Keterkaitan Kasus Penyuapan Yang Terjadi
Dikalangan Birokrasi Kejaksaan Terhadap Pelanggaran Etika Administrasi
Bab
I
Pendahuluan
A. Latarbelakang
Beberapa waktu
lalu di Indonesia santer terdengar kasus yang berhubungan dengan etika
administrasi. Kasus terebut adalah kasus penyuapan. Kasus- kasus penyuapan yang
terjadi dikaangan birokrat Indoneia belakangan ini tentunya sangat bertentangan
dengan etika administrasi.
Kasus yang
berhubungan dengan etika dalam birokrasi pemerintahan seperti yang disebutkan
di atas melibatkan beberapa profesi dalam bidang hukum dan ketatanegara yang
melakukan pelanggaran terhadap etika seperti pejabat administrasi negara,
anggota legislatif, jaksa, hakim, kepolisian, pegawai perpajakan, dan lain
sebagainya.
Kasus santer tentang
penyuapan beberapa waktu lalu tersebut adalah kasus penyuapan jaksa urip tri
gunawan yang menerima suap sebesar 660 ribu dolar AS atau lebih dari Rp. 6
Miliar dari Arthalita Suryani. Dan itu merupakan suatu kasus yang harus menjadi
koreksi penegakan hukum di Indonesia dan terutama dalam bidang korupsi, kolusi
dan nepotisme yang rentan terhadap kasus penyuapan.
Pihak-pihak
yang terlibat dalam kasus-kasus yang terjadi di dalam konteks etika berasal
dari seluruh elemen pemerintahan baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Padahal pejabat pemerintah baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif harus
mematuhi etika jabatannya masing-masing. Etika dalam birokrasi pemerintahan
merupakan hal yang sangat penting untuk keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan
dan untuk menjaga citra birokrasi agar birokrasi pemerintahan terus mendapat
kepercayaan dari masyarakat.
Seperti
yang diketahui etika merupakan dimensi yang penting dalam administrasi
negara . Keban (2004) menyatakan dimensi etika dapat dianalogikan dengan sistem
sensor dalam administrasi negara. Etika mempunyai peran yang sangat strategis
karena etika dapat menentukan
keberhasilan atau pun kegagalan dalam tujuan organisasi, struktur organisasi,
serta manajemen publik. Apabila moralitas dan etika para penyusun kebijakan publik dan struktur
organisasi serta para pelaksana manajemen publik sangat rendah , maka akan
berpengaruh pada kinerja pencapaian tujuan birokrasi publik.
Etika menjadi isu penting
dalam administrasi negara terkait erat dengan kedudukan birokrasi
sebagai pelayan dan pelindung masyarakat. Sebagai simbol dari kepercayaan
publik (public trust) , birokrasi
memiliki kewenangan untuk menafsirkan apa yang terbaik bagi masyarakat.
Keleluasaan untuk menginterpretasikan bagaimana suatu aturan hendak dijalankan
atau kekuasaan diskresi administrasi harus senantiasa dikontrol agar
penggunaannya semata-mata demi
kepentingan dan kebaikan bersama, bukan kepentingan pribadi atau golongan.
Sehubungan dengan ini John A. Rohrmenyatakan
alasan pentingnya etika sebagai berikut :
“Through
administrative discretion, bureaucrats participate in the governing process of
our society; but to govern in a democratic society without being responsible to
the electorate raises a serious ethical question for bureaucrats”.
Etika merupakan
dunianya filsafat, nilai, dan moral. Administrasi adalah dunia keputusan dan
tindakan. Etika bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan baik dan buruk,
sedangkan administrasi adalah konkrit dan harus mewujudkan apa yang diinginkan
(get the job done). Pembicaraan tentang etika dalam administrasi adalah
bagaimana mengaitkan keduanya, bagaimana gagasan-gagasan administrasi seperti
ketertiban, efisiensi, kemanfaatan, produktivitas dapat menjelaskan etika dalam
prakteknya, dan bagaimana gagasan gagasan dasar etika mewujudkan yang baik dan
menghindari yang buruk itu dapat menjelaskan hakikat administrasi.Terutama
sejak dasawarsa tahun 1970-an, etika administrasi telah menjadi bidang studi
yang berkembang pesat dalam ilmu administrasi.
Perkembangan
ini terutama didorong,meskipun bukan disebabkan semata-mata oleh
masalah-masalah yang dihadapi olehadministrasi negara di Amerika karena
skandal-skandal seperti Watergate dan Iran Contra. Kajian-kajian tersebut masih
berlangsung hingga saat ini, dan masih belum terkristalisasi. Hal ini
mencerminkan upaya untuk memantapkan identitas ilmu administrasi, yang sebagai
disiplin ilmu yang bersifat eklektik dan terkait erat dengan dunia praktek,
tidak dapat tidak terusberkembang mengikuti perkembangan zaman.
Meskipun
dikatakan demikian, sejak awalnya masalah kebaikan dan keburukan telah menjadi
bagian dari bahasan dalam administrasi, walaupun sebagai subdisiplin baru
berkembang kemudian. Misalnya, konsep birokrasi dari Weber, dengan konsep
hirarkinya dan birokrasi sebagai profesi, mencoba untuk menunjukkan birokrasi
yang baik dan benar.
Begitu juga upaya Wilson untuk memisahkan politik dari
administrasi. Bahkan konsep manajemen ilmiah dari Taylor dapat juga dipandang
sebagai upaya ke arah itu. Cooper (1990) bahkan menyatakan bahwa nilai-nilai
adalah jiwanya administrasi negara. Frederickson (1994) mengatakan nilai-nilai
menempati setiap sudut administrasi. Jauh sebelum itu Waldo (1948) menyatakan
siapa yang mempelajari administrasi berarti mempelajari nilai, dan siapa yang
mempraktekkan administrasi berarti mempraktekkan alokasi nilai-nilai.
Peran etika
dalam administrasi baru mengambil wujud yang lebih terang relatif belakangan
ini saja, yakni kurang lebih dalam dua dasawarsa terakhir ini. Masalah etika
ini terutama lebih ditampilkan oleh kenyataan bahwa meskipun kekuasaan ada di
tangan mereka yang memegang kekuasaan politik (political masters), ternyata
administrasi juga memiliki kewenangan yang secara umum disebut discretionary
power.
Jadi jika
ditarik inti dasar perlunya etika dalam administrasi negara adalah agar
administrator publik dapat mempertanggung
jawabkan cara kerjanya berdasarkan pada nilai-nilai dalam masyarakat demokratis.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apakah
hubungan kasus penyuapan yang terjadi dikalangan birokrasi kejaksaan di
Indonesia terhadap pelanggaran etika administrasi
lengkapnya bisa download di bawah ini
semoga bermanfaat
2 komentar:
mohon ijin untuk dijadikan bahan pendukung tugas saya...
terima kasih
Ko link ny gbsa dibuka ya
Post a Comment