Etika Legislatif


Bab I
Pendahuluan
A.     Latar Belakang
Apakah etika anggota perwakilan (legislatif) itu mungkin? Keraguan yang ditimbulkan oleh pertanyaan ini sebenarnya lebih dalam daripada sinisme yang biasa dikenakan pada politisi. Ketamakan dan ambisi beberapa legislator, yang tidak lebih sedikit dari ketamakan dan ambisi orang lain yang menjalankan kekuasaan politik, jelas-jelas menghambat pemberlakuan etika dalam kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat.
Dennis F Thompson dalam Political Ethics and Public Office yang dialihbahasakan dengan Etika Politik Pejabat Negara (2002) menulis, setidak-tidaknya, ada tiga pendekatan untuk mengetahui etika legislatif anggota dewan. pertama, etika minimalis. Etika ini memerintahkan diharamkannya beberapa tindakan yang buruk, semisal korupsi, dengan membuat aturan internal objektif yang berlaku bagi anggota dewan. Contoh penerapan etika minimalis di tubuh dewan adalah dibentuknya aturan tata tertib dan kode etik yang diterbitkan di internal parlemen serta dibentuknya sebuah badan kehormatan.
Kedua, etika fungsionalis. Thompson mencatat, etika fungsionalis menawarkan basis fungsional bagi para legislator. Etika tersebut mendefinisikan tugas bagi anggota dewan dalam lingkup fungsi mereka sebagai wakil rakyat. Anggota dewan mesti paham kenapa mereka dipilih dan untuk apa mereka duduk di kursi dewan perwakilan. RA Kresman, dokter ahli kejiwaan (2009), misalnya bertutur, dalam pesta demokrasi yang baru saja digelar, potensi calon legislator maupun legislator yang mengalami gangguan jiwa lebih besar di banding periode sebelumnya. Penyebabnya, mereka masih mempersepsikan menjadi anggota legislatif sebagai suatu pekerjaan dan mata pencaharian. Anggota dewan belum mampu menempatkan diri bahwa menjadi legislator adalah amanah, bukan pekerjaan. Jika ditempatkan sebagai pekerjaan, tentunya mereka akan bekerja kepada siapa saja yang mampu bayar tinggi. Akibatnya, mudah sekali uang haram korupsi yang berupa ”sumbangan”, ”bantuan”, atau apa pun namanya, masuk ke gedung dewan.
Ketiga, etika rasionalis. Fondasi rasional menyandarkan para legislator, setidaknya, harus bertugas pada prinsip-prinsip hakiki politik, seperti keadilan, kebebasan, atau kebaikan bersama (bonum commune). Berdasarkan pendekatan etika rasionalis, maka anggota legislatif diharamkan bertindak memperkaya diri dengan melawan hukum, baik atas nama kepentingan pribadi, golongan, maupun partainya. Ssaat anggota dewan telah duduk di kursi parlemen, maka tuan mereka bukan lagi partai, bukan pula petinggi partai, melainkan rakyat dan konstituen.
Atas tiga pendekatan etika legislatif legislator tersebut, maka kebijakan untuk memberikan dana purna tugas atau uang pesangon wajib dikoreksi ulang periode kedepan dan selanjutnya diurungkan, khususnya di tengah kondisi rakyat yang masih serba sulit seperti sekarang. Hal ini penting dilakukan untuk tetap menjaga sikap etis anggota dewan. Meminimalisasi segala perilaku dan kebijakan yang tidak familiar di mata masyarakat.
seperti contohnya Pada bulan agustus dan awal September 2009, meskipun sudah lama, namun pada saat itu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di sebagian besar daerah di Indonesia menerima uang jasa pengabdian atau dana purna tugas. Besaran uang jasa pengabdian bermacam-macam. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), misalnya, uang purna tugas bagi per kepala anggota adalah Rp 2,25 juta. Wakil ketua mendapatkan jatah Rp 2,4 juta, dan ketua memperoleh Rp 3 juta, maka anggaran pendapatan DIY yang akan dikuras untuk pesangon anggota dewan tersebut sekitar Rp 750,6 juta.
lain di Yogyakarta, lain pula di DPRD Jawa Tengsh. Angka lebih besar terdapat di DPRD Jawa Tengah. Setiap anggota akan mendapatkan dana pesangon akhir masa jabatan sebesar Rp 3 juta. Jumlah anggota DPRD Jawa Tengah sebanyak 100 orang yang berarti dana yang harus digelontorkan adalah Rp 1,8 miliar. Begitu banyak biaya keuangan daerah yang diterimakan kepada anggota dewan. Lantas dengan semua itu apakah etis jika seorang wakil rakyat menerima dana sebanyak itu sebelum lengser, sedangkan rakyat masih banyak yang menderita dan serba kekurangan. Sehingga dengan itu wajib di tinjau ulang dan dikaji lagi mengenai  pemberian dana purna tugas atau uang pesangon kepada anggota legislatis sebelum masa tugasnya akan habis. Sehingga penulis merasa perlu mengangkat masalah ini kedalam sebuah tulisan agar nilai-nilai etika legisatif anggota dewan tersebut dapat dilaksanakan sebagai seorang pemimpin dan pengayom rakyat. Maka diharapkan dengan hal itu dapat diwujudkan pemimpin yang berkarakter kebangsaan yang kuat
B.     Rumusan masalah
1.       Bagaimana etika legislati dan norma kepemimpinan saat ini dalam ranah legislatif
2.       bagaimana mewujudkan pola etika legislatif yang baik dan norma kepemimpinan yang berkarakter kebangsaan.

untuk lengkapnya silakan download link di bawah ini

semoga bermanfaat

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment