Bab I
Pendahuluan
A. Latar
Belakang
Istilah etika sebetulnya tidak terlalu akrab dengan islam
sebagai sebuah agama dan ajaran, islam lebih familer dengan istilah akhlak,
tetapi kalau dilacak dari pengertian harfiahnya kedua istilah tersebut
mempunyai arti dan makna yang mirip dan bahkan sama persis, hanya saja menurut
penerawangan penulis kedua istilah tersebut berbeda dari segi sumbernya saja,
istilah etika terlahir dari “rahim” fikiran yunani sedangkan akhlak
adalah bahasa al-qur’an. Salah satu yang menarik dalam kajian makalah ini
adalah bagaimana mengupas etika dalam konteks keislaman yang berbau
tradisional, penulis mengistilahkan “masih perawan” dari pemikiran yunani
tentang etika sebagai cabang filsafat, dan beberapa tokoh islam yang rajin
mengmpulkan dalil-dalil hadits dan nasehat-nasehat para sahabat tentang etika.
Islam merupakan salah satu agama samawi yang meletakan nilai-nilai
kemanusia atau hubungan personal, interpersonal dan masyarakat secara agung dan
luhur, tidak ada perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian yang
mengikat semua aspek manusia. Karena Islam yang berakar pada kata “salima”
dapat diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia dan itu
sifatnya fitrah. Kedamaian akan hadir, jika manuia itu sendiri menggunakan
dorongan diri (drive) kearah bagaimana memanusiakan manusia dan atau
memposisikan dirinya sebagai makhluk ciptaaan Tuhan yang bukan saja unik, tapi
juga sempurna, namun jika sebaliknya manusia mengikuti nafsu dan tidak berjalan
seiring fitrah, maka janji Tuhan adzab dan kehinaan akan datang.
Fitrah kemanusiaan yang merupakan pemberian Tuhan (Given) memang
tidak dapat ditawar, dia hadir sering tiupan ruh dalam janin manusia dan begitu
manusia lahir dalam bentuk “manusia” punya mata, telinga, tangan, kaki
dan anggota tubuh lainnya sangat tergantung pada wilayah, tempat, lingkungan
dimana manusia itu dilahirkan. Anak yang dilahirkan dalam keluarga dan
lingkungan muslim sudah barang tentu secara akidah akan mempunyai persepsi
ketuhanan (iman) yang sama, begitu pun nasrani dan lain sebagainya. Inilah yang
sering dikatakan sebagai sudut lahirnya keberagamanaan seorang manusia yang
akan berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam wacana studi agama sering
dikatakan bahwa fenomena keberagamaan manusia tidak hanya dapat dilihat dari
berbagai sudut pandang normativitas melainkan juga dilihat dari historisitas.
Keberagamaan dalam Islam tentu saja harus dipandang secara konfrehenship
dan seyogyanya harus diposisikan sbagai sebuah persfektif tanpa menapikan yang
lain. Keberagamaan yang berbeda (defernsial) antara satu dengan yang
lainnya merupakan salah satu nilai luhur kemanusiaan itu sendiri. Karena Islam
itu lahir dengan pondasi keimanan, syariat, muamalat dan ihsan, Keimanan
adalah inti pemahaman manusia tehadap sang pencipta, syariat adalah jalan
menuju penghambaan manusia kepada tuhannya, sedangkan muamalat dan Ihsan adalah
keutamaan manusia memandang dirinya dan diri orang lain sebagai sebuah hubungan
harmonis yang bermuara pada kesalehan sosial.
Keberagamaan manusia yang berbeda inilah yang perlu diangkat sebagai
sebuah momentum guna melihat sisi keunikan manusia sebagai ciptaan Tuhan itu
sendiri. Persoalannya adalah apakah keberagamaan yang berbeda itu akan bermuara
kearah yang sama? Kalau kita melihat secara seksama bahwa pada intinya
keberagamaan manusia adalah pencarian terhadap kebenaran, baik kebenaran sosial
hubungan antar manusia atau kebenaran transenden, yaitu cara pandang dan sikap
manusia dalam menempatkan Tuhan dan makhluk ciptaan-Nya sebagai kebenaran
absolut. Maka keberagamaan itu sendiri akan mengarah pada bagaimana kebenaran
itu bisa diraih dalam rangka pendekatan diri kepada Tuhan sebagai manifestasi
dari “iman”
Dalam hubungannya dalam pencarian kebenaran dari sudut pandang
keberagamaan manusia yang berbeda (hetrogenitas-religiusitas) tentu akan
didapat adalah berbedaan cara pandang (persfektif) dan sangat tergantung
dorongan dari manusia itu sendiri yang sudah dikatakan di atas sebagai fitrah
mansia yang given akan mengarakan kepada kebenaran atau
sebaliknya. Dilihat dalam kontek ini adalah bagaimana manusia memposisikan diri
selain pemahaman terhadap kebenaran transenden, juga memahamkan dirinya pada
kebenaran hubungan antar manusia yang dalam Islam masuk dalam kategori “ihsan”
yang secara harfiah berarti kebaikan dan kebaikan. Dorongan ihsan itu
sendiri akan melahirkan subuah prilaku, yaitu moral atau etika.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana pengaruh etika islam dalam
menumbuhkan kepemimpinan yang baik menurut islam sehingga dapat berkontribusi
bagi etika administrasi
2.
Bagaimana implementasi etika islam
untuk mewujudkan pemimpin berkhualitas dalam lingkup administraasi
untuk lengkapnya bisa di download dibawah ini
1 komentar:
Kak boleh minta filenya ga buat bahan tugas maklah saya, itu linknya ga bisa di buka soalnya
Post a Comment