Pemikiran dan Teori Emile Durkheim
Emile Durkheim adalah seorang pemikir asal Perancis yang dianggap
sebagai tokoh peletak dasar pemikiran sosiologi sehingga menjadi sebuah
disiplin ilmu pengetahuan yang mapan. Kendatipun bukan dirinya yang
meletakkan dasar pemikiran tentang sosiologi namun buah pikirannya telah
menunjukkan dengan jelas antara disiplin yang lain terutama bidang
sejarah dan psikologi. Baginya memikirkan tentang hakekat kanyataan
adalah upaya yang tidak adaa gunanya, kemudian Durkheim mencoba
meletakkan landasan dalam ilmu sosiologi dengan menunjukkan bahwa gejala
sosial itu merupakan fakta yang riil dan dapat dipelajari dengan metode
yang empiris. Pemikiran Durkheim sangat dipengaruhi oleh dasar
pemikiran filsafat dari Agust Comte tentang tahap evolutif dari
perkembangan pemikiran manusia yaitu dari tahap teologis atau fiktif,
metafisis atau abstrak dan ilmiah atau positivis . Dalam tahap
teologis, fenomena dijelaskan dengan menggunakan penjelasan yang
bersifat teologis dan menyandarkan pada dogma/keyakinan religius. Gejala
yang terjadi adalah kehendak dewa/kekuatan-kekuatan supranatural diatas
kekuasaan/kemampuan manusia. Tahap pemikiran metafisis akan menjelaskan
fenomena dengan penjelasan bahwa suatu gejala muncul sebagai
manifestasi dari hukum alam, sedangkan pada tahap positivis suatu
fenomena akan dijelaskan sebagai hubungan yang bersifat organis antar
unsur-unsurnya. Pemikiran teoritik Durkheim sangat dipengaruhi oleh
tahap katiga dari Comte. Tentunya hal ini seiring dengan masa hidup
Durkheim pada abad abad ke-18 menuju ke abad ke-19 saat perkembangan
ilmu sosial mengarah pada positivisme yaitu upaya ilmu pengetahuan untuk
menemukan konsep-konsep dan pemikiran yang berorientasi ke depan,
artinya ilmu pengetahuan harus memberikan kontribusi positif bagi
kehidupan manusia. Manusia harus mempelajari gejala-gejala dan hubungan
antar gejala supaya dapat meramalkan apa yang terjadi.
Dengan mendasarkan pada pandangan Comte bahwa masyarakat bersifat
organis, dan menekankan pada hubungan timbal balik antar gejala, maka
Durkheim memfokuskan pada solidaritas dan integrasi masyarakat sebagai
permasalahan substansial karyanya. Tentunya hal ini sedikit banyak
sangat dipengaruhi oleh kondisi pada masa itu, saat terjadinya revolusi
khususnya di Perancis yang menimbulkan perubahan tatanan sosial dan
munculnya efek-efek negatif industrialisasi terhadap masyarakat.
Pada masa itu pemikiran-pemikiran tentang hubungan antara individu
dengan masyarakat masih menjadi bahan pemikiran. Namun Durkheim memiliki
perspektif yang berbeda dengan pemikir-pemikir lain seperti Hobbes dan
Spencer. Para pemikir sebelumnya melihat bahwa masyarakat dibentuk oleh
individu-individu yang kemudian dengan berbagai alasan tertentu
membentuk jalinan masyarakat. Durkheim memiliki pandangan yang sangat
berbeda dengan pandangan ini. Ia melihat bahwa individu dibentuk oleh
masyarakat. Dasar pemikiran Durkheim ini dijelaskan dengan apa yang dia
sebut dengan fakta sosial. Fakta sosial merupakan gejala yang berada di
luar individu dan memiliki kekuatan memaksa individu untuk tunduk di
bawahnya. Sesungguhnya individu-individu memiliki hasrat sendiri-sendiri
namun lingkungan sosialnya mempengaruhi sehingga hasrat individu tidak
muncul. Proses pemaksaan ini tidak sepenuhnya terjadi dengan cara yang
ekstrim dan ketat atau frontal, tetapi melalui sosialisasi memungkinkan
proses “pemaksaan” itu terjadi tanpa disadari. Fakta sosial akan berlaku
umum bagi masyarakat dan bukan mencerminkan satu keinginan individu.
Lebih lanjut Durkheim menjelaskan tentang fakta sosial sebagai kesadaran
kolektif dan gambaran kolektif. Gambaran Kolektif adalah simbol-simbol
yang mempunya makna yang sama bagi semua anggota sebuah kelompok dan
memungkinkan mereka untuk merasa satu sama lain sebagai anggota
kelompok. Sedangkan Kesadaran kolektif merupakan semua gagasan yang
dimiliki bersama oleh para anggota individual masyarakat dan menjadi
tujuan-tujuan dan maksud-maksud kolektif, sebagai bentuk consensus
normative yang mencakup kepercayaan-kepercayaan keagamaan. (Campbel,
179-180)
Solidaritas Mekanis dan Solidaritas Organis
Solidaritas merupakan kata yang penting dan dominan dalam teori dan
karya-karya Durkheim tantang masyarakat. Solidaritas menjadi bagian yang
penting dalam hubungan antara individu dengan masyarakat. Durkheim
membedakan dua macam solidaritas, yaitu salidaritas mekanis dan
solidaritas organis. Solidaritas mekanis adalah bentuk solidaritas yang
didasarkan pada suatu kesadaran kolektif yang dimiliki individu-individu
yang memiliki sifat-sifat dan pola-pola normatif yang sama. Ciri dari
solidaritas mekanik adalah tingkat homogenitas individu yang tinggi
dengan tingkat ketergantungan antar individu yang sangat rendah. Hal ini
dapat dilihat misalnya pada pembagian kerja dalam masyarakat. Dalam
solidaritas mekanis, individu memiliki tingkat kemampuan dan keahlian
dalam suatu pekerjaan yang sama sehingga setiap imdividu dapat mencukupi
keinginannya tanpa tergantung dengan individu lain. Namun seiring
dengan perkembangan masyarakat, dan terjadi suatu pembagian kerja yang
semakin komplek. Solidaritas kemudian berubah menjadi solidaritas
organik, Solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling ketergantungan
yang tinggi akibat semakin beragamnya pembagian kerja sehingga
memunculkan spesialisasi pekerjaan. Masing-masing individu memiliki
suatu keahlian dan ketrampilan tertentu dalam suatu pekerjaan sehingga
tanpa kehadirannya akan mengakibatkan individu lain tidak dapat
mencukupi keinginannya. Akibatnya Individu semakin berbeda dengan
individu lain sehingga ada saling ketergantungan antar individu ke dalam
satu hubungan relasional yang bersifat fungsional.
Namun solidaritas kolektif ini tidak selamanya terbentuk dalam
masyarakat sehingga membentuk integrasi masyarakat, ada kalanya terjadi
gangguan/perubahan terhadap perubahan ikatan dalam integrasi masyarakat.
Ketika tatanan sosial mengalami gangguan maka akan mengakibatkan
gangguan terhadap integrasi di dalam masyarakat. Salah satu bentuk
gangguan ini adalah terjadinya perubahan solidaritas masyarakat dari
kesadaran mekanik ke organik. Peralihan ini mengakibatkan perpecahan
terhadap solidaritas di dalam masyarakatm. Hubungan individu menjadi
terputus dengan ikatan sosialnya. Diferensiasi pekerjaan mengakibatkan
heterogenitas dalam masyarakat sehingga ikatan bersama dalam masyarakat
menjadi kendor. Individu kemudian membangun ikatan-ikatan sosial dalam
lingkup yang lebih spesifik dan terbatas berdasarkan ikatan-ikatan
profesi atau pekerjaan. Dan dalam kelompok–kelompok kecil inilah
solidaritas mekanik akan terbentuk. Karena masyarakat semakin heterogen
dan kesadaran kolektif menjadi kurang penting, maka kemudian
individualisme akan berkembang sehingga hal ini akan memperlemah ikatan
sosial yang mempersatukan individu dengan kolompok-kelompok sosial lain
atau masyarakat secara umum. Karena individu tergantung dengan
masyarakat maka kondisi yang demikian ini akan merusakkan kepercayaan
bersama, melemahkan nilai-nilai moral dan mengndorkan struktur normatif
dan membuat manusia menjadi anomi, yaitu berada dalam situasi yang tidak
ada norma atau peraturan social dan putus dengan ikatan sosial. Untuk
menjelaskan hal ini Durkheim mebangun teorinya berdasarkan gejala bunuh
diri. Dalam masyarakat yang memiliki angka bunuh diri yang tinggi,
disebabkan oleh solidaritas mekanik yang turun dan anomi masyarakat
naik. Dalam analisa Durkheim tentang bunuh diri, menunjukkan bahwa
gejala ini sangat berkaitan dengan tingkat integrasi masyarakat.
Durkheim membaginya ke dalam tiga tingkat yaitu eoistik, anomic, dan
altruistik. Bunuh diri egoistic terjadi dari pengaruh tekanan
individualisme yang sangat kuat sehingga integrasi sosial melemah.
Gejala ini dilihat oleh Durkheim dari pembandingan yang dilakukannya
pada kaum Protestan dan Katolik. Orang-orang Protestan memiliki angka
bunuh diri yang tinggi dibandingkan dengan orang Katolik karena
orang-orang Protestan kurang memiliki ikatan sosial dalam gereja
sehingga tekanan individualisme semakin kuat. Bunuh diri anomik terjadi
karena tatanan kolektif yang hancur dan para individu tidak memiliki
dukungan secara kolektif, akibatnya individu mengalami frustasi karena
apa yang diharapkan/diinginkan tidak dapat diwujudkan. Bentuk yang
ketiga adalah bunuh diri altruistic, yaitu bunuh diri yang dibebabkan
tingginya rasa ikatan kelompok sehingga individu rela mengorbankan
dirinya demi kelompoknya.
Analisa Durkheim terhadap gejala yang terjadi di dalam masyarakat tidak
hanya berhenti sampai di sini. Ia juga mencoba untuk melihat agama
sebagai fenomena sosial yang dijelaskannya dengan teorinya tentang
solidaritas sosial dan integrasi masyarakat. Fokus perhatian Durkheim
adalah tentang totemisme di kalangan pemeluk agama primitif. Pada
masyarakat primitif kelompok sosial dibentuk berdasarkan klan-klan yang
di dalamnya memiliki ikatan primordial yang kuat terhadap klannya. Dalam
praktek keagamaan di kalangan masyarakat primitif dikenal simbolisasi
atas sesuatu yang dianggap sakral/suci. Simbol ini berupa totem yang
digunakan untuk mengidentifikasikan anggota kelompoknya dalam satu klan.
Totem-totem ini adalah representasi dari kekuatan supranatural yang
diyakini memiliki hubungan suci dan spesifik dengan suatu klan. Dengan
demikian sesunguhnya klan itu juga memiliki kekuasaan tentang sakral.
Ketika melakukan pemujaan terhadap totem sesungguhnya klan juga memuja
dirinya sendiri. Ketika melakukan hubungan dengan kekuasaan ilahi yang
bersifat supranatural, individu-individu yang datang dan berkumpul pada
saat mengadakan ritual mengalami interaksi yang tinggi antara mereka.
Dengan memusatkan perhatian pada suatu hal yang sama, misalnya totem,
individu akan mengalami pengaruh emosional kolektif sehingga
individualisme hilang. Dalam pengalaman yang dirasakan secara kolektif
semacam ini individu merasa berada dalam satu situasi yang luar biasa.
Dari gejala ini Durkheim menempatkan agama sebagai gejala yang dapat
meningkatkan integrasi dan solidaritas sosial.
Kesimpulan
kesimpulan atau buah pikiran Durkheim telah melahirkan suatu pendekatan dan landasan
metodologis yang kuat dalam bidang ilmu sosial. Melalui karya-karyanya
Durkheim dapat menunjukkan bahwa ilmu sosial memilki suatu obyek studi
yang jelas dan empiris. Dan tidak hanya berkutat pada lingkup pemikiran
tentang realitas ataupun esensialisme karena hal itu tidak ada gunanya.
Melalui methoide dan penelitiannya, Durkheim dapat menjelaskan bagaimana
hubungan antara individu dengan masayarakat yang didasarkan pada data
dan pengamatan yang empirik dan jelas. Tekanan Durkheim untuk melihat
gejala sosial pada tingkat analisa struktur sosial untuk melihat tentang
keteraturan sosial menjadi dasar teori fungsional pada saat ini.