potensial yang signifikan (Hogwood dan Gunn,
1996).

Dipahami seperti itu, maka isu bisa jadi merupakan kebijakan-kebijakan alternatif (alternative
policies) atau suatu proses yang dimaksudkan untuk menciptakan kebijakan
baru, atau kesadaran suatu kelompok mengenai kebijakan tertentu yang
dianggap bermanfaat bagi mereka (Alford dan Friedland, 1990: 104). Singkatnya,
timbulnya isu kebijakan publik terutama karena telah terjadi konflik
atau "perbedaan persepsional" di antara para aktor atas suatu
situasi problematik yang dihadapi oleh masyarakat pada suatu waktu tertentu.

Sebagai sebuah konsep, makna persepsi (perception) tidak lain adalah proses dengan
mana seseorang atau sekelompok orang memberikan muatan makna tertentu
atas pentingnya sesuatu peristiwa atau stimulus tertentu yang berasal
dari luar dirinya. Singkatnya, persepsi adalah "lensa konseptual"
(conceptual lense) yang pada diri individu berfungsi sebagai kerangka
analisis untuk memahami suatu masalah (Allison, 1971).

Karena dipengaruhi oleh daya persepsi inilah, maka pemahaman, dan tentu saja perumusan
atas suatu isu sesungguhnya amat bersifat subjektif. Dilihat dari sudut
pandang ini, maka besar kemungkinan masing-masing orang, kelompok atau
pihak-pihak tertentu dalam sistem politik yang berkepentingan atas sesuatu
isu akan berbeda-beda dalam cara memahami dan bagaimana merumuskannya.
Persepsi ini, pada gilirannya juga akan mempengaruhi terhadap penilaian
mengenai status peringkat yang terkait pada sesuatu isu.

Dilihat dari peringkatnya, maka isu kebijakan publik itu, secara berurutan dapat
dibagi menjadi empat kategori besar, yaitu isu utama, isu sekunder,
isu fungsional, dan isu minor (Dunn, 1990). Kategorisasi ini menjelaskan
bahwa makna penting yang melekat pada suatu isu akan ditentukan oleh
peringkat yang dimilikinya. Artinya, makin tinggi status peringkat yang
diberikan atas sesuatu isu, maka biasanya makin strategis pula posisinya
secara politis.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Konsepsi Masalah (Isu) Publik sebagai Agenda Kebijakan

Sebuah kebijakan lahir karena ada suatu masalah yang hendak dipecahkan (Abidin, 2004:103).
Oleh karena itu, kebijakan merupakan alat atau cara untuk memecahkan
masalah yang sudah ada sehingga dalam hal ini yang menjadi dasar pembuatan
kebijakan adalah masalah. Jika tidak ada masalah tidak perlu ada suatu
kebijakan baru.

Kebijakan sebagai instrumen pengelolaan pemerintahan merupakan mata rantai utama dalam
operasionalisasi fungsi kepemerintahan (governance). Sebagai mata rantai
utama, jika kebijakan itu keliru atau tidak tepat dalam menangani persoalan
di dalam negara, konsekuensinya adalah kegagalan pemerintah dalam fungsi
implementatifnya. Permasalahan kebijakan yang terjadi umumnya baru dirasakan
saat sebuah kebijakan tersebut dilaksanakan, para pembuat kebijakan
(policy maker) atau pelaksana (implementor) baru menjerit dan sadar
akan kesalahannya ketika terjadi kondisi implementasi yang buruk (bad
implementation).

Dalam kondisi yang teramat sulit, kebijakan tersebut justru akan menghasilkan penolakan
atau pengabaian oleh elemen-elemen yang secara legal terlibat di dalamnya.
Dalam konteks ini, pemerintah telah bertindak sangat tidak efektif karena
telah mengeluarkan demikian banyak energi untuk suatu kebijakan yang
tidak mampu diimplementasikan, apalagi mampu mengatasi masalah kebijakan
secara tuntas.

Ada persoalan proses kebijakan yang paling pokok terjadi, yaitu sesuatu yang disebut
sebagai kesalahan tipe ketiga; yaitu memecahkan masalah yang salah.
Rasionalitas yang dikembangkan terhadap sebuah isu kebijakan dilakukan
dengan pilihan yang tidak disadari, tidak kritis serta justru sering
mengacaukan secara serius konseptualisasi masalah substantif dan solusinya
yang potensial (Hoss, Tribe dalam Hutagalung, 2008).

Hadirnya isu kebijakan dari opini dalam masyarakat bersifat kompleks karena menyangkut
berbagai faktor yang menjadi latar belakang. Kemampuan mengidentifikasi
dan melihat gambaran besar dari faktor tersebut menjadi awal yang menentukan
proses selanjutnya. Apakah isu tersebut adalah memiliki implikasi yang
sangat kuat dalam mengatasi persoalan yang melatarbelakanginya secara
siginifikan. Melalui pertanyaan itu dapat ditentukan pentingnya isu
menjadi masalah dan menjalani proses kebijakan selanjutnya.

Dengan demikian, kemampuan analisis kebijakan publik memiliki peran sangat menentukan.
Kemampuan rasionalitas erotetik dalam mengelola isu, metamasalah, dan
masalah formal dalam proses kebijakan merupakan penentu utama dalam
efektifnya desain sebuah rumusan masalah yang menjadi input dalam proses
kebijakan.

Melihat banyaknya kebijakan yang bermasalah, maka sudah sepantasnya jika sebagai pelaku
kebijakan, pemerintah pusat, daerah dan stakeholder yang lain memiliki
perhatian yang lebih baik dalam konteks ini. Kemampuan memahami masalah
sebagai bagian besar dari mengatasi keseluruhan persoalan merupakan
modal untuk menciptakan kebijakan publik yang lebih baik.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Proses Analisa Kebijakan Publik

Para pengambil keputusan dalam mengambil sebuah kebijakan yang akan digunakan terlebih
dahulu melakukan sebuah analisis kebijakan yang hendak dibuat. Dalam
membuat analisis kebijakan, dikenal langkah-langkah yang dijelaskan
sebagai berikut:
  1. Pengenalan, perumusan dan perincian masalah
  2. Penetapan kriteria evaluasi
  3. Identifikasi kemungkinan dan alternatif
  4. Evaluasi alternatif
  5. Penjabaran pemilihan alternatif
  6. Pengawasan dan evaluasi rencana/hasil kebijakan.
Gambar Proses
Dasar Analisis Kebijakan




Proses Dasar Analisis Kebijakan





Proses analisis
kebijakan diatas menggambarkan sebuah bentuk dasar dari proses perencanaan
dan pengambil keputusan yang sering dijumpai dalam konteks perencanaan
wilayah dan kota. Proses dasar yang dilakukan juga dapat dilihat secara
diagramatis pada Gambar di atas.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Data, Fakta dan Isu Kebijakan Aset

Pelaksanakan otonomi daerah sebagai mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan pemberian otonomi daerah
kepada daerah atas dasar desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas,
nyata dan bertanggung jawab. Salah satu syarat yang diperlukan untuk
melaksanakan kewenangan atas dasar desentralisasi adalah tersedianya
sumber-sumber pembiayaan.

Pemberian otonomi luas pada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta
masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas daerah diharapkan mampu
meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi keanekaraganam daerah
dalam sistem Negara Republik Indonesia. Pemerintahan daerah dalam rangka
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan hubungan antar
susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, serta potensi dan
keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan
dan keragaman dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hubungan
keuangan, pelayanan umum dan sumberdaya lainnya dilaksanakan secara
adil dan selaras (Darise, 2006:14).

Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan
urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan
yang cukup pada daerah, dengan mengacu kepada Undang-undang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai mana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Dimana besarnya disesuaikan
dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat
dan daerah. Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintahan
yang diserahkan pada daerah menjadi sumber keuangan daerah.

Perspektif kedepan dari sistem keuangan daerah adalah mewujudkan sistem perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang mencerminkan pembagian
tugas kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antara pemerintah pusat
dan daerah yang transparan, memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat
serta tanggung jawab kapada masyarakat, mengurangi kesenjangan antar
daerah dalam kemampuanya untuk membiayai otonominya dan memberi kepastian
sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah yang bersangkutan.

Pengembangan daerah otonom di Indonesia maka pemerintah daerah perlu menggali potensi
daerah sesuai dengan penerapan otonomi daerah. Daerah otonom berwenang
untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri sesuai dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004. Dalam
mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri daerah memerlukan biaya yang
besar untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah.
Oleh karenanya daerah diberi hak dan wewenang untuk menggali sumber-sumber
pendapatan daerahnya. Hal ini sesuai dengan kententuan pasal 157 Undang-Undang
No 32 Tahun 2004 yang mengatur sumber-sumber pendapatan daerah yang
terdiri atas:
  1. Pendapatan asli daerah (PAD), yaitu hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil
    pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.
  2. Dana perimbangan
  3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah. (Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004
    Tentang Pemerintahan Daerah)
Beberapa pemerintah daerah masih memprioritaskan mencari sumber penghasilan untuk meningkatkan
pendapatan asli daerah, namun kurang mengoptimalkan sumber yang sudah
ada. Tindakan tersebut didapat dengan cara mengoptimalkan pengelolaan
aset milik pemerintah daerah. Lemahnya pengelolaan aset daerah tak hanya
terbengkalainya aset-aset milik pemerintah daerah lebih dari itu cenderung
membebankan anggaran yang ditetapkan dalam APBD.

Perubahan paradigma baru pengelolaan barang milik negara/daerah yang ditandai dengan dikeluarkannya
PP No. 6 /2006 yang merupakan peraturan turunan UU No. 1 /2004 tentang
Perbendaharaan Negara, telah memunculkan optimisme baru best practices
dalam penataan dan pengelolaan aset daerah yang lebih tertib, akuntabel,
dan transparan kedepannya. Pengelolaan aset daerah yang professional
dan modern dengan mengedepankan good governance di satu sisi diharapkan
akan mampu meningkatkan kepercayaan pengelolaan keuangan daerah dari
masyarakat/stake-holder.

Pengelolaan aset daerah dalam pengertian yang dimaksud dalam Pasal 1 Ayat (2) PP
No.6/2006 adalah tidak sekedar administratif semata, tetapi lebih maju
berfikir dalam menangani aset daerah, dengan bagaimana meningkatkan
efisiensi, efektifitas dan menciptakan nilai tambah dalam mengelola
aset. Oleh karena itu, lingkup pengelolaan aset daerah mencakup perencanaan
kebutuhan dan penganggaran; pengadaan; penggunaan; pemanfaatan; pengamanan
dan pemeliharaan; penilaian; penghapusan; pemindahtanganan; penatausahaan;
pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Proses tersebut merupakan siklus
logistik yang lebih terinci yang didasarkan pada pertimbangan perlunya
penyesuaian terhadap siklus perbendaharaan dalam konteks yang lebih
luas (keuangan negara).

Dewasa ini muncul banyak sekali permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan
pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD). Permasalahan-permasalahan tersebut
antara lain yaitu terdapat perubahan dari beberapa peraturan perundang-undangan
di bidang BMD, antara lain Undang-Undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan
Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah,
Permen Keuangan Nomor 120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan BMN, dan
PMK nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan,
Penghapusan, dan Pemindahtanganan BMN. Namun, pada dasarnya terdapat
ciri yang menonjol dari produk-produk hukum tersebut yaitu meletakkan
landasan hukum dalam bidang administrasi keuangan negara dan melakukan
pemisahan secara tegas antara pemegang kewenangan administratif dan
pemegang kewenangan perbendaharaan. Selain itu, sejalan dengan kebijakan
nasional yaitu adanya otonomi daerah serta bergulirnya perubahan struktur
organisasi yang memunculkan penghapusan suatu satuan unit kerja daerah
di satu sisi dan pendirian satuan unit kerja daerah pada sisi yang lain
membawa implikasi adanya mutasi barang milik daerah.

Sebagai tambahan, khusus untuk pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) telah dikeluarkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 17 Tahun 2007 Tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Dimana Permendagri tersebut
dikeluarkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 74 Ayat (3), PP Nomor
6 Tahun 2006 yang berbunyi : “Menteri Dalam Negeri menetapkan kebijakan
teknis dan melakukan pembinaan pengelolaan barang milik daerah sesuai
dengan kebijakan sebagaimana ayat (1) “. Menurut Ketentuan Pasal 2
Permendagri tersebut Pengelolaan BMD merupakan bagian dari pengelolaan
keuangan daerah yang dilaksanakan secara terpisah dari pengelolaan Barang
Milik Negara.

Visi pengelolaan aset negara kedepan adalah menjadi the best state asset management on
the world. Tidak sekedar bersifat teknis administratif semata, melainkan
sudah bergeser ke arah bagaimana berpikir layaknya seorang manajer aset
yang harus mampu merumuskan kebutuhan barang milik daerah secara akurat
dan pasti, serta meningkatkan faedah dan nilai dari aset negara tersebut.Tantangan
untuk mewujudkan visi tersebut tidaklah ringan, perlu kerja keras dari
semua pihak mengingat problematika di seputar pengelolaan aset negara
sekarang ini begitu kompleks. Oleh karena itu, pengelolaan aset daerah
harus ditangani oleh SDM yang profesional dan handal, dan mengerti tata
peraturan perundangan yang mengatur aset daerah.

Jumlah, nilai (value), dan potensi kekayaan/aset daerah yang begitu besar dirasakan
masih belum dapat mewujudkan optimalisasi penerimaan, efisiensi pengeluaran,
dan efektivitas pengelolaan kekayaan/aset negara. Hal ini dapat disebabkan
oleh: 1) keberagaman kekayaan/aset daerah secara jenis dan letak geografis,
2) adanya keragaman kepentingan (interest) yang melekat, 3) adanya pihak
yang secara langsung atau tidak langsung menguasai, 4) inefisiensi alokasi,
5) belum adanya unifikasi regulasi, 6) koordinasi dan pengawasan lemah,
dan 7) yang sangat penting yaitu belum terwujudnya basis data (data
base) dalam suatu sistem informasi modern terintegrasi sehingga tidak
diketahuinya secara pasti dan real-time berapa jumlah, nilai, dan potensi
serta bagaiman pola penggunaan tertinggi dan terbaiknya (highest and
best use). Akumulasi dari hal-hal tersebut melahirkan kompleksitas dan
kerap tumpah tindih dalam pelaksanaan dan penanganan kekayaan daerah
yang pada gilirannya telah dan terus merugikan daerah

Eksistensi kekayaan daerah sangatlah penting dan memiliki kedudukan yang strategis
dalam rangka mendukung perwujudan masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur. Pendataan kekayaan negara secara komprehensif dan akurat di
satu sisi dan pengetahuan tentang nilai terkininya (existing value)
di sisi lain ibarat satu mata uang dengan dua sisi yang merupakan prakondisi
dalam rangka optimalisasi pengelolaan kekayaan daerah. Sampai saat ini,
walaupun relatif telah dilakukan pendataan/inventarisasi, namun masih
sangat terbatas, sehingga memerlukan waktu untuk mewujudkan neraca pemerintah
daerah seperti yang diharapkan. Di beberapa daerah telah mempunyai estimasi
jumlah, nilai, dan potensi kekayaan daerahnya yang tertuang dalam neraca
daerah. Namun elemen-elemen yang tersaji pada neraca-neraca tersebut
masih perlu dipertanyakan apakah telah mencerminkan kondisi faktual
berdasarkan market value.

Berlakunya Undang-undang (UU) No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.
33/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah memberikan sebagian
besar kewenangan untuk mengelola potensi dan sumber daya daerah sepenuhnya
kepada daerah dimana dengan kebijakan tersebut diharapkan tercapai optimalisasi
pembangunan daerah sesuai dengan kebijakan yang dilakukan pada masing-masing
daerah. Peran pemerintah pusat harus tetap ada untuk mensinergikan pemanfaatan
dan pengelolaan kekayaan negara demi kepentingan nasional sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945 bahwa kekayaan negara/nasional
harus dipergunakan setinggi-tingginya untuk kemakmuran masyarakat dan
bangsa Indonesia. Sehingga pemerintah harus mempunyai blue print strategi
yang jelas dan komprehensif dalam melakukan pengelolaan kekayaan negara
secara langsung dan tidak langsung melalui pembinaan


Pengelolaan kekayaan daerah merupakan suatu metode/pendekatan komprehensif yang
diperlukan dalam rangka alokasi sumber dana yang tebatas guna optimalisasi
pemanfaatannya bagi masyarakat secara efektif dan efisien. Dalam mengelola
kekayaan daerah, pemerintah telah menerbitkan banyak regulasi terkait,
namun keberadaan peraturan-peraturan tersebut masih tersebat di beberapa
produk hukum yang bervariasi dan relatif belum dapat menjamin pelaksanaan
pengelolaan kekayaan daerah secara komprehensif dan integratif -

Belum lagi regulasi yang telah ada tersebut lahir pada era yang jelas berbeda dengan
semangat dan paradigma pada hari ini. Urgensi peraturan yang komprehensif
tentang pengelolaan kekayaan negara setingkat undang-undang berikut
peraturan pelaksanaannya dengan paradigma baru, spirit reformasi, serta
menjawab tuntutan stakeholders sudah sangat dibutuhkan demi terciptanya
pola penanganan kekayaan daerah secara lebih terarah dan memberi nilai
tambah.

Kekayaan negara dalam arti luas dan fleksibel dapat mencakup semua barang serta kekayaan
alam, baik bergerak/tidak bergerak ataupun berwujud/tidak berwujud yang
dimiliki atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan
BUMN/BUMD yang terbatas pada nilai jumlah penyertaan modal negara. Sedangkan
dalam arti yang lebih sempit, kekayaan negara dapat dipersepsikan sebagai
segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang yang dimiliki oleh negara
baik di tingkat pusat maupun daerah dan BUMN/BUMD

Sementara itu, dalam arti yang lebih sempit lagi dimana mengacu pada pengertian yang
dirumuskan dalam pasal 1 angka (10) dan (11) UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan
Negara, kekayaan negara dibatasi sebagai Barang Milik Negara/Daerah.
Barang Milik Negara/ Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh
atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah atau berasal
dari perolehan lainnya yang sah. Dalam hal ini terbatas pada barang
yang bersifat berwujud (tangible) yang meliputi barang persediaan dan
aset tetap (fixed assets). Mengingat tujuan pengelolaan kekayaan negara
untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia maka untuk keperluan tulisan ini tidak dibedakan
istilah antara kekayaan pemerintah pusat, daerah, dan BUMN/BUMD. Kesemuanya
dibingkai ke dalam satu terminologi yaitu kekayaan negara. Satu dan
lain hal mengingat bahwa peran pemerintah pusat harus tetap ada untuk
mensinergikan pemanfaatan dan pengelolaan kekayaan negara demi kepentingan
nasional.

Walaupun terkadang dipersepsikan bahwa kekayaan negara merupakan public goods maka jangan
sampai istilah public menyebabkan pengelolaannya menjadi tidak profesional.
Dengan kata lain, public goods harus dikelola sebagaimana pengelolaan
private goods dengan kaidah entrepreneurship. Dalam era perubahan yang
terjadi begitu cepat maka kinerja sektor publik/pemerintah semakin menjadi
sorotan masyarakat yang setiap saat terpublikasi di media massa. Sektor
publik rentan terhadap pemberitaan yang tidak berimbang, dengan kata
lain bahwa terkadang pers relatif lebih tertarik memberitakan masalah-masalah
atau kinerja yang jelek dari pemerintah ketimbang sebaliknya. Sehingga
ada yang secara ekstrim mengatakan: “good news is no news in the public
sector”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS