REVIEW BUKU EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK, KARANGAN SAMODRA WIBAWA, HAL 1-40.


Dalam buku ini pemerintah dianggap sebagai suatu organisasi yang menyerap semua tuntutan dan kepentingan para pelaku politik, menghimpun sumber daya dari para pelaku ini dan memenuhi tuntutan serta kepentingan masyarakat. Karena tidak semua tuntutan dapat dipenuhi dalam waktu yang bersamaan, terutama disebabkan oleh jumlah dan kualitas sumber daya yang lebih sedikit dibanding tuntutan tersebut, maka pemerintah selalu melakukan penyaringan dan pemilihan tuntutan atau kepentingan. Ada tuntutan yang dapat dipenuhi segera, tapi tidak sedikit yang harus ditunda dan disingkirkan. Hasil penyaringan dan pemilihan inilah yang dirumuskan sebagai kebijakan publik.
Suatu kebijakan pastinya mempunyai suatu rangkaian proses. Mulai dari proses formulasi, yaitu merumuskan kebijakan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Kemudian implementasi kebijakan, yaitu proses pelaksanaan dari kebijakan yang telah di buat, agar tujuan dari kebijakan tersebut tercapai. Proses yang terakhir yaitu proses evaluasi, tujuannya untuk meninjau kembali apakah kebijakan sudah berjalan sebagaimana mestinya, dan apakah sudah mencapai tujuan kebijakan atau belum.
Kebijakan publik merupakan sebuah aksi yang ditimbulkan atas keluhan dan permasalahan yang dilemparkan oleh masyarakat. Kebijakan publik juga menimbulkan suatu konsekuensi atau dampak yang merupakan perubahan kondisi fisik maupun sosial akibat output dari kebijakan. Tak jarang juga kebijakan publik dibuat berdasarkan tujuan untuk memenuhi tuntutan aktor kebijakan. Hanya saja, karena alasan politik, tujuan kebijakan sering dirumuskan secara kabur dan tidak transparansi. Suatu kebijakan sering dibuat untuk mencapai maksud dan kepentingan yang berbeda dengan apa yang dirumuskan.
Seringkali tindakan kebijakan yang telah dirancang sedemikian rupa tidak dapat mewujudkan semua kehendak kebijakan. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh lemahnya daya antisipasi para pembuat kebijakan maupun pendesain program dan proyek, terganggunya implementasi oleh kondisi lingkungan yang tidak teramalkan sebelumnya. Oleh karena itu, untuk kepentingan inilah evaluasi kebijakan dilakukan oleh pemerintah.
Kegiatan evaluasi ini dalam beberapa hal mirip dengan pengawasan dan kontrol. Pelaku utamanya jelas pemerintah, akan tetapi sering pelaku yang lain seperti lembaga penelitian yang independen, partai politik, dan tokoh-tokoh masyarakat.
 Evaluasi tersebut tidak hanya terjadi pada saat akhir saja, tetapi pada setiap proses, baik formulasi maupun implementasi. Evaluasi kebijakan merupakan aktivitas ilmiah yang perlu dilakukan oleh para pengambil kebijakan di dalam tubuh birokrasi pemerintah maupun organisasi sosial dan politik. Di tangan aktor kebijakan ini, evaluasi memiliki fungsi yang sangat penting, yaitu memberikan masukan bagi penyempurnaan kebijakan. Dengan melakukan evaluasi, pemerintah dapat meningkatkan efektivitas program-program mereka sehingga meningkat pula kepuasan publik terhadap kebijakan pemerintah. Kemudian, hasil evaluasi tersebut dapat digunakan untuk memperkuat argumentasi agar pemerintah melakukan perbaikan terhadap kebijakannya sehingga asas keadilan, kemerataan, dan demokrasi lebih diperhatikan oleh pemerintah.
Evaluasi ada dua, yang pertama evaluasi implementasi, dan yang kedua yaitu evaluasi dampak kebijakan. Ada tiga buah model evaluasi implementasi kebijakan. Pertama, model Meter dan Horn yang menjelaskan hubungan antar aktor yang mempengaruhi hasil dan kinerja suatu kebijakan, yaitu; (1) kompetensi dan jumlah staf, (2) rentang dan derajat pengendalian, (3) dukungan politik yang dimiliki, (4) kekuatan organisasi, (5) derajat keterbukaan dan kebebasan komunikasi, (6) keterkaitan dengan pembuat kebijakan. .
Kedua, model Grindle yang menyatakan keefektifan implementasi kebijakan tergantung dari isi kebijakan dan konteks implementasinya. Menurut Grindle, isi kebijakan mencakup; (1) kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan, (2) jenis manfaat yang akan dihasilkan, (3) derajat perubahan yang diinginkan, (4) kedudukan pembuat kebijakan, (5) pelaksana program, (6) sumberdaya yang digunakan.
Ketiga, model Sabatier dan Mazmian, yang menjelaskan bahwa implementasi kebijakan merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu; (1) karakteristik masalah, (2) struktur manajemen program, (3) faktor-faktor diluar peraturan. Model ini menekankan pada perhatian pada dua hal mendasar, yaitu kebijakan dan lingkungan kebijakan. Kelemahannya yaitu, Sabatier dan mazmanian terlalu menganggap suatu implementasi akan efektif apabila birokrasi pelaksanaannya mematuhi peraturan yang telah dibuat.
Dengan memahami model-model tersebut, para evaluator dapat lebih cermat melakukan evaluasi, sehingga banyak persoalan dapat dianalisis secara komprehensif dan tidak parsial, dan serta dapat memperluas hasil pengamatan evaluator.
Selanjutnya yaitu evaluasi dampak kebijakan, yaitu evaluasi yang memberikan perhatian yang lebih besar kepada output dan dampak kebijakan dibandingkan kepada proses pelaksanaannya. Dalam buku ini dijelaskan, ada dampak yang diharapkan dan dampak yang tidak diharapkan. Dampak yang diharapkan maksudnya adalah ketika kebijakan dibuat, pemerintah telah menentukan atau memetakan dampak apa saja yang akan terjadi. Lebih dari itu, pada akhir implementasi kebijakan muncul juga dampak-dampak yang tidak terduga.
Dalam hal ini yang dievaluasi yaitu mulai dari peramalan kebijakan (forecasting). Contohnya saja kita mengkaji evaluasi dampak kebijakan pada kebijakan pembuatan Terminal Regional Bingkuang Kota Padang. Dalam implementasinya, kebijakan ini tidak berjalan seperti tujuan yang telah ditetapkan. Kevakuman Terminal Regional Bingkuang (TRB) di Aia Pacah, By Pass, Kota Padang selama 10 tahun yang dibangun tahun 1996 senilai Rp 15 miliar tersebut menuai kontroversi baik dari pemerintah maupun dari elemen masyarakat seperti pedagang, supir angkutan umum, dan lainnya.Hal ini menunjukkan bahwa para pembuat kebijakan tidak mampu meramalkan dampak dari kebijakan pembangunan terminal tersebut, yang selain telah banyak membuang dana secara percuma, juga mengakibatkan semrawutnya daerah di pusat Kota Padang karena tidak adanya terminal yang berfungsi secara aktif dan maksimal.
Selanjutnya analisis evaluasi dilanjutkan dengan karakteristik Analisis Dampak Sosial (ADS). Seringkali suatu ADS membawa konsekuensi pada diubahnya kebijakan. Seperti kasus pembangunan TRB Aia Pacah, dimana pemerintah mengharapkan dengan membangun terminal akan lebih memperluas pemerataan penduduk dan kota ke daerah timur. Setelah dilakukan ADS mungkin memberikan hasil negatif seperti terminal tersebut tidak akan efektif digunakan mengingat masih kurangnya infrastruktur dan langkanya akses menuju kesana, namun pemerintah nekat dan tetap membangun terminal.
Selanjutnya yaitu langkah-langkah ADS. Langkah-langkah ini bertujuan agar pemerintah dapat memberikan fasilitas dan pelayanan tambahan agar kebijakan lebih sempurna. Misalnya saja, untuk melengkapi program pembangunan tersebut perlu dibangun infrastruktur penunjang dan menata ulang kembali terminal dengan melibatkan seluruh aspek seperti dinas transportasi dan tata letak kota, supir-supir angkot, masyarakat dan pedagang.
Terakhir yaitu dimensi-dimensi dampak. Dalam hal ini evaluator perlu memperhatikan beberapa dimensi, yaitu waktu, selisih antara dampak aktual dan yang diharapkan, tingkat agregasi dampak, dan jenis dampak. Selain itu evaluator juga perlu mencermati tiga persoalan lain seperti wilayah program, apakah program berlingkup nasional, propinsi, kota, kecamatan, atau desa. Kedua, ukuran program, yaitu berapa jumlah individu yang dilayani untuk setiap satuan wilayah program. Ketiga yaitu kebaruan program, apakah dampak yang diharapkan oleh program tersebut dianggap baru.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment