REVIEW BUKU EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK, KARANGAN SAMODRA WIBAWA, HAL 1-40.


Dalam buku ini pemerintah dianggap sebagai suatu organisasi yang menyerap semua tuntutan dan kepentingan para pelaku politik, menghimpun sumber daya dari para pelaku ini dan memenuhi tuntutan serta kepentingan masyarakat. Karena tidak semua tuntutan dapat dipenuhi dalam waktu yang bersamaan, terutama disebabkan oleh jumlah dan kualitas sumber daya yang lebih sedikit dibanding tuntutan tersebut, maka pemerintah selalu melakukan penyaringan dan pemilihan tuntutan atau kepentingan. Ada tuntutan yang dapat dipenuhi segera, tapi tidak sedikit yang harus ditunda dan disingkirkan. Hasil penyaringan dan pemilihan inilah yang dirumuskan sebagai kebijakan publik.
Suatu kebijakan pastinya mempunyai suatu rangkaian proses. Mulai dari proses formulasi, yaitu merumuskan kebijakan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Kemudian implementasi kebijakan, yaitu proses pelaksanaan dari kebijakan yang telah di buat, agar tujuan dari kebijakan tersebut tercapai. Proses yang terakhir yaitu proses evaluasi, tujuannya untuk meninjau kembali apakah kebijakan sudah berjalan sebagaimana mestinya, dan apakah sudah mencapai tujuan kebijakan atau belum.
Kebijakan publik merupakan sebuah aksi yang ditimbulkan atas keluhan dan permasalahan yang dilemparkan oleh masyarakat. Kebijakan publik juga menimbulkan suatu konsekuensi atau dampak yang merupakan perubahan kondisi fisik maupun sosial akibat output dari kebijakan. Tak jarang juga kebijakan publik dibuat berdasarkan tujuan untuk memenuhi tuntutan aktor kebijakan. Hanya saja, karena alasan politik, tujuan kebijakan sering dirumuskan secara kabur dan tidak transparansi. Suatu kebijakan sering dibuat untuk mencapai maksud dan kepentingan yang berbeda dengan apa yang dirumuskan.
Seringkali tindakan kebijakan yang telah dirancang sedemikian rupa tidak dapat mewujudkan semua kehendak kebijakan. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh lemahnya daya antisipasi para pembuat kebijakan maupun pendesain program dan proyek, terganggunya implementasi oleh kondisi lingkungan yang tidak teramalkan sebelumnya. Oleh karena itu, untuk kepentingan inilah evaluasi kebijakan dilakukan oleh pemerintah.
Kegiatan evaluasi ini dalam beberapa hal mirip dengan pengawasan dan kontrol. Pelaku utamanya jelas pemerintah, akan tetapi sering pelaku yang lain seperti lembaga penelitian yang independen, partai politik, dan tokoh-tokoh masyarakat.
 Evaluasi tersebut tidak hanya terjadi pada saat akhir saja, tetapi pada setiap proses, baik formulasi maupun implementasi. Evaluasi kebijakan merupakan aktivitas ilmiah yang perlu dilakukan oleh para pengambil kebijakan di dalam tubuh birokrasi pemerintah maupun organisasi sosial dan politik. Di tangan aktor kebijakan ini, evaluasi memiliki fungsi yang sangat penting, yaitu memberikan masukan bagi penyempurnaan kebijakan. Dengan melakukan evaluasi, pemerintah dapat meningkatkan efektivitas program-program mereka sehingga meningkat pula kepuasan publik terhadap kebijakan pemerintah. Kemudian, hasil evaluasi tersebut dapat digunakan untuk memperkuat argumentasi agar pemerintah melakukan perbaikan terhadap kebijakannya sehingga asas keadilan, kemerataan, dan demokrasi lebih diperhatikan oleh pemerintah.
Evaluasi ada dua, yang pertama evaluasi implementasi, dan yang kedua yaitu evaluasi dampak kebijakan. Ada tiga buah model evaluasi implementasi kebijakan. Pertama, model Meter dan Horn yang menjelaskan hubungan antar aktor yang mempengaruhi hasil dan kinerja suatu kebijakan, yaitu; (1) kompetensi dan jumlah staf, (2) rentang dan derajat pengendalian, (3) dukungan politik yang dimiliki, (4) kekuatan organisasi, (5) derajat keterbukaan dan kebebasan komunikasi, (6) keterkaitan dengan pembuat kebijakan. .
Kedua, model Grindle yang menyatakan keefektifan implementasi kebijakan tergantung dari isi kebijakan dan konteks implementasinya. Menurut Grindle, isi kebijakan mencakup; (1) kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan, (2) jenis manfaat yang akan dihasilkan, (3) derajat perubahan yang diinginkan, (4) kedudukan pembuat kebijakan, (5) pelaksana program, (6) sumberdaya yang digunakan.
Ketiga, model Sabatier dan Mazmian, yang menjelaskan bahwa implementasi kebijakan merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu; (1) karakteristik masalah, (2) struktur manajemen program, (3) faktor-faktor diluar peraturan. Model ini menekankan pada perhatian pada dua hal mendasar, yaitu kebijakan dan lingkungan kebijakan. Kelemahannya yaitu, Sabatier dan mazmanian terlalu menganggap suatu implementasi akan efektif apabila birokrasi pelaksanaannya mematuhi peraturan yang telah dibuat.
Dengan memahami model-model tersebut, para evaluator dapat lebih cermat melakukan evaluasi, sehingga banyak persoalan dapat dianalisis secara komprehensif dan tidak parsial, dan serta dapat memperluas hasil pengamatan evaluator.
Selanjutnya yaitu evaluasi dampak kebijakan, yaitu evaluasi yang memberikan perhatian yang lebih besar kepada output dan dampak kebijakan dibandingkan kepada proses pelaksanaannya. Dalam buku ini dijelaskan, ada dampak yang diharapkan dan dampak yang tidak diharapkan. Dampak yang diharapkan maksudnya adalah ketika kebijakan dibuat, pemerintah telah menentukan atau memetakan dampak apa saja yang akan terjadi. Lebih dari itu, pada akhir implementasi kebijakan muncul juga dampak-dampak yang tidak terduga.
Dalam hal ini yang dievaluasi yaitu mulai dari peramalan kebijakan (forecasting). Contohnya saja kita mengkaji evaluasi dampak kebijakan pada kebijakan pembuatan Terminal Regional Bingkuang Kota Padang. Dalam implementasinya, kebijakan ini tidak berjalan seperti tujuan yang telah ditetapkan. Kevakuman Terminal Regional Bingkuang (TRB) di Aia Pacah, By Pass, Kota Padang selama 10 tahun yang dibangun tahun 1996 senilai Rp 15 miliar tersebut menuai kontroversi baik dari pemerintah maupun dari elemen masyarakat seperti pedagang, supir angkutan umum, dan lainnya.Hal ini menunjukkan bahwa para pembuat kebijakan tidak mampu meramalkan dampak dari kebijakan pembangunan terminal tersebut, yang selain telah banyak membuang dana secara percuma, juga mengakibatkan semrawutnya daerah di pusat Kota Padang karena tidak adanya terminal yang berfungsi secara aktif dan maksimal.
Selanjutnya analisis evaluasi dilanjutkan dengan karakteristik Analisis Dampak Sosial (ADS). Seringkali suatu ADS membawa konsekuensi pada diubahnya kebijakan. Seperti kasus pembangunan TRB Aia Pacah, dimana pemerintah mengharapkan dengan membangun terminal akan lebih memperluas pemerataan penduduk dan kota ke daerah timur. Setelah dilakukan ADS mungkin memberikan hasil negatif seperti terminal tersebut tidak akan efektif digunakan mengingat masih kurangnya infrastruktur dan langkanya akses menuju kesana, namun pemerintah nekat dan tetap membangun terminal.
Selanjutnya yaitu langkah-langkah ADS. Langkah-langkah ini bertujuan agar pemerintah dapat memberikan fasilitas dan pelayanan tambahan agar kebijakan lebih sempurna. Misalnya saja, untuk melengkapi program pembangunan tersebut perlu dibangun infrastruktur penunjang dan menata ulang kembali terminal dengan melibatkan seluruh aspek seperti dinas transportasi dan tata letak kota, supir-supir angkot, masyarakat dan pedagang.
Terakhir yaitu dimensi-dimensi dampak. Dalam hal ini evaluator perlu memperhatikan beberapa dimensi, yaitu waktu, selisih antara dampak aktual dan yang diharapkan, tingkat agregasi dampak, dan jenis dampak. Selain itu evaluator juga perlu mencermati tiga persoalan lain seperti wilayah program, apakah program berlingkup nasional, propinsi, kota, kecamatan, atau desa. Kedua, ukuran program, yaitu berapa jumlah individu yang dilayani untuk setiap satuan wilayah program. Ketiga yaitu kebaruan program, apakah dampak yang diharapkan oleh program tersebut dianggap baru.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Analisis Teknik Pengambilan Keputusan (Studi Kasus: Pengambilan Keputusan yang Dilakukan PWI dalam Penggolongan Wartawan Infotainment ke Kegiatan Jurnalistik)

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Peristiwa reformasi 1998, yaitu massa ketika suara pers dibungkam, tampaknya memiliki peran yang cukup besar dalam memberikan kebebasan pers bagi para insan jurnalistik tanpa dikekang oleh pemerintah. Apalagi sejak dikeluarkannya peraturan tentang pers, yaitu UU no. 40 yang menyebabkan semakin menjamurnya media cetak maupun elektronik.
Seiring dengan perkembangan tersebut, sejumlah media berlomba-lomba untuk mencari pasar tersendiri bagi berita atau informasi yang akan disampaikan. Inovasi-inovasipun harus dicari oleh masing-masing media agar mereka tidak kalah bersaing dengan media massa yang lain. Salah satu jenis pemberitaan yang paling berkembang di pasca reformasi adalah infotainment, yang menggabungkan informasi dengan entertainment. Penyampaian beritanya lebih fleksibel dan tidak kaku, serta ada unsur-unsur menghibur di dalamnya.
Kebebasan pers, sebagai hadiah dari pasca reformasi bagi insan jurnalistik, seringkali diartikan lain oleh para wartawan infotainment. Puncaknya pada kasus perseteruan Luna Maya di dunia maya dengan pekerja infotaimen yang mengakibatkan ia dituntut dan dijerat dengan pasal UU ITE (Informasi dan Transasksi Elektronik), tentang pencemaran nama baik. Sejak saat itu, status pekerja infotainmen sebagai jurnalis mulai dipertanyakan oleh berbagai kalangan, sebab dinilai telah melakukan pelanggaran terhadap etika profesi jurnalistik.
Permasalahan tersebut kemudian memunculkan pro dan kontra mengenai pengkategorian wartawan infotainment sebagai salah satu kegiatan jurnalistik. Dalam hal ini PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) mewakili kelompok yang pro. Sementara kelompok kontra yang diwakili oleh Aliansi Junarlistik Indonesia (AJI) menolak identitas keawartawanan pekerja infotaiment.
Keputusan PWI (yang notabene sebuah wadah pers terbesar dan tertua di Indonesia serta mengayomi seluruh media-media pers) memasukkan wartawan infotainment kedalam organisasinya jelas-jelas membuat beberapa pihak wartawan, masyarakat pemerhati media, termasuk pemerintah merasa kecewa. Bahkan PWI memiliki Divisi Infotainment dalam kepengurusannya. Padahal, Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sepakat infotainment bukanlah berita. Produk infotainment tak bisa dimasukkan sebagai karya jurnalistik.
Di tengah kondisi yang penuh dengan kontra dari berbagai pihak tersebut, kenapa PWI tetap bersikeras menegakkan keputusan yang diambilnya? Faktor apa sajakah yang mempengaruhi PWI untuk tetap memasukkan wartawan infotainment ke dalam organisasinya? Bagaimanakah upaya pemerintah untuk mengendalikan kebebasan pers di Indonesia? Di makalah ini, saya akan mencoba menganalisis kasus tersebut, melalui kajian teori pengambilan keputusan.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini berfokus pada pengambilan keputusan yang dilakukan oleh PWI yang memasukkan wartawan infotainment dalam naungannya. Fokus permasalahannya yaitu:
1.      Bagaimanakah upaya pemerintah untuk menegakkan kebebasan pers yang bertanggung jawab?
2.      Bagaimanakah posisi wartawan infotainment dewasa ini?
3.      Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan yang diambil oleh PWI?

1.3 Tujuan Makalah
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa tujuan dari makalah ini yaitu:
1.      Untuk mengetahui upaya pemerintah untuk menegakkan kebebasan pers yang bertanggung jawab.
2.      Untuk mengetahui posisi wartawan infotainment pada saat ini.
3.      Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan yang diambil oleh PWI.

1.4 Manfaat Makalah
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis sebagai berikut :
1.      Memberikan informasi dan menambah wawasan pemikiran mengenai upaya pemerintah untuk menegakkan kebebasan pers yang bertanggung jawab.
2.      Memberikan informasi dan menambah wawasan pemikiran mengenai posisi wartawan infotainment pada saat ini.
3.      Memberikan informasi mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan yang diambil oleh PWI
4.      Sebagai masukan bagi pemerintah dalam menegakkan kebebasan pers yang bertanggung jawab.

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Studi Kasus
Jurnalistik yaitu aktivitas yang berkenaan dengan catatan atau suatu laporan kejadian setiap harinya. Jurnalis bebas berpendapat, mengeluarkan pikiran baik secara lisan maupun tulisan. Demi menegakkan kebebasan pers yang bertanggungjawab, pemerintah memberikan wewenang pada PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dengan menetapkan Kode Etik Jurnalistik yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh wartawan Indonesia.[1]
Kebebasan yang ditonjolkan oleh wartawan gosip sendiri merupakan kebebasan yang tidak bertanggungjawab dengan melanggar kode etik yang telah ditetapkan seperti cara mengejar narasumber, etika wawancara, etika mengambil gambar, etika menghargai hak-hak privasi narasumber, dan menerima amplop, misalnya. Dan mereka tetap mengartikannya sebagai kegiatan jurnalistik.
Seperti yang dijelaskan di bab latar belakang, permasalahan ini memunculkan dua kubu, yaitu kubu pro dan kontra. Kelompok yang pro, yang diwakili oleh PWI menegaskan bahwa mereka pekerja infotaimen adalah sah disebut sebagai wartawan dengan alasan kegiatan infotaimen menunjukkan aktifitas jurnalistik. Seperti membawa kamera, tape recording dan notes.[2] Mereka juga melakukan aktifitas liputan dan memburu subyek dan obyek sebagai berita. Meskipun secara substansial sangat cocok dengan peralatan jurnalistik, namun pekerjaan mereka lebih dekat pada gosip atau ghibah. Seperti mengejar dan memproduksi gosip selebritas, membuka aib keluarga orang seperti perceraian dan perselingkuhan para artis dan semacam lainnya.
Sementara kelompok kontra yang diwakili oleh Aliansi Junarlistik Indonesia (AJI) menolak identitas kewartawanan pekerja infotainmen dengan alasan bahwa jurnalisme merupakan sebuah tujuan moralitas kemanusiaan.[3] Dengan demikian, wartawan dalam konteks jurnalisme merupakan pekerjaan mulia yang memberikan nilai edukatif dan pencerahan bagi masyarakat luas. Dan aktifitas yang mengatasnamakan tugas jurnalistik tanpa menimbang etika dan tujuan moral jurnalisme, bukanlah termasuk dalam kelompok wartawan, tetapi hanya merupakan pekerja kreatif.
Mungkin alasan yang dipaparkan oleh PWI ada benarnya, bahwa wartawan jurnalistik menggunakan alat-alat jurnalistik seperti camera dan tape recorder. Tapi soal Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh PWI sendiri, jelas-jelas mereka melanggarnya.
UU Pers 40/1999 ayat 3 juga telah menyebutkan bahwa Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.[4] Maksudnya yaitu sebagai oreintasi kepentingan umum yang memiliki nilai-nilai edukatif dan pencerahan pada masyarakat bangsa. Bukan sekedar memberikan hiburan yang menggerus moral anak bangsa seperti produk gosip.
Koreksi selanjutnya adalah fakta perbagai pelanggaran kode etik wartawan (KEWI) yang dilakukan para pekerja infotainment tanpa malu-malu seperti melanggar hak privasi, sopan santun, praktek menekan kaidah off the record dan lain sebaginya. Tindakkan yang merupakan sebuah sikap pengkhianatan terhadap kemapanan tujuan jurnalisme murni yang sesuai dengan kode etik.
Menurut MUI, format penyajian pekerja infotainment juga tidak edukatif dan tidak bermanfaat bagi kepentingan umum, untuk itulah akhirnya MUI mengeluarkan fatwa haram untuk tidak menyaksikan acara infotaiment.[5] Karena itu, perlu dilakukan penertiban terhadap format materi infotainment yang secara normatif sebenarnya tidak layak dikonsumsi. Ketidaklayakan itu dikarenakan infotainment pada umumnya hanya berisi gosip dan pengeksposan terhadap kehidupan pribadi yang tak jarang berujung pada fitnah.
Menanggapi hal tersebut, PWI justru menyambut baik fatwa MUI yang mengharamkan berita bohong, isapan jempol dan bersifat membuka aib orang lain untuk disiarkan di media massa, baik cetak elektronik televisi dan radio, serta portal berita Internet. Menurut mereka, fatwa itu sejalan dengan prinsip PWI bahwa hanya infotainmen yang tunduk kepada Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan taat Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang dapat diakui sebagai karya jurnalistik. (Antara, 28/7/2010). Namun melihat kenyataan yang ada saat sekarang, wartawan infotainment tampaknya selalu bergelut dengan kemelencengan kode etik.

2.2 Kajian Teoritik Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh PWI dengan memasukkan wartawan infotainment ke dalam ranahnya tak dipungkiri didasari oleh beberapa faktor, baik itu faktor personal maupun faktor lingkungan.
Pertama yaitu faktor personal. Dalam arti kata dalam kasus ini yaitu, ada suatu faktor kepentingan seseorang yang memiliki tampuk kekuasaan dalam PWI. Adalah Ilham Bintang, selaku sekretaris kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang sekaligus pemilik sebuah Production House Infotainment, Cek dan Ricek. Wajar saja PWI memasukkan wartawan infotainment ke dalam ranah organisasinya jika salah seorang yang memiliki kuasa penuh dalam PWI ikut andil dalam pergelutan dunia infotainment tersebut.
Faktor kedua yaitu lingkungan. Indonesia merupakan negara dari sebuah bangsa yang menyukai hiburan dan hal-hal yang berbau senang-senang. Infotainment memiliki hal tersebut. Masyarakat Indonesia juga merupakan konsumer yang baik dalam hal berita gosip. Nah, mereka-mereka yang jeli melihat peluang besar itulah yang akan membiarkan infotainment terus berkembang, dan membiarkannya bernaung ke dalam organisasi pers independent terbesar sekaligus yang membuat Kode Etik Jurnalistik, yaitu PWI, agar aman. Biar berkhianat asal pemasukan mengalir deras. Sungguh ironi jika kita melihat nfotainment dalam media massa sudah seperti halnya game yang dimainkan industri hiburan berupa image yang sengaja dikembangkan dalam mengeruk untung yang besar. Bisnis Industri hiburan menjadikan kehidupan sehari-hari selebriti adalah bagian dari komoditas pasar.
Terry menyebutkan ada lima dasar pengambilan keputusan yang berlaku secara umum, yaitu insting, pengalaman, fakta, wewenang, dan rasional.[6] Dalam kasus ini, pengambilan keputusan PWI didasarkan pada faktor wewenang, dimana keputusan dilakukan oleh orang yang lebih tinggi kedudukannya. Jika Ilham Bintang, selaku sekretaris kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mengambil suatu keputusan, dapat dipastikan keputusan tersebut akan dipertimbangkan oleh jajaran staf beserta bawahannya, baik secara sukarela maupun secara terpaksa.
Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang ini menurut Terry memiliki beberapa kelemahan seperti dapat menimbulkan sifat rutinitas. Seperti halnya sekarang, tak terhitung banyaknya tayangan-tayangan infotainment yang disajikan di layar kaca, seakan-akan infotainment sudah menjadi bagian dari keidupan masyarakat. Mewabahnya infotainment di Indonesia ini disebabkan karena masuknya mereka ke ranah PWI. Dengan masuknya mereka ke PWI, tidak ada satupun yang akan bisa menghentikan mereka, secara PWI adalah organisasi pers terbesar di Indonesia.
Kelemahan yang lainnya yaitu sering melewatkan permasalahan yang harusnya dipecahkan sehingga menimbulkan kekaburan. Tidak jelas sekarang, apakah wartawan infotainment tersebut termasuk sebuah pekerjaan jurnalistik atau tidak. Mereka dianggap jurnalis karena berdiri di bawah payung hukum PWI, namun kegiatan yang mereka lakukan diluar dari Kode Etik Jurnalistik, yang notabene dibuat oleh PWI itu sendiri.
Pengambilan keputusan pada kasus ini pun diambil dalam kondisi yang beresiko, karena pengambilan keputusan dimana berlangsung hal-hal:
1.      Diasumsikan bahwa pengambil keputusan mengetahui peluang yang akan terjadi terhadap berbagai tindakan dan hasil. Ilham Bintang, sebagai salah satu pengambil keputusan sudah memperkirakan bahwa perusahaan Production House Infotainment yang dia miliki tidak akan digugat jika ada pemberitaan yang melanggar kode etik karena PWI telah mengklaim wartawan infotainment masuk kedalam kegiatan jurnalistik.
2.      Lingkungan dalam hal tidak pasti. Kekuasaan si pengambil keputusan di organisasi pers terbesar membuat ia tetap bisa menjalankan keputusannya tersebut. Ditambah lagi dengan banyaknya permasalahan di Indonesia yang membuat masalah kebebasan pers yang bertanggungjawab tidak begitu diperhitungkan oleh pemerintah.


BAB 3
KESIMPULAN

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers sudah seharusnya menghormati hak asasi setiap orang. Ada terdapat salah satu pasal yang menarik dalam undang-undang pers yang sering ditabrak oleh para pekerja infotainment. Pasal 5 ayat (1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.[7] Pasal ini seharusnya menjadi dasar pijakan bagi semua pekerja media, kususnya pekerja infotainment agar dalam melakukan kegiatan jurnalistik, bobot informasi yang disampaikan tidak bertentangan dengan norma-norma agama dan nilai-nilai sosial, sehingga  memiliki manfaat positif bagi  khalayak.
Sebagai realitas jaman, profesi wartawan hiburan atau pekerja infotainment yang memiliki wajah dan realitas dilematik tersebut (keraguan apakah pekerja infotainment adalah wartawan atau tidak), pada dasarnya harus segera dibenahi. Pengakuan eksistensi mereka sebagai wartawan oleh PWI, misalnya, harus memiliki konsekuensi moral pada PWI sendiri. PWI juga hendaknya mengambil keputusan atas dasar prinsip organisasi, pada realita dan dasar-dasar yang jelas, bukan pada kepentingan-kepentingan para pemegang kekuasaan semata.
Konsekuensi moral tersebut, pada langkah berikutnya haruslah dimaterialkan dalam bentuk tanggung jawab besar dengan memberikan tindakkan pelurusan dan pembinaan terhadap pekerja infotainment secara konkret dan progersif. Sikap ini adalah konsekuensi logis ketika PWI mengakomodasi dan mengakui pekerja infotainment sebagai wartawan. Sehingga di kemudian hari, pekerja infotainment tersebut bisa melakukan pekerjaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip kerja jurnalisme yang diikat oleh kode etiknya. Dengan demikian, selanjutnya barangkali, eksistensi pekerja infotainment tak perlu lagi diperdebatkan.





DAFTAR PUSTAKA

Refleksi Hari Pers: Wartawan Bukan Wartawan, Kompas, Edisi Minggu, 17 April 2011
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
lodarfredek.blogspot.com, judul: Patutkah Pekerja Infotainment Disebut Jurnalis? Diakses 17 April 2011
Harbani, Pasolong. 2008. Kepemimpinan Birokrasi. Bandung: Alfabeta



[1] Pembukaan kode etik jurnalistik, paragraf 3
[2] 3 Refleksi Hari Pers: Wartawan Bukan Wartawan, Kompas, Minggu, 17 April 2011

[4] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
[5] lodarfredek.blogspot.com, judul postingan: Patutkah Pekerja Infotainment Disebut Jurnalis?
[6] Kepemimpinan Birokrasi. Harbani, Pasolong. 2008. Bandung: Alfabeta
[7] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAN RETRIBUSI

 BAB I
Pendahuluan
Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[1]
Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber penerimaan daerah sendiri perlu terus ditingkatkan agar dapat menanggung sebagian beban belanja yang diperlukan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan pembangunan yang setiap tahun meningkat sehingga kemandirian otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab dapat dilaksanakan. Dan sebagaimana diatur dalam pasal 6 UU No 33 Tahun 2004, pajak dan retribusi daerah merupakan sumber-sumber PAD.
Undang-undang pajak daerah dan retribusi daerah telah diganti sebanyak dua kali. Yang pertama pada tahun 2000 dan yang ke dua pada tahun 2009. Terwujudnya pelaksanaan otonomi daerah, terjadi melalui proses penyerahan sejumlah kekuasaan/ kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah di mana implementasi kebijakan desentralisasi memerlukan banyak faktor pendukung. Salah satu faktor pendukung yang secara signifikan menentukan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah kemampuan daerah untuk membiayai pelaksanaan kekuasaan/kewenangan yang dimilikinya.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan langkah yang sangat strategis untuk lebih memantapkan kebijakan desentralisasi fiskal, khususnya dalam rangka membangun hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang lebih ideal.
Sebagai salah satu bagian dari continuous improvement, maka Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang baru ini setidaknya memperbaiki 3 (tiga) hal pokok, yaitu penyempurnaan sistem pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, pemberian kewenangan yang lebih besar kepada Daerah di bidang perpajakan daerah (Local faxing empowerment), serta peningkatan efektifitas pengawasan.
Berdasarkan keterangan di atas, untuk itu penulis akan menjelaskan mengenai implementasi UU N0 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah, dan akan di fokuskan pada pajak restoran yang di berlakukan 10% di Kota Padang.

BAB II
Pembahasan
Restoran adalah tempat menyantap makanan dan minuman yang disediakan dengan dipungut bayaran, tidak termasuk usaha jasa boga atau katering[2]. Subyek pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran kepada restoran.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pajak adalah dengan memberlakukan pajak restoran sebesar 10 persen. Pemberlakuan pajak terhadap restoran diterapkan karena dinilai sudah masuk dalam objek pajak menurut Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Berdasarkan Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 Pasal 1 Ayat 23 : “Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering”. Namun, undang-undang ini perlu diperjelas terlebih dahulu apakah memang undang-undang yang akan dijadikan acuan ini sudah sesuai dan tepat, jangan sampai penerapan pajak justru mengakibatkan kesengsaraan bagi masyarakat, hal ini bertentangan dengan pasal 1 ayat 10 yang ada dalam undang-undang tersebut:
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 
Kemudian, dari pasal 40 ayat 1 yang menjelaskan bahwa pajak restoran adalah sebesar 10%. Namun, disini tidak disebutkan nilai (omset atau keuntungan) minimal yang didapat oleh restoran sehingga dapat dikategorikan sebagai wajib pajak. Hal ini jelas saja membuat para pengusaha restoran di Kota Padang yang baru berkembang menjadi cemas.
Di UU ini juga tidak dirinci secara jelas bagaimana formulasi perhitungan pajak untuk restoran sehingga ada kemungkinan perumusan formula yang menguntungkan beberapa pihak saja atau langsung mengambil batas maksimal. Jadi, Proses penyetoran pajak hendaknya harus diperjelas dalam peraturan pemerintahan daerah, agar tidak terjadi penyelewengan dalam pelaksanaan. Restoran yang akan menjadi wajib pajak haruslah restoran yang memang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, jangan sampai undang-undang ini menjadi alat untuk memeras rakyat kecil.
Kita juga harus mengacu pada syarat pemungutan pajak, agar tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan dalam pemungutannya.[3] Syarat-syaratnya antara lain, pertama, syarat keadilan. Yaitu pemungutan pajak harus sesuai dengan tujuan hukum, yaitu mencapai keadilan undang-undang dan pelaksanaan pemungutannya harus adil. Yaitu seperti mengenakan pajak secara umum dan merata serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pemungutannya yaitu dengan memberi hak bagi wajib untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran, dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak. Dalam implementasinya, pemerintah tidak menetapkan batasan penghasilan minimalnya, sehingga pengusaha restoran kecil pun menjadi cemas.
Kedua yaitu syarat yuridis, yaitu didasarkan pada undang-undang. Undang-undang disini yaitu tentu saja UU No 28 Tahun 2009, namun, menurut penulis, masih perlu dilakukan revisi ulang agar pajak dan retribusi dilaksanakan tepat sasaran. Pemerintah juga harus memastikan bahwa pengusaha warung tegal yang sudah memiliki omzet dan keuntugnan yang besar yang menjadi wajib pajak, bukan mereka yang masih tertatih dalam mengais rejeki melalui warung yang mereka bangun. Kelompok pengusaha kecil ini telah terbiasa dengan tata cara yang sederhana, pemerintah daerah bertanggung jawab besar untuk memberikan pelajaran tentang apa yang harus mereka lakukan, hak serta kewajiban yang mereka miliki.
Ketiga yaitu syarat ekonomis, dimana pemungutan pajak tidak sampai mengganggu perekonomian khususnya pada kegiatan perdagangan sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat. Untuk pengusaha restoran sendiri, penerapan undang-undang ini akan berakibat besar bagi usahanya. Para pengusaha yang mayoritas berasal dari masyarakat menegah ke bawah dan pendidikan minim ini harus bersusah payah mencoba mengerti mengenai peraturan perpajakan yang berkaitan dengan usaha mereka, baik acuan dasar, cara perhitungan dan penyetorannya.
Keempat yaitu syarat finansial, dimana pemungutan pajak harus efisien dan didasarkan pada fungsi budgeter, artinya biaya pemungutan pajak harus ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutan.
Kelima, sistem pemungutan pajak harus sederhana, karena akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan.



BAB III
KESIMPULAN

Peningkatan pendapatan daerah melalui pajak untuk restoran adalah langkah yang memiliki dua sisi. Sisi positifnya adalah, pemberlakuan ini akan membantu pemerintah untuk mengembangan daerah serta masyarakat jika peraturan yang melandasi serta pelaksanaan dilapangan sesuai dengan yang ditetapkan.
Namun, jangan dilupakan bahwa jika sejak awal peraturan yang buat sebagai acuan serta pelaksanaan dilapangan sudah tidak tepat, adil dan tegas maka akibat negatif akan semakin besar terasa bagi masyarakat, kalangan menengah kebawah pada khususnya. Penulis menganggap peran pemerintah dan masyarakat untuk saling membantu, menjaga dan mengawasi adalah faktor utama untuk membuat pelaksannan undang-undang ini memberikan hasil yang baik bagi masyarakat, bangsa dan negara.


[1] Nurlan Darise, Pengelolaan Keuangan Daerah, hal 43
[2] Nurlan Darise, Pengelolaan Keuangan Daerah, hal 62
[3] Nurlan Darise, Pengelolaan Keuangan Daerah, hal 45

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS