Teori Administrasi publik

Teori adalah rangkaian ide mengenai bagaimana dua variabel atau lebih berhubungan. Terdapat beberapa kelompok teori dalam administrasi negara, antara lain:

1) Teori deskriptif eksplanatif, merupakan teori yang bersifat memberi penjelasan secara abstrak realitas administrasi negara. Misalnya teori yang menjelaskan tentang ketidakmampuan administratif.

2) Teori normatif, yaitu teori yang bertujuan menjelaskan situasi masa mendatang, idealnya dari suatu kondisi. Misalnya teori tentang kepemimpinan ideal masa depan.

3) Toeri Asumtif, yaitu terori-teori yang menekankan pada prakondisi, anggapan adanya suatu realitas sosial dibalik teori atau proposisi. Misalnya Teori X dan Y dari McGregor yang menyakan manusia mempunyai kemampuan baik (Y) dan kurang baik (X).

4) Teori Instrumental, yaitu teori-teori yang memfokuskan pada “bagaimana dan kapan”, lebih pada penerapan atau aplikasi dari teori. Misalnya teori tentang kebijakan, bagaimana kebijakan dijalankan dan kapan waktunya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Masalah Utama Admnistrasi Publik

 Ada beberapa isu atau permasalan penting yang sering dibahas dalam ilmu
administrasi negara antara lain :

1) Pelayanan publik
Administrasi publik sebagai proses administrasi for publik, pada hakekatnya adalah memberi pelayanan publik. Hal ini sejalan dengan demokrasi yang mana masyarakat mempunyai hak yang sama untuk menerima pelayanan dari pemerintah. Dalam masalah ini yang terpenting adalah bagaimana pemerintah/negara memberikan pelayanan yang baik, cepat dan berkualitas kepada seluruh warga masyarakat.

2) Motivasi Pelayanan Publik
Dalam masalah ini isu terpenting adalah membahas motivasi seperti apa yang dimiliki oleh administrator dalam memberikan pelayanan publik. Ada yang berdasarkan norma, rasional dan perasaan.

3) Maladministrasi
Maladministrasi merupakan kesalahan dalam praktekt administrasi. Pembahasan teori administrasi publik juga akan membahas masalah kesalahan-kesalahan tersebut sebagai kajian utama, seperti lambannya birokrasi, rutinitas dan formalitas pelayanan.

4) Etika Administrasi Publik
Masalah penting lainnya dalam administrasi publik adalah etika administrasi. Dalam hal ini yang menjadi sorotan adalah nilai baik dan buruk. Apakah pelayanan atau prosedur administrasi publik dinilai baik atau buruk oleh masyarakat. Dalam hal ini termasuk korupsi menjadi bahasan utama.

5) Kinerja dan Efektivitas
Seringkali masalah kinerja dan efektivitas menjadi isu sentral dari administrasi publik. Hal tersebut dipahami karena administrasi sebagai proses mencapai tujuan, maka persoalan pencapaian dan dan cara mencapai tersebut menjadi penting. Oleh karena itu bagaimana cara kerja (kinerja) yang dijalankan apakah sudah baik sehingga tujuan dapat tercapai (efektif).

6) Akuntabilitas Publik
Administrasi publik yang dijalankan oleh pemerintah harus bisa dipertanggungjawabkan kepada seluruh warga. Ada kewajiban untuk melakukan pekerjaan yang dapat dikontrol, diawasi dan dipertanggungjawabkan kepada warga/publik. Hal tersebut merupakan masalah pokoknya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Paradigma administrasi publik

Paradigma I :
Dikotomi Politik-Administrasi (1900-1926)
Tokoh : Frank J Goodnow dan Leonard D. White
Frank J Goodnow dan Leonard D White dalam bukunya Politics and Administration menyatakan dua fungsi pokok dari pemerintah yang berbeda:
1. Fungsi politik yang melahirkan kebijaksanaan atau keinginan negara,
2. Fungsi Administrasi yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan negara.
Penekanan pada Paradigma ini terletak pada Locusnya, menurut Goodnow Locusnya berpusat pada (government Bureucracy ) birokrasi Pemerintahan. Sedangkan Focusnya yaitu metode atau kakian apa yang akan dibahas dalam Administrasi Publik kurang dibahas secara jelas. Administrasi negara memperoleh legitimasi akademiknya lewat lahirnya Introduction To the study of Public Administration oleh Leoanrd D White yang menyatakan dengan tegas bahwa politik seharusnya tidak ikut mencampuri administrasi, dan administrasi negara harus bersifat studi ilimiah yang bersifat bebas nilai.
Paradigma II:
Prinsip-Prinsip Administrasi Negara (1927-1937)
Tokoh : Gulick dan Urwick, F.W. Taylor, Henry Fayol, Mary Parker Follet, dan Willooghby
Di awali dengan terbitnya Principles of Public Adminisration karya W F Willoughby. Pada fase ini Administrasi diwarnai oleh berbagai macam kontribusi dari bidang-bidang lain seperti industri dan manajemen, berbagai bidang inilah yang membawa dampak yang besar pada timbulnya prinsip-prinsip administrasi,
Prinsip-prinsip tersebut yang menjadi Focus kajian Administrasi Publik sedangkan Locus dari paradigma ini kurang ditekankan karena esensi prinsip-prinsip tersebut, dimana dalam kenyataan bahwa bahwa prinsip itu bisa terjadi pada semua tatanan, lingkungan, misi atau kerangka institusi, ataupun kebudayaan, dengan demikian administrasi bisa hidup dimanapun asalkan Prinsip-prinsip tersebut dipatuhi.
• Pada paradigma kedua ini pengaruh manajemen Kalsik sangat besar Tokoh-tokohnya adalah :
• F.W Taylor yang menuangkan 4 prinsip dasar yaitu ; perlu mengembangkan ilmu manajemen sejati untuyk memperoleh kinerka terbaik ; perlu dilakukukan proses seleksi pegawai ilmiah agar mereka bisa tanggung jawan dengan kerjanya ; perlua ada pendidikan dan pengembangan pada pegawai secara ilmiah ; perlu kerjasama yang intim antara pegawai dan atasan à ( prinsip management ilmiah Taylor )
• Kemudian disempurnakan oleh Fayol ( POCCC ) dan Gullick dan Urwick ( Posdcorb )
Paradigma III
Administrasi Negara Sebagai Ilmu Politik (1950-1970)
Tokoh : Nicholas Henry
• Menurut HERBERT SIMON ( The Poverb Administration ) à Prinsip Managemen ilmiah POSDCORB tidak menjelaskan makna “ Public” dari “public Administration “ menurut Simon bahwa POSDCORB tidak menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan oleh administrator publik terutama dalam decision making. Kritik Simon ini kemudian menghidupkan kembali perdebatan Dikotomi administrasi dan Politik
• Kemudian muncullah pendapat Morstein-Mark ( element Of Public Administration yang kemudian kembali mempertanyakan pemisahan politik san ekonomi sebagai suatu hal yang tidak realistik dan tidak mungkin
• Kesimpulannya Secara singkat dapat dipahami bahwa fase Paradigma ini menerapkan suatu usaha untuk menetapkan kembali hubungan konseptual antara administrasi saat itu, karena hal itulah administrasi pulang kembali menemui induk ilmunya yaitu Ilmu Politik, akibatnya terjadilah perubahan dan pembaruan Locusnya yakni birokrasi pemerintahan akan tetapi konsekuensi dari usaha ini adalah keharusan untuk merumuskan bidang ini dalam hubungannya dengan focus keahliannya yang esensial. Terdapat perkembangan baru yang dicatat pada fase ini yaitu timbulnya studi perbandingan dan pembangunan administrasi sebagi bagian dari Administrasi negara.
Paradigma IV:
Administrasi Negara Sebagai Ilmu Administrasi (1956-1970)
Tokoh : Henderson, Thompson, Caldwen
• Istilah Administrative Science digunakan dalam paradigma IV ini untuk menunjukkan isi dan focus pembicaraan, sebagai suatu paradigma pada fase ini Ilmu Administrasi hanya menekankan pada focus tetapi tidak pada locusnya,
• Ia menawarkan teknik-teknik yang memerlukan keahlian dan spesialisasi, pengembangan paradigma ke-4 ini bukannya tanpa hambatan, banyak persoalan yang harus dijawab seperti misal adalah apakah jika fokus tunggal telah dipilih oleh administrasi negara yakni ilmu administrasi, apakah ia berhak bicara tentang public (negara) dalam administrasi tersebut dan banyak persoalan lainnya.
Paradigma V:
Administrasi Negara sebagai Administrasi Negara (1970)
Pemikiran Herbert Simon tentang perlunya dua aspek yang perlu dikembangkan dalam disiplain AN:
1. Ahli Administrasi Negara meminati pengembangan suatu ilmu Administrasi Negara yang murni
2. Satu kelompok yang lebih besar meminati persoalan-persolan mengenai kebijaksanaan publik.
Lebih dari itu administrasi negara lebih fokus ranah-ranah ilmu kebijaksanaan (Policy Science) dan cara pengukuran dari hasil- hasil kebijaksanan yang telah dibuat, aspek perhatian ini dapat dianggap sebagi mata rantai yang menghubungkan antara fokus administrasi negara dengan locusnya. Fokusnya adalah teori-teori organisasi, public policy dan tekhnik administrasi ataupun manajemen yang sudah maju, sedangkan locusnya ialah pada birokrasi pemerintahan dan persoalan-persoalan masyarakat (Public Affairs).
Paradigma VI
Model Birokrasi Klasik.
Tokoh : Taylor, Wilson, Weber,Gullick Urwick
Birokrasi adalah suatu usaha dalam mengorganisir berbagai pekerjaan agar terselenggara dengan teratur. Pekerjaan ini bukan hanya melibatkan banyak personil (birokrat), tetapi juga terdiri dari berbagai peraturan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Birokrasi diperlukan agar penyelenggaraan tugas pemerintahan tersebut terlaksana secara efisien, efektif dan ekonomis.
Dalam memahami lebih jelas pengertian birokrasi ini, maka dikemukakan ciri-ciri idealnya dari Max Weber (Frederickson, 1984) yang dikenal sebagai salah satu tokoh dalam aliran birokrasi klasik (atau aliran tradisional). Ciri-ciri ini antara lain; suatu birokrasi terdiri dari berbagai kegiatan, pelaksanaan kegiatannya didasarkan pada peraturan yang konsisten, jabatan dalam organisasi tersusun dalam bentuk hierarki, pelaksanaan tugas dengan impersonality, sistem rekruitmen birokrat berdasar pada sistem kecakapan (karier) dan menganut sistem spesialisasi, dan penyelenggaraan pemerintahan dilakukan secara terpusat (sentralisasi).
Meskipun birokrasi klasik ini banyak dikritik, namun sampai sekarang, tetap ada beberapa karakteristik dari model ini yang bertahan dalam birokrasi pemerintahan. Kelemahan-kelemahannya antara lain, seperti terlalu kakunya peraturan yang menyertai model ini, menyebabkan banyak ahli yang melakukan penelitian untuk penyempurnaannya.
Paradigma VII
Model Neo Birokrasi
Tokoh : Simon,Cyert, March,Gore
Model pendekatan neo-birokrasi merupakan salah satu model dalam erabehavioral. Nilai yang dimaksimumkan adalah efisiensi, ekonomi, dan tingkat rasionalisme yang tinggi dari penyelenggaraan pemerintahan. Unit analisisnya lebih banyak tertuju pada fungsi “pengambilan keputusan” (decision making) dalam organisasi pemerintahan. Dalam proses pengambilan keputusan ini, pola pemikirannya bersifat “rasional”; yakni keputusan-keputusan yang dibuat sedapat mungkin rasional untuk dapat mencapai tujuan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan; model pengambilan keputusan didasarkan pada prinsip manajemen modern; pendekatan dalam mengambil keputusan didasarkan pada analisis sistem; dan di dalam praktiknya banyak menggunakan penelitian operasi (operation research).
Kelebihan model ini, telah banyak dibuktikan melalui “unit analisisnya” yang lebih didasarkan pada teknik-teknik ilmu manajemen yang telah mapan sebagai kelengkapan pemecahan masalah dalam banyak organisasi besar, termasuk organisasi militer dan pemerintahan. Teknik manajemen ilmiah telah banyak digunakan dalam kegiatan penganggaran, penjadwalan proyek, manajemen persediaan, program perencanaan karyawan, serta pengembangan produk untuk mencapai produktivitas yang tinggi. Dibalik kelebihannya, juga memiliki berbagai kelemahan, antara lain tidak semua persoalan dalam pemerintahan dapat dikuantitatifkan dalam menerapkan prinsip manajemen ilmiah seperti yang diharapkan dalam penerapan model ini.
Paradigma VIII
Model Kelembagaan
Tokoh : Lindbloom, J. Thompson, Mosher, Blau, Riggs
Model kelembagaan merupakan penjelmaan dari era behavioralisme. Ciri-cirinya, antara lain bersifat empiris. Di samping memperhatikan aspek internal, juga pada aspek ekstemal, seperti aspek budaya turut menjadi perhatian utama dalam kajian organisasi pemerintahan (sistem terbuka).
Para penganut model ini lebih tertarik mempelajari organisasi pemerintahan apa adanya (netral), dibanding mengajukan resep perbaikan (intervensi) yang harus dilakukan dalam peningkatan kinerja organisasi pemerintahan. Namun demikian, hasil karya dari tokoh penganut aliran sangat berjasa dalam pengembangan teori organisasi, karena hasil-hasil karya yang ada sebelumnya cenderung menganalisis organisasi dengan “sistem tertutup” tanpa memperhitungkan aspek eksternal organisasi, yang secara realita sangat menentukan terhadap kinerja organisasi pemerintahan.
Paradigma IX
Model Hubungan Kemanusiaan
Tokoh : Mcgregor, Argyris
Model hubungan kemanusiaan mengkritik model-model birokrasi. pemerintahan yang ada sebelumnya, yakni model birokrasi klasik dan model neo-birokrasi yang terlalu memformalkan seluruh kegiatan dalam organisasi pemerintahan. Model hubungan kemanusiaan melihat secara empiris, bahwa ternyata aturan yang terlalu kaku, dapat menimbulkan kebosanan orang (birokrat) bekerja dalam organisasi.
Ciri-ciri model ini, antara lain melihat perlunya diperhatikan; hubungan antarpribadi, dinamika kelompok, komunikasi, sanksi yang tidak perlu merata, pelatihan, motivasi kerja dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan. Sejalan dengan ciri-ciri tersebut, maka nilai yang dimaksimalkan adalah kepuasan kerja, perkembangan pribadi, harga diri individu dalam organisasi pemerintahan. Model ini tetap menganjurkan perlunya pengawasan, namun tidak perlu dilakukan secara ketat dan merata kepada semua anggota organisasi. Hanya mereka yang memerlukan pengawasan adalah yang perlu diberikan. Hal yang paling penting dilakukan adalah memperbaiki sistem organisasi agar tercipta suasana kerja yang memungkinkan anggota organisasi dapat berhubungan secara baik dengan rekan kerjanya agar tercipta suasana yang dapat meningkatkan inovasi aparatur pemerintahan.

Paradigma X
Model Hubungan Publik
Tokoh : Ostrom, Buchanan, Olson, Oppenheimer
Model birokrasi pilihan publik merupakan pendekatan yang paling mutakhir dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pendekatan ini masih banyak bersifat teoretis dibanding bukti empiris di lapangan. Resep-resep yang ada dalam penyelenggaraan pemerintahan kebanyakan bersifat ideal, namun bukti penerapannya, masih tergolong langka. Hal ini antara lain disebabkan karena pendekatan ini memang relatif masih muda usianya.
Ciri-cirinya, antara lain; lebih bersifat anti birokratis, berdasar pada distribusi pelayanan, desentralisasi, dan tawar-menawar yang berorientasi kepada klien. Ada berbagai prasyarat yang seharusnya terpenuhi dalam penerapan model ini, antara lain: (1) sistem politik harus dapat menjamin partisipasi dalam mengemukakan pendapat secara objektif dan bertanggung jawab; (2) sistem administrasi pemerintahan yang selalu dinamis, mampu menyesuaikan diri dengan fungsi yang terus berubah; (3) birokrat harus mampu mengoreksi diri sendiri, dan; (4) perlu ada langkah kongkrit yang dapat dilakukan dalam mengefektifkan pemberdayaan masyarakat, antara lain adalah meningkatkan kesadaran kritis dalam hal politik pada berbagai lapisan masyarakat. Langkah ini terlaksana apabila terjadi komunikasi yang “dialogis” antara perumus kebijaksanaan dan masyarakat pengguna pelayanan.
Paradigma XI
Administrasi Negara Baru (New Public Administration
Tokoh : J. V. Denhard
• Melayani warga masyarakat bukan pelanggan;
• Mengutamakan kepentingan Publik
• Lebih menghargai warga negara bukan kewirausahaan
• Berfikir strategis dan bertindak demokratis
• Menyadari akuntabilitas bukan suatu yang mudah
• Melayani dari pada mengendalikan
• Menghargai orang buka produktivitas semata
Konsep mutakhir administrasi negara adalah good governance yang memberikan lebih banyak hal yang harus dihadirkan pemerintahan dalam pelayanan kepada masyarakat. Good governance lahir di tengah-tengah masyarakat yang kompleks, kritis, dan turunnya sumber daya yang dimiliki pemerintah jika dibandingkan permasalahan yang dihadapi, sehingga konsep ini menjadi sangat relevan untuk diadopsi dalam penyusunan kabinet jika memang benar presiden yang terpilih nantinya memiliki political will yang besar terhadap perbaikan bangsa. JIka sungguh-sungguh ingin melaksanakan good governance, dari penyusunan kabinet itu sudah tercermin.
Konsep Administrasi negara baru yang lahir pada tahun 1980-an, mendorong pemerintah untuk tidak saja adil tetapi juga berpihak pada yang lemah

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SOSIALISASI POLITIK PEKERJA PEREMPUAN (Studi pada pekerja perempuan di Mal Ciputra Semarang)

Nowadays Indonesian women are strived to develop and improved theirselves in the world of politics. With the UU 12 Tahun 2003 pasal 65 ayat (1) about the election, women represent in politics with given quota 30 % in legislative nomination in every election territory. But until now, it’s not yet reach maximum result. It is because of women less involvement on national politics constellation. This is caused by confidence crisis of women leadership qualities and politics education that still be regarded low. The awareness of the importance of women participation in politics need to be improved, especially on women in grassroot level. Women politics socialization is one alternative that can be used to promote the awareness of participation in politics so that political deceived women work well.
From that phenomenon and in reality can be found many activity that must be done by women recently, with burden and responsibility as a wife and a mother. As an individual, women have desire of existencial confession. Usually, it is done by being a career woman, no matter in what profession. Working women are considered having more complexed role and life than just being a housewife, Beside the environment which is relatively wider, high producting desire and also never ending rutinities.
The purpose of this research is to know how politics socialization process of working women and what role of family and environment work in political socialization working women. This is a descriptive research, with the sample of 100 women who worked at Mal Ciputra Semarang. The technique of sampling used are simple random sampling. The method used to collect date are interview technique, questionaire and observation.
The result of this research showed that political socialization of working women process is less. It can be proved by knowledge of politics development lacking in Indonesia. It’s because of working women are more focused on their duty and responsibility on their family as a mother and wife than following politics development in Indonesia. Less information and comprehension about political party because it is not considered urgent to be known. The opinion about political party at low level is to vote in the election. There is a consciusness about freedom to choose and to make a decision and have the same right between men and women. Family has an important role about socialization process on a person. It can be proved on working women who have an educated family background and proactive parents in organization.
Implant of more powerful value can born political attitude which is more powerful than women with ordinary background. In working area, changing thoughts with her friend not fluently and intense so it does not influent on changing attitude of passive politics that working women have.

PENDAHULUAN
Perempuan Indonesia saat ini dituntut untuk lebih berkembang dan lebih dapat mengaktualisasikan diri dalam dunia politik. Pasca pemilu 1999, tuntutan untuk memiliki wakil-wakil perempuan di lembaga pengambilan keputusan bukanlah hal yang baru sampai pada akhirnya adanya ketentuan yang tertuang pada pasal 65 Ayat (1) UU 12 tahun 2003 tentang kebijakan kuota keterwakilan perempuan 30% dalam pencalonan legislatif pada setiap daerah pemilihan.
Dari sejumlah data perbandingan persentase jumlah anggota legislatif antara laki-laki dan perempuan dalam lingkup nasional berbanding 8 : 1, tentu saja hal tersebut menunjukan bahwa hasil dari kebijakan quota yang telah dijalankan belum dapat mencapai hasil yang maksimal. Minimalnya keterwakilan perempuan tidak hanya terjadi pada tataran lembaga legislatif tetapi terjadi juga pada tataran lembaga eksekutif. Peluang perempuan menjadi semakin kecil dilihat dari rekrutmen politik untuk mengisi jabatan publik sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah belum memberikan akses yang luas buat perempuan.
Kendati peranan perempuan dalam bidang politik diakui, namun keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan politik masih terbilang rendah dibanding laki-laki. Hal tersebut dapat pula disebabkan karena krisis kepercayaan terhadap kepemimpinan perempuan dan pendidikan politik yang rendah.
Oleh karena itu mendukung caleg perempuan pada saat pemilu hanya sebagai pintu masuk sebagai upaya selanjutnya untuk melakukan pendidikan politik kaum perempuan. Kesadaran harus pula ditumbuhkan bahwa kaum perempuan juga sangat terkait dan berpengaruh pada setiap kebijakan yang diputuskan. Kaum perempuanlah yang dapat mengontrol kekuasaan agar lebih sensitif terhadap kepentingan perempuan. Tentu kaum perempuan yang sudah kritis dan memiliki kesadaran politik yang tinggi yang dapat melakukan tindakan seperti ini.
Pemberdayaan politik perempuan seharusnya bisa menyumbang upaya menjaga komitmen moral politik dengan adanya kesadaran terhadap hak yang tidak berujung pada terbentuknya sikap politik korupsi seperti yang mewabah saat ini.
Kondisi akan mengkhawatirkan upaya pemberdayaan politik perempuan jika tidak dibarengi dengan upaya untuk mengasah komitmen terhadap moralitas politik yang jujur dan adil. Pemberdayaan perempuan wajib memberi kontribusi pada penyelesaian persoalan-persoalan yang mengakibatkan krisis bangsa, diantaranya adalah karena dekadensi moral kita. Jika kaum perempuan pun tidak sanggup mengatasinya, entah siapa lagi yang bisa diharapkan.
Dari asumsi tersebut, diharapkan adanya partisipasi politik perempuan yang lebih mempunyai nilai plus, dimana tidak hanya pada taraf pengetahuan saja dan mengikuti agenda politik nasional tetapi pada tingkat pemahaman dan penilaian terhadap kondisi percaturan politik baik lokal maupun nasional.
Sesuai dengan kebudayaan yang ada di Indonesia secara umum dan Jawa khususnya yang menganut sistem patrilinial, dimana laki – laki lebih tinggi daripada perempuan. Jawa juga menempatkan perempuan sebagai the second sex yang bahkan tercermin dalam ungkapan-ungkapan proverbial yang sangat mengunggulkan laki-laki. Ungkapan Swarga nunut neraka katut, yang berarti bahwa kebahagiaan atau penderitaan istri hanya berperanan sedikit dalam kehidupan. Situasi kebudayaan dengan semangat yang tercermin dalam ungkapan tersebut sangat dominan sampai saat ini dalam tataran masyarakat awam.
Jika dilihat dari dimensi tanggung jawab untuk keputusan penting mengenai kepengurusan rumah tangga berkisar dari dominasi istri sampai suami istri hampir sederajat sepenuhnya ada dibawah baying-bayang suaminya, tetapi sebaliknya banyak suami yang menyerah tanpa daya kepada istri.
Dari fenomena diatas dan realita yang sering terjadi di lingkungan sekitar, terdapat berbagai aktifitas yang harus dilakukan oleh perempuan sekarang dengan beban dan tanggung jawab sebagai istri dan ibu. Sebagai seorang individu perempuan yang mempunyai keinginan pengakuan eksistensi, biasanya dengan jalan meniti karir dalam dunia usaha terlepas apapun profesinya.
Pekerja perempuan dianggap mempunyai peran dan kehidupan yang lebih kompleks daripada perempuan yang berstatus ibu rumah tangga. Selain lingkungan yang relatif lebih luas, kemauan berproduktif tinggi, serta rutinitas yang tidak pernah ada akhirnya, dicoba dicuatkan permasalahan bagaimanakah sebenarnya peran keluarga dan peran lingkungan kerja terhadap sosialisasi politik terhadap pekerja perempuan ( Studi pada Mal Ciputra Semarang )
Harapan dengan diadakannya penelitian ini adalah dapat diketahui proses sosialisasi pekerja perempuan sehingga dapat meningkatkan kemampuan kaum perempuan Indonesia.
Sosialisasi politik merupakan suatu proses bagaimana memperkenalkan sistem politik pada seseorang, dan bagaimana orang tersebut menentukan tanggapan serta reaksi terhadap gejala politik.
Sosialisasi politik membentuk dan mewariskan kebudayaan politik suatu bangsa. Sosialisasi politik juga bisa memelihara kebudayaan politik suatu bangsa dalam bentuk pewarisan kebudayaan itu oleh suatu generasi kepada generasi berikutnya.
Sosialisasi politik juga bisa merubah kebudayaan politik, yaitu bila sosialisasi itu menyebabkan penduduk atau sebagian penduduk, melihat atau mengalami kehidupan politik yang dijalankan dengan cara ini.
Secara definisi, sosialisasi politik pekerja perempuan adalah proses penurunan dan penyerapan nilai-nilai politik kepada seorang pekerja perempuaan dalam sebuah masyarakat melalui agen-agen sosialisasi, yang berlangsung seumur hidup, dari masa anak-anak sampai usia lanjut. Sehingga terbentuklah sikap dan pola tingkah laku politik pekerja perempuan yang berlangsung terus menerus selama hidup seseorang dan merupakan sarana untuk mewariskan patokan-patokan dan keyakinan-keyakinan politik dari generasi yang sebelumnya ke generasi sesudahnya baik secara langsung ataupun secara tidak langsung
Sedangkan keluarga adalah penyumbang yang positif bagi tatanan sosial. Dalam hal ini, fungsi utama keluarga adalah untuk menjadi model bagi hubungan-hubungan kekuasaan. Relasi-relasi di dalam keluarga merupakan model bagi relasi – relasi kekuasaan di dalam masyarakat yang luas. Perspektif yang lainnya adalah perspektif marxis yang melihat keluarga melalui fungsinya untuk melayani kepentingan pemegang kekuasaan ekonomis di dalam masyarakat. Caranya adalah dengan memproduksi dan mensosialisasikan pekerja-pekerja muda sebagai partisipan kerja berdasarkan pembagian kelas. Disini keluarga dipandang sebagai sistem yang mereproduksi struktur dominasi di dalam dunia ekonomi.
Maka secara definisi peran keluarga bagi sosialisasi politik pekerja perempuan adalah sejauh mana pekerja tersebut dapat dibentuk dan membentuk sikap terhadap wewenang kekuasaan atau authority dan sikap – sikap politik masa depan dengan pengembangan konsep diri yang berasal dari generasi sebelumnya dan terhadap generasi sesudahnya
Secara definisi pun peran lingkungan kerja bagi sosialisasi politik pekerja perempuan adalah sejauh mana pekerja dapat mempertahankan sikap dan konsep diri terhadap sosialisasi dorongan penyesuaian sikap dan tingkah laku kelompok pergaulan.


METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah tipe deskriptif analisis, suatu metode yang digunakan untuk menemukan pengetahuan yang seluas-luasnya terhadap penelitian pada saat tertentu.
Pencarian fakta dengan intepretasi yang tepat dengan tujuan untuk mendapatkan deskripsi, gambaran atau lukisan yang sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan-hubungan antar fenomena yang diselidiki.
Sumber data yang digunakan ada dua, primer yang terdiri dari data yang diperoleh secara langsung melalui teknik wawancara dan kuesioner dengan responden serta pengamatan. Jenis pertanyaan yang diajukan bersifat semi struktur. Hanya beberapa pertanyaan dan topik saja yang telah ditentukan sebelumnya. Banyak pertanyaan yang diajukan pada waktu berlangsungnya wawancara. Pertanyaan yang diajukan sesuai dengan daftar yang fleksibel, atau sebuah pedoman dan tidak dari sebuah angket yang formal. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner tertutup, dimana responden tidak diberikan kesempatan untuk memberi jawaban yang lain karena peneliti sudah memberikan jawaban yang telah ditentukan. Data kedua yang digunakan bersifat sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari obyek penelitian. Dengan memanfaatkan data-data dalam bentuk laporan, buku-buku, literatur, hasil penelitian yang terdahulu dari studi pustaka dan referensi lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.
Populasi sampling dalam penelitian ini adalah pekerja wanita yang bekerja di Mal Ciputra Semarang yang terletak di daerah kompleks pertokoan simpang lima Semarang.
Populasi sasarannya berkarakteristik perempuan dewasa (20-40 tahun) dan bekerja sebagai karyawan di area Mal Ciputra Semarang.
Pengambilan sample penelitian ini diambil secara random dengan menggunakan simple random sampling yaitu teknik pengambilan sample secara acak dimana setiap unit dalam sample mempunyai peluang yang sama untuk dipilih sebagai unit sample. Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor management Mal Ciputra bagian humas diketahui bahwa jumlah seluruh karyawan yang terdaftar sebagai karyawan tetap pertokoan dan beberapa unit usaha yang tergabung dalam management Mal Ciputra tahun 2007 adalah 10.355 dengan pembagian karyawan laki-laki 4731 dan karyawan perempuan 5624. didapatkan jumlah sample sesuai data yang dimasukkan dalam rumus adalah sebanyak 100 responden.
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah mengunakan wawancara, jenis pertanyaan yang akan diajukan dalam wawancara adalah semi terstruktur dan daftar pertanyaan sesuai dengan daftar yang fleksibel. Kuesioner, pengumpulan data dengan menggunakan daftar pertanyaan yang bersifat tertutup yaitu jawaban telah tersedia berdasarkan petunjuk-petunjuk yang telah diberikan. Observasi, studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-gejala alam dengan jalan pengamatan dan pencatatan dengan tujuan mengerti ciri-ciri dan luasnya signifikasi dari interelasi elemen-elemen tingkah laku manusia pada fenomena sosial yang serba kompleks dalam pola-pola cultural tertentu. Observasi yang digunakan bersifat pasif, dimana peneliti tidak ikut terlibat kegiatan yang terlibat oleh pelaku sasaran. Dokumentasi, yaitu dengan cara mencari informasi dari catatan atau dokumen yang ada dianggap relevan dengan masalah penelitian. Kajian kepustakaan yaitu pengumpulan data, informasi yang berasal dari sumber tertulis yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Analisa data yang digunakan dalam penelitian kualitatif sudah mulai diberlakukan sejak pengumpulan data dan secara intensif sesudah berakhirnya pengumpulan data. Analisis data juga dapat diartikan sebagai proses mencari dan menagtur secara sistematis transkrip interview, kuesioner dan catatan lapangan. Kesemuanya itu dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman dan mempresentasikan temuan kepada orang lain. Pengambilan kesimpulan pun ditarik secara kualitatif dengan data yang telah diolah.

HASIL PENELITIAN
1. Nilai – Nilai Politik Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik merupakan bagian dari proses sosialisasi yang khusus membentuk nilai-nilai politik, yang menunjukan bagaimana seharusnya masing-masing anggota masyarakat berpartisipasi dalam sistem politiknya.
 Dilihat dari tingkat pengetahuan tentang perkembangan politik secara umum di Indonesia, 41% menyatakan netral dan menurut resonden yang diwawancarai menyatakan bahwa sebenarnya banyak perempuan-peremuan yang antusias mengikuti perkembangan politik di Indonesia, tetapi kembali ada kodrat mereka akan kewajiban sebagai seorang istri dan ibu untuk keluarga mereka. Lebih kepada tugas dan kewajiban mereka, mereka hanya menjadi pengamat pasif dalam mengikuti perkembangan politik di Indonesia.
 Demikian adanya pula dengan perkembangan partai politik dan seluk beluk partai politik di Indonesia, para kaum peremuan hanya bersikap pasif terhadap perkembangan perpolitikan di Indonesia
 Dilihat dari tingkat pemahaman terhadap arti penting kebebasan dalam memilih dan pengambilan keputusan, para kaum perempuan pun hanya bersikap pasrah dan terserah pada keluarga, teman-teman atau peer groupnya walau sebenarnya mereka sadar dan paham namun yang terjadi pada realita yang sebenarnya tidak sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi dan diharapkan.

2. Peran Keluarga Terhadap Sosialisasi Politik
Keluarga adalah penyumbang yang positif bagi tatanan sosial. Dalam hal ini, fungsi keluarga adalah untuk menjadi model bagi hubungan-hubungan kekuasaan. Keluarga juga merupakan stuktur sosialisasi pertama yang dialami seseorang, sangat kekal dan kuat. Dapat pula disimpulkan bahwa keluarga adalah pijakan awal dari proses sosialisasi seseorang yang sangat kuat dan kekal.
Dari penelitian yeng didapat, responden setuju apabila keluarga merupakan orang-orang yang paling dekat. Secara psikologis memang keluarga adalah bagian dari individu. Pengenalan lingkungan dan segala hal tentang hidup dipelajari dalam keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang merupakan inti dari sebuah keluarga.
Penciptaan karakter dan penyerapan nilai-nilai politik dalam keluarga ternyata sangat kuat didukung pula dengan adanya sekolah dan lingkungan bermain sebagai agen-agen dari sosialisasi politik akan menciptakan sikap-sikap politik yang berbeda-beda. Hal ini menunjukan bahwa hubungan keluarga yaitu orang tua dan anak sangat mempengaruhi proses sosialisasi politik dengan penanaman nilai-nilai politik secara dini.
3. Pengaruh Lingkungan Kerja Terhadap Sosialisasi Politik
Hasil yang didapatkan adalah hubungan antara responden dan teman-teman lingkungan kerja hanya sebatas profesional kerja saja. Walaupun pewacanaan politik tetap ada dalam lingkungan kerja, pengubahan pemikiran-pemikiran seseorang tentang politik dikarenakan wawasan dan pengetahuan yang dimiliki lebih luas dan mendalam. Pengubahan pemikiran dan pewacanaan tetap tidak mengubah sikap dan nilai-nilai politik yang bersifat prinsipil bagi responden tertentu.
Intensitas pembicaraan dan pewacanaan politik yang kerap terjadi apabila musim kampanye telah tiba, tetapi intensitas politik yang terjadi dalam lingkungan kerja tidak pernah ada. Perbedaan pendapat dan keyakinan akan nilai-nilai politik sering terjadi tetapi tidak pernah sekalipun menjadi masalah yang sangat krusial. Sehingga dapat disimpulkan dalam peran lingkungan kerja yang termasuk didalamnya adalah atasan, teman dan lingkungan sekitar berpengaruh positif terhadap nilai-nilai politik dalam proses sosialisasi politik karena dapat menambah wawasan, pengetahuan, pemahaman, dan keyakinan terhadap dunia politik perempuan. Tinggal bagaimana pekerja perempuan dapat mempertahankan sikap dan konsep diri terhadap sosialisasi dorongan penyesuaian sikap dan tingkah laku kelompok pergaulan.

PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam negara demokratis, keterwakilan politik perempuan merupakan bentuk hak asasi manusia (HAM). Dimana lebih dari setengah total jumlah penduduk Indonesia adalah perempuan. Mengabaikan perempuan Indonesia dalam pembuatan keputusan politik sama artinya dengan meminggirkan mayoritas penduduk Indonesia dari proses politik. Memahami pentingnya keterwakilan perempuan dalam lembaga politik dan mendukung upaya meningkatkan jumlah perempuan yang duduk dalam lembaga-lembaga politik hingga mencapai jumlah yang signifikan agar dapat mempengaruhi proses pembuatan keputusan-keputusan politik yang lebih berperspektif jender dan lebih sensitifatas kepentingan perempuan.
Sosialisasi politik merupakan salah satu altematif jalan yang cukup efektif dalam meningkatkan kualitas perempuan menuju suatu sistem politik yang seimbang. Dimana arti dari sosialisasi politik tersebut adalah proses penurunan dan penyerapan nilai-nilai politik , yang menunjukkan bagaimana seharusnya masing-masing anggota masyarakat harus bersikap terhadap sistem politiknya. Sosialisasi berjalan terus menerus sampai akhir hayat seseorang, sikap-sikap yang terbentuk selama kanak-kanak selalu disesuaikan atau diperkuat sementara ia menjalani berbagai pengalaman sosial.


Sosialisasi politik merupakan bagian dari proses sosialisasi yang khusus membentuk nilai-nilai politik, yang menunjukkan bagaimana seharusnya masing - masing anggota masyarakat berpartisipasi dalam sistem politiknya. Proses sosialisasi pekerja wanita dalam diketahui melalui beberapa hal, antara lain melalui:
1. Nilai-nilai politik yang tertanam dalam pekerja wanita. Nilai-nilai politik yang
tertanam dapat dikategorikan rendah, dengan bukti rendahnya tingkat pengetahuan dan tingkat pemahaman mengenai perkembangan politik dan partai politik di Indonesia, yang menyebabkan tingkat partisipasi yang tergolong cukup rendah (pemberian hak suara pada PEMILXJ), adanya kesadaran akan pentingnya kebebasan dalam memilih dan pengambilan keputusan. Kesadaran akan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan sudah tertanam dalam pemikiran pekerja wanita. namun pada prakteknya juga masih sangat kurang tidak ada, tindakan agresif dalam membela hak-haknya. Dapat diambil kesimpulan apabila nilai-nilai politik ini tergolong redah berarti pada generasi sebelumnya telah gagal melaksanakan proses sosialisasi politik yang ditanam sejak dini dan berarti pula ada kemungkinan terjadi kegagalan untuk generasi selanjutnya. Karena penanaman nilai-nilai politik tidak mengakar kuat sehingga kemungkinan yang akan terjadi kegagalan yang lebih fatal generasi selanjutnya.
2. Peran keluarga dalam proses sosialisasi politik sangat penting karena merupakan pijakan awal yang bersifat kuat dan kekal. Peran keluarga dalam proses sosialisasi pekerja wanita dapat dilihat dari latar belakang keluarga (ayah dan ibu) apabila berasal dari keluarga yang mempunyai pendidikan politik yang cukup tinggi maka nilai-nilai yang ditanamkan pun dapat berkembang dan mengakar kuat dalam sikap-sikap politik yang kokoh, keberanian untuk berpendapat, keberanian untuk memberikan saran, kritik dan ide serta kebebasan dalam memilih dan mengambil keputusan dengan batasan-batasan tanggung jawab yang jelas terhadap keluarga serta pengidolaan sosok dalam keluarga yang didominasi oleh ayah sebagai kepala keluarga yang terkesan kuat dan berkuasa. Kurangnya ketertarikan terhadap politik dapat dibuktikan dengan kurangnya intensitas pembicaraan dan pembahasan politik dalam keluarga, terbatas hanya pada pewacanaan yang ada apabila sedang dalam masa kampanye partai politik PEMILU. Unsur pengaruh dan bujukan terhadap pilihan dan pengambilan keputusan dalam hak politik pun tidak dapat dielakkan dalam sebagian keluarga, hampir sebagian besar pekerja perempuan mengikuti keputusan yang diambil dalam keluarga walaupun keluarga selalu memberikan kebebasan, yang bertanggung jawab dengan selalu bertanya alasan dalam memilih dan pengambilan keputusan, tanpa berusaha untuk mepengaruhi dan membujuk. Namun semua itu kembali pada kepribadian masing-masing individu, ada yang berkarakter kuat dan kokoh tetapi ada pula yang selalu mengikuti apa yang selalu menjadi keputusan keluarga.
3. Peran lingkungan kerja dalam proses sosialisasi politik dapat ditunjukan dengan adanya pola hubungan antar sesama karyawan, pola hubungan antara atasan dengan karyawan dan intensitas masalah politik. Pola hubungan antar karyawan terjalin cukup harmonis, dimana terbentuknya kelompok pergaulan dimana individu yang didalamnya merubah kepentingan dan tingkah lakunya agar sesuai dengan kelompoknya sebagai usaha agar tetap diterima oleh anggota-anggota kelompok tersebut. Pola yang terjalin antara atasan dan karyawan terbatas hanya pada profesionalitas kerja saja, yang perlu disoroti adalah kurangnya partisipasi pekerja wanita dalam lingkungan kerjanya, bahkan apabila ada perempuan yang menduduki posisis atau jabatan tinggi karena prestasinya cenderung kurang disukai oleh rekan-rekan kerjanya. Hal ini cukup menunjukkan bahwa budaya perempuan harus tetap patuh, diam dan menerima masih berlaku dalam masyarakat awam. Tingkat intensitas masalah politik tidak terdapat dalam lingkungan kerja, walaupun pergeseran pemikiran acap kali terjadi akibat dari pewacanaan politik yang tidak intens dan mendetail antar sesama karyawan dengan jalan saling ngobrol dan bertukar pendapat secara informal. Perbedaan pendapat dan keyakinan akan nilai-nilai politik sering mewamai keseharian pekerja perempuan namun intensitas masalah politik tidak pemah terjadi dalam lingkungan kerja. Dikarenakan perempuan adalah makhluk yang lembut dan selalu mengutamakan perasaan, sehingga suasana yang terjalin pun terlihat hangat walaupun mungkin terkadang ada masalah antar sesama karyawan, atau antara atasan dan karyawan. Yang terpenting yang harus dilakukan individu adalah bagaimana ia dapat mempertahankan sikap dan konsep diri terhadap sosialisasi dorongan penyesuaian sikap dan tingkah laku kelompok pergaulan dan lingkungan kerja.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Imam. Perempuan Dalam Kebudayaan : Dalam Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta Kerjasama Perpustakaan Yayasan Hatta Yogyakarta, Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak, Yasasan Prakarsa Yogyakarta dan Frederich Ebert Stiftung, 1993.
Benveniste, Guy, Birokrasi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
Budiardjo, Mirriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, Oktober 1992.
-————— Demokrasi di Indonesia, Demokrasi Parlementer dan Demokrasi
Pancasila. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994
Budiman, Kris. Perempuan di Rumah Ber(Tangga). Jakarta : 2001
Clark, RobertP, Menguak Kekuasaan dan Politik di Dvnia Ke Tiga, Jakarta :
PT. Erlangga, 1986.
Dawson E. Richard, Kenneth Prewilt, Karen S Dawson, "An Analytic Study
Political Socialization ", Boston : Little, Brown and Company, 1977
Fakih, Mansour. Analisis Gender Dan Transformasi Sosial, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1999.
—————— Membincang Feminisms : Diskursus Gender Perspektif Islam.
Yogyakarta: Risalah Gusti, Surabaya, 1996.
Geertz, Hildred. Keluarga Ja-wa : Terjemahan Indonesia, The Press of Glencoe Inc. Amerika Serikat, 1961.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi, 1986.
Internet
www.yahoo.com. "Agenda Politik Perempuan Pasca Pemilu", 22 April 2004
www.yahoo.com/Teminisme Sosialis : Apa? Bagaimana? Dan Mengapa Kita
Harus Menolak Feminisme Borjuis?", 2003

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

REVIEW BUKU EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK, KARANGAN SAMODRA WIBAWA, HAL 1-40.


Dalam buku ini pemerintah dianggap sebagai suatu organisasi yang menyerap semua tuntutan dan kepentingan para pelaku politik, menghimpun sumber daya dari para pelaku ini dan memenuhi tuntutan serta kepentingan masyarakat. Karena tidak semua tuntutan dapat dipenuhi dalam waktu yang bersamaan, terutama disebabkan oleh jumlah dan kualitas sumber daya yang lebih sedikit dibanding tuntutan tersebut, maka pemerintah selalu melakukan penyaringan dan pemilihan tuntutan atau kepentingan. Ada tuntutan yang dapat dipenuhi segera, tapi tidak sedikit yang harus ditunda dan disingkirkan. Hasil penyaringan dan pemilihan inilah yang dirumuskan sebagai kebijakan publik.
Suatu kebijakan pastinya mempunyai suatu rangkaian proses. Mulai dari proses formulasi, yaitu merumuskan kebijakan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Kemudian implementasi kebijakan, yaitu proses pelaksanaan dari kebijakan yang telah di buat, agar tujuan dari kebijakan tersebut tercapai. Proses yang terakhir yaitu proses evaluasi, tujuannya untuk meninjau kembali apakah kebijakan sudah berjalan sebagaimana mestinya, dan apakah sudah mencapai tujuan kebijakan atau belum.
Kebijakan publik merupakan sebuah aksi yang ditimbulkan atas keluhan dan permasalahan yang dilemparkan oleh masyarakat. Kebijakan publik juga menimbulkan suatu konsekuensi atau dampak yang merupakan perubahan kondisi fisik maupun sosial akibat output dari kebijakan. Tak jarang juga kebijakan publik dibuat berdasarkan tujuan untuk memenuhi tuntutan aktor kebijakan. Hanya saja, karena alasan politik, tujuan kebijakan sering dirumuskan secara kabur dan tidak transparansi. Suatu kebijakan sering dibuat untuk mencapai maksud dan kepentingan yang berbeda dengan apa yang dirumuskan.
Seringkali tindakan kebijakan yang telah dirancang sedemikian rupa tidak dapat mewujudkan semua kehendak kebijakan. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh lemahnya daya antisipasi para pembuat kebijakan maupun pendesain program dan proyek, terganggunya implementasi oleh kondisi lingkungan yang tidak teramalkan sebelumnya. Oleh karena itu, untuk kepentingan inilah evaluasi kebijakan dilakukan oleh pemerintah.
Kegiatan evaluasi ini dalam beberapa hal mirip dengan pengawasan dan kontrol. Pelaku utamanya jelas pemerintah, akan tetapi sering pelaku yang lain seperti lembaga penelitian yang independen, partai politik, dan tokoh-tokoh masyarakat.
 Evaluasi tersebut tidak hanya terjadi pada saat akhir saja, tetapi pada setiap proses, baik formulasi maupun implementasi. Evaluasi kebijakan merupakan aktivitas ilmiah yang perlu dilakukan oleh para pengambil kebijakan di dalam tubuh birokrasi pemerintah maupun organisasi sosial dan politik. Di tangan aktor kebijakan ini, evaluasi memiliki fungsi yang sangat penting, yaitu memberikan masukan bagi penyempurnaan kebijakan. Dengan melakukan evaluasi, pemerintah dapat meningkatkan efektivitas program-program mereka sehingga meningkat pula kepuasan publik terhadap kebijakan pemerintah. Kemudian, hasil evaluasi tersebut dapat digunakan untuk memperkuat argumentasi agar pemerintah melakukan perbaikan terhadap kebijakannya sehingga asas keadilan, kemerataan, dan demokrasi lebih diperhatikan oleh pemerintah.
Evaluasi ada dua, yang pertama evaluasi implementasi, dan yang kedua yaitu evaluasi dampak kebijakan. Ada tiga buah model evaluasi implementasi kebijakan. Pertama, model Meter dan Horn yang menjelaskan hubungan antar aktor yang mempengaruhi hasil dan kinerja suatu kebijakan, yaitu; (1) kompetensi dan jumlah staf, (2) rentang dan derajat pengendalian, (3) dukungan politik yang dimiliki, (4) kekuatan organisasi, (5) derajat keterbukaan dan kebebasan komunikasi, (6) keterkaitan dengan pembuat kebijakan. .
Kedua, model Grindle yang menyatakan keefektifan implementasi kebijakan tergantung dari isi kebijakan dan konteks implementasinya. Menurut Grindle, isi kebijakan mencakup; (1) kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan, (2) jenis manfaat yang akan dihasilkan, (3) derajat perubahan yang diinginkan, (4) kedudukan pembuat kebijakan, (5) pelaksana program, (6) sumberdaya yang digunakan.
Ketiga, model Sabatier dan Mazmian, yang menjelaskan bahwa implementasi kebijakan merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu; (1) karakteristik masalah, (2) struktur manajemen program, (3) faktor-faktor diluar peraturan. Model ini menekankan pada perhatian pada dua hal mendasar, yaitu kebijakan dan lingkungan kebijakan. Kelemahannya yaitu, Sabatier dan mazmanian terlalu menganggap suatu implementasi akan efektif apabila birokrasi pelaksanaannya mematuhi peraturan yang telah dibuat.
Dengan memahami model-model tersebut, para evaluator dapat lebih cermat melakukan evaluasi, sehingga banyak persoalan dapat dianalisis secara komprehensif dan tidak parsial, dan serta dapat memperluas hasil pengamatan evaluator.
Selanjutnya yaitu evaluasi dampak kebijakan, yaitu evaluasi yang memberikan perhatian yang lebih besar kepada output dan dampak kebijakan dibandingkan kepada proses pelaksanaannya. Dalam buku ini dijelaskan, ada dampak yang diharapkan dan dampak yang tidak diharapkan. Dampak yang diharapkan maksudnya adalah ketika kebijakan dibuat, pemerintah telah menentukan atau memetakan dampak apa saja yang akan terjadi. Lebih dari itu, pada akhir implementasi kebijakan muncul juga dampak-dampak yang tidak terduga.
Dalam hal ini yang dievaluasi yaitu mulai dari peramalan kebijakan (forecasting). Contohnya saja kita mengkaji evaluasi dampak kebijakan pada kebijakan pembuatan Terminal Regional Bingkuang Kota Padang. Dalam implementasinya, kebijakan ini tidak berjalan seperti tujuan yang telah ditetapkan. Kevakuman Terminal Regional Bingkuang (TRB) di Aia Pacah, By Pass, Kota Padang selama 10 tahun yang dibangun tahun 1996 senilai Rp 15 miliar tersebut menuai kontroversi baik dari pemerintah maupun dari elemen masyarakat seperti pedagang, supir angkutan umum, dan lainnya.Hal ini menunjukkan bahwa para pembuat kebijakan tidak mampu meramalkan dampak dari kebijakan pembangunan terminal tersebut, yang selain telah banyak membuang dana secara percuma, juga mengakibatkan semrawutnya daerah di pusat Kota Padang karena tidak adanya terminal yang berfungsi secara aktif dan maksimal.
Selanjutnya analisis evaluasi dilanjutkan dengan karakteristik Analisis Dampak Sosial (ADS). Seringkali suatu ADS membawa konsekuensi pada diubahnya kebijakan. Seperti kasus pembangunan TRB Aia Pacah, dimana pemerintah mengharapkan dengan membangun terminal akan lebih memperluas pemerataan penduduk dan kota ke daerah timur. Setelah dilakukan ADS mungkin memberikan hasil negatif seperti terminal tersebut tidak akan efektif digunakan mengingat masih kurangnya infrastruktur dan langkanya akses menuju kesana, namun pemerintah nekat dan tetap membangun terminal.
Selanjutnya yaitu langkah-langkah ADS. Langkah-langkah ini bertujuan agar pemerintah dapat memberikan fasilitas dan pelayanan tambahan agar kebijakan lebih sempurna. Misalnya saja, untuk melengkapi program pembangunan tersebut perlu dibangun infrastruktur penunjang dan menata ulang kembali terminal dengan melibatkan seluruh aspek seperti dinas transportasi dan tata letak kota, supir-supir angkot, masyarakat dan pedagang.
Terakhir yaitu dimensi-dimensi dampak. Dalam hal ini evaluator perlu memperhatikan beberapa dimensi, yaitu waktu, selisih antara dampak aktual dan yang diharapkan, tingkat agregasi dampak, dan jenis dampak. Selain itu evaluator juga perlu mencermati tiga persoalan lain seperti wilayah program, apakah program berlingkup nasional, propinsi, kota, kecamatan, atau desa. Kedua, ukuran program, yaitu berapa jumlah individu yang dilayani untuk setiap satuan wilayah program. Ketiga yaitu kebaruan program, apakah dampak yang diharapkan oleh program tersebut dianggap baru.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Analisis Teknik Pengambilan Keputusan (Studi Kasus: Pengambilan Keputusan yang Dilakukan PWI dalam Penggolongan Wartawan Infotainment ke Kegiatan Jurnalistik)

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Peristiwa reformasi 1998, yaitu massa ketika suara pers dibungkam, tampaknya memiliki peran yang cukup besar dalam memberikan kebebasan pers bagi para insan jurnalistik tanpa dikekang oleh pemerintah. Apalagi sejak dikeluarkannya peraturan tentang pers, yaitu UU no. 40 yang menyebabkan semakin menjamurnya media cetak maupun elektronik.
Seiring dengan perkembangan tersebut, sejumlah media berlomba-lomba untuk mencari pasar tersendiri bagi berita atau informasi yang akan disampaikan. Inovasi-inovasipun harus dicari oleh masing-masing media agar mereka tidak kalah bersaing dengan media massa yang lain. Salah satu jenis pemberitaan yang paling berkembang di pasca reformasi adalah infotainment, yang menggabungkan informasi dengan entertainment. Penyampaian beritanya lebih fleksibel dan tidak kaku, serta ada unsur-unsur menghibur di dalamnya.
Kebebasan pers, sebagai hadiah dari pasca reformasi bagi insan jurnalistik, seringkali diartikan lain oleh para wartawan infotainment. Puncaknya pada kasus perseteruan Luna Maya di dunia maya dengan pekerja infotaimen yang mengakibatkan ia dituntut dan dijerat dengan pasal UU ITE (Informasi dan Transasksi Elektronik), tentang pencemaran nama baik. Sejak saat itu, status pekerja infotainmen sebagai jurnalis mulai dipertanyakan oleh berbagai kalangan, sebab dinilai telah melakukan pelanggaran terhadap etika profesi jurnalistik.
Permasalahan tersebut kemudian memunculkan pro dan kontra mengenai pengkategorian wartawan infotainment sebagai salah satu kegiatan jurnalistik. Dalam hal ini PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) mewakili kelompok yang pro. Sementara kelompok kontra yang diwakili oleh Aliansi Junarlistik Indonesia (AJI) menolak identitas keawartawanan pekerja infotaiment.
Keputusan PWI (yang notabene sebuah wadah pers terbesar dan tertua di Indonesia serta mengayomi seluruh media-media pers) memasukkan wartawan infotainment kedalam organisasinya jelas-jelas membuat beberapa pihak wartawan, masyarakat pemerhati media, termasuk pemerintah merasa kecewa. Bahkan PWI memiliki Divisi Infotainment dalam kepengurusannya. Padahal, Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sepakat infotainment bukanlah berita. Produk infotainment tak bisa dimasukkan sebagai karya jurnalistik.
Di tengah kondisi yang penuh dengan kontra dari berbagai pihak tersebut, kenapa PWI tetap bersikeras menegakkan keputusan yang diambilnya? Faktor apa sajakah yang mempengaruhi PWI untuk tetap memasukkan wartawan infotainment ke dalam organisasinya? Bagaimanakah upaya pemerintah untuk mengendalikan kebebasan pers di Indonesia? Di makalah ini, saya akan mencoba menganalisis kasus tersebut, melalui kajian teori pengambilan keputusan.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini berfokus pada pengambilan keputusan yang dilakukan oleh PWI yang memasukkan wartawan infotainment dalam naungannya. Fokus permasalahannya yaitu:
1.      Bagaimanakah upaya pemerintah untuk menegakkan kebebasan pers yang bertanggung jawab?
2.      Bagaimanakah posisi wartawan infotainment dewasa ini?
3.      Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan yang diambil oleh PWI?

1.3 Tujuan Makalah
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa tujuan dari makalah ini yaitu:
1.      Untuk mengetahui upaya pemerintah untuk menegakkan kebebasan pers yang bertanggung jawab.
2.      Untuk mengetahui posisi wartawan infotainment pada saat ini.
3.      Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan yang diambil oleh PWI.

1.4 Manfaat Makalah
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis sebagai berikut :
1.      Memberikan informasi dan menambah wawasan pemikiran mengenai upaya pemerintah untuk menegakkan kebebasan pers yang bertanggung jawab.
2.      Memberikan informasi dan menambah wawasan pemikiran mengenai posisi wartawan infotainment pada saat ini.
3.      Memberikan informasi mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan yang diambil oleh PWI
4.      Sebagai masukan bagi pemerintah dalam menegakkan kebebasan pers yang bertanggung jawab.

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Studi Kasus
Jurnalistik yaitu aktivitas yang berkenaan dengan catatan atau suatu laporan kejadian setiap harinya. Jurnalis bebas berpendapat, mengeluarkan pikiran baik secara lisan maupun tulisan. Demi menegakkan kebebasan pers yang bertanggungjawab, pemerintah memberikan wewenang pada PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dengan menetapkan Kode Etik Jurnalistik yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh wartawan Indonesia.[1]
Kebebasan yang ditonjolkan oleh wartawan gosip sendiri merupakan kebebasan yang tidak bertanggungjawab dengan melanggar kode etik yang telah ditetapkan seperti cara mengejar narasumber, etika wawancara, etika mengambil gambar, etika menghargai hak-hak privasi narasumber, dan menerima amplop, misalnya. Dan mereka tetap mengartikannya sebagai kegiatan jurnalistik.
Seperti yang dijelaskan di bab latar belakang, permasalahan ini memunculkan dua kubu, yaitu kubu pro dan kontra. Kelompok yang pro, yang diwakili oleh PWI menegaskan bahwa mereka pekerja infotaimen adalah sah disebut sebagai wartawan dengan alasan kegiatan infotaimen menunjukkan aktifitas jurnalistik. Seperti membawa kamera, tape recording dan notes.[2] Mereka juga melakukan aktifitas liputan dan memburu subyek dan obyek sebagai berita. Meskipun secara substansial sangat cocok dengan peralatan jurnalistik, namun pekerjaan mereka lebih dekat pada gosip atau ghibah. Seperti mengejar dan memproduksi gosip selebritas, membuka aib keluarga orang seperti perceraian dan perselingkuhan para artis dan semacam lainnya.
Sementara kelompok kontra yang diwakili oleh Aliansi Junarlistik Indonesia (AJI) menolak identitas kewartawanan pekerja infotainmen dengan alasan bahwa jurnalisme merupakan sebuah tujuan moralitas kemanusiaan.[3] Dengan demikian, wartawan dalam konteks jurnalisme merupakan pekerjaan mulia yang memberikan nilai edukatif dan pencerahan bagi masyarakat luas. Dan aktifitas yang mengatasnamakan tugas jurnalistik tanpa menimbang etika dan tujuan moral jurnalisme, bukanlah termasuk dalam kelompok wartawan, tetapi hanya merupakan pekerja kreatif.
Mungkin alasan yang dipaparkan oleh PWI ada benarnya, bahwa wartawan jurnalistik menggunakan alat-alat jurnalistik seperti camera dan tape recorder. Tapi soal Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh PWI sendiri, jelas-jelas mereka melanggarnya.
UU Pers 40/1999 ayat 3 juga telah menyebutkan bahwa Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.[4] Maksudnya yaitu sebagai oreintasi kepentingan umum yang memiliki nilai-nilai edukatif dan pencerahan pada masyarakat bangsa. Bukan sekedar memberikan hiburan yang menggerus moral anak bangsa seperti produk gosip.
Koreksi selanjutnya adalah fakta perbagai pelanggaran kode etik wartawan (KEWI) yang dilakukan para pekerja infotainment tanpa malu-malu seperti melanggar hak privasi, sopan santun, praktek menekan kaidah off the record dan lain sebaginya. Tindakkan yang merupakan sebuah sikap pengkhianatan terhadap kemapanan tujuan jurnalisme murni yang sesuai dengan kode etik.
Menurut MUI, format penyajian pekerja infotainment juga tidak edukatif dan tidak bermanfaat bagi kepentingan umum, untuk itulah akhirnya MUI mengeluarkan fatwa haram untuk tidak menyaksikan acara infotaiment.[5] Karena itu, perlu dilakukan penertiban terhadap format materi infotainment yang secara normatif sebenarnya tidak layak dikonsumsi. Ketidaklayakan itu dikarenakan infotainment pada umumnya hanya berisi gosip dan pengeksposan terhadap kehidupan pribadi yang tak jarang berujung pada fitnah.
Menanggapi hal tersebut, PWI justru menyambut baik fatwa MUI yang mengharamkan berita bohong, isapan jempol dan bersifat membuka aib orang lain untuk disiarkan di media massa, baik cetak elektronik televisi dan radio, serta portal berita Internet. Menurut mereka, fatwa itu sejalan dengan prinsip PWI bahwa hanya infotainmen yang tunduk kepada Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan taat Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang dapat diakui sebagai karya jurnalistik. (Antara, 28/7/2010). Namun melihat kenyataan yang ada saat sekarang, wartawan infotainment tampaknya selalu bergelut dengan kemelencengan kode etik.

2.2 Kajian Teoritik Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh PWI dengan memasukkan wartawan infotainment ke dalam ranahnya tak dipungkiri didasari oleh beberapa faktor, baik itu faktor personal maupun faktor lingkungan.
Pertama yaitu faktor personal. Dalam arti kata dalam kasus ini yaitu, ada suatu faktor kepentingan seseorang yang memiliki tampuk kekuasaan dalam PWI. Adalah Ilham Bintang, selaku sekretaris kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang sekaligus pemilik sebuah Production House Infotainment, Cek dan Ricek. Wajar saja PWI memasukkan wartawan infotainment ke dalam ranah organisasinya jika salah seorang yang memiliki kuasa penuh dalam PWI ikut andil dalam pergelutan dunia infotainment tersebut.
Faktor kedua yaitu lingkungan. Indonesia merupakan negara dari sebuah bangsa yang menyukai hiburan dan hal-hal yang berbau senang-senang. Infotainment memiliki hal tersebut. Masyarakat Indonesia juga merupakan konsumer yang baik dalam hal berita gosip. Nah, mereka-mereka yang jeli melihat peluang besar itulah yang akan membiarkan infotainment terus berkembang, dan membiarkannya bernaung ke dalam organisasi pers independent terbesar sekaligus yang membuat Kode Etik Jurnalistik, yaitu PWI, agar aman. Biar berkhianat asal pemasukan mengalir deras. Sungguh ironi jika kita melihat nfotainment dalam media massa sudah seperti halnya game yang dimainkan industri hiburan berupa image yang sengaja dikembangkan dalam mengeruk untung yang besar. Bisnis Industri hiburan menjadikan kehidupan sehari-hari selebriti adalah bagian dari komoditas pasar.
Terry menyebutkan ada lima dasar pengambilan keputusan yang berlaku secara umum, yaitu insting, pengalaman, fakta, wewenang, dan rasional.[6] Dalam kasus ini, pengambilan keputusan PWI didasarkan pada faktor wewenang, dimana keputusan dilakukan oleh orang yang lebih tinggi kedudukannya. Jika Ilham Bintang, selaku sekretaris kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mengambil suatu keputusan, dapat dipastikan keputusan tersebut akan dipertimbangkan oleh jajaran staf beserta bawahannya, baik secara sukarela maupun secara terpaksa.
Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang ini menurut Terry memiliki beberapa kelemahan seperti dapat menimbulkan sifat rutinitas. Seperti halnya sekarang, tak terhitung banyaknya tayangan-tayangan infotainment yang disajikan di layar kaca, seakan-akan infotainment sudah menjadi bagian dari keidupan masyarakat. Mewabahnya infotainment di Indonesia ini disebabkan karena masuknya mereka ke ranah PWI. Dengan masuknya mereka ke PWI, tidak ada satupun yang akan bisa menghentikan mereka, secara PWI adalah organisasi pers terbesar di Indonesia.
Kelemahan yang lainnya yaitu sering melewatkan permasalahan yang harusnya dipecahkan sehingga menimbulkan kekaburan. Tidak jelas sekarang, apakah wartawan infotainment tersebut termasuk sebuah pekerjaan jurnalistik atau tidak. Mereka dianggap jurnalis karena berdiri di bawah payung hukum PWI, namun kegiatan yang mereka lakukan diluar dari Kode Etik Jurnalistik, yang notabene dibuat oleh PWI itu sendiri.
Pengambilan keputusan pada kasus ini pun diambil dalam kondisi yang beresiko, karena pengambilan keputusan dimana berlangsung hal-hal:
1.      Diasumsikan bahwa pengambil keputusan mengetahui peluang yang akan terjadi terhadap berbagai tindakan dan hasil. Ilham Bintang, sebagai salah satu pengambil keputusan sudah memperkirakan bahwa perusahaan Production House Infotainment yang dia miliki tidak akan digugat jika ada pemberitaan yang melanggar kode etik karena PWI telah mengklaim wartawan infotainment masuk kedalam kegiatan jurnalistik.
2.      Lingkungan dalam hal tidak pasti. Kekuasaan si pengambil keputusan di organisasi pers terbesar membuat ia tetap bisa menjalankan keputusannya tersebut. Ditambah lagi dengan banyaknya permasalahan di Indonesia yang membuat masalah kebebasan pers yang bertanggungjawab tidak begitu diperhitungkan oleh pemerintah.


BAB 3
KESIMPULAN

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers sudah seharusnya menghormati hak asasi setiap orang. Ada terdapat salah satu pasal yang menarik dalam undang-undang pers yang sering ditabrak oleh para pekerja infotainment. Pasal 5 ayat (1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.[7] Pasal ini seharusnya menjadi dasar pijakan bagi semua pekerja media, kususnya pekerja infotainment agar dalam melakukan kegiatan jurnalistik, bobot informasi yang disampaikan tidak bertentangan dengan norma-norma agama dan nilai-nilai sosial, sehingga  memiliki manfaat positif bagi  khalayak.
Sebagai realitas jaman, profesi wartawan hiburan atau pekerja infotainment yang memiliki wajah dan realitas dilematik tersebut (keraguan apakah pekerja infotainment adalah wartawan atau tidak), pada dasarnya harus segera dibenahi. Pengakuan eksistensi mereka sebagai wartawan oleh PWI, misalnya, harus memiliki konsekuensi moral pada PWI sendiri. PWI juga hendaknya mengambil keputusan atas dasar prinsip organisasi, pada realita dan dasar-dasar yang jelas, bukan pada kepentingan-kepentingan para pemegang kekuasaan semata.
Konsekuensi moral tersebut, pada langkah berikutnya haruslah dimaterialkan dalam bentuk tanggung jawab besar dengan memberikan tindakkan pelurusan dan pembinaan terhadap pekerja infotainment secara konkret dan progersif. Sikap ini adalah konsekuensi logis ketika PWI mengakomodasi dan mengakui pekerja infotainment sebagai wartawan. Sehingga di kemudian hari, pekerja infotainment tersebut bisa melakukan pekerjaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip kerja jurnalisme yang diikat oleh kode etiknya. Dengan demikian, selanjutnya barangkali, eksistensi pekerja infotainment tak perlu lagi diperdebatkan.





DAFTAR PUSTAKA

Refleksi Hari Pers: Wartawan Bukan Wartawan, Kompas, Edisi Minggu, 17 April 2011
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
lodarfredek.blogspot.com, judul: Patutkah Pekerja Infotainment Disebut Jurnalis? Diakses 17 April 2011
Harbani, Pasolong. 2008. Kepemimpinan Birokrasi. Bandung: Alfabeta



[1] Pembukaan kode etik jurnalistik, paragraf 3
[2] 3 Refleksi Hari Pers: Wartawan Bukan Wartawan, Kompas, Minggu, 17 April 2011

[4] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
[5] lodarfredek.blogspot.com, judul postingan: Patutkah Pekerja Infotainment Disebut Jurnalis?
[6] Kepemimpinan Birokrasi. Harbani, Pasolong. 2008. Bandung: Alfabeta
[7] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS