IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAN RETRIBUSI

 BAB I
Pendahuluan
Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[1]
Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber penerimaan daerah sendiri perlu terus ditingkatkan agar dapat menanggung sebagian beban belanja yang diperlukan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan pembangunan yang setiap tahun meningkat sehingga kemandirian otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab dapat dilaksanakan. Dan sebagaimana diatur dalam pasal 6 UU No 33 Tahun 2004, pajak dan retribusi daerah merupakan sumber-sumber PAD.
Undang-undang pajak daerah dan retribusi daerah telah diganti sebanyak dua kali. Yang pertama pada tahun 2000 dan yang ke dua pada tahun 2009. Terwujudnya pelaksanaan otonomi daerah, terjadi melalui proses penyerahan sejumlah kekuasaan/ kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah di mana implementasi kebijakan desentralisasi memerlukan banyak faktor pendukung. Salah satu faktor pendukung yang secara signifikan menentukan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah kemampuan daerah untuk membiayai pelaksanaan kekuasaan/kewenangan yang dimilikinya.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan langkah yang sangat strategis untuk lebih memantapkan kebijakan desentralisasi fiskal, khususnya dalam rangka membangun hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang lebih ideal.
Sebagai salah satu bagian dari continuous improvement, maka Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang baru ini setidaknya memperbaiki 3 (tiga) hal pokok, yaitu penyempurnaan sistem pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, pemberian kewenangan yang lebih besar kepada Daerah di bidang perpajakan daerah (Local faxing empowerment), serta peningkatan efektifitas pengawasan.
Berdasarkan keterangan di atas, untuk itu penulis akan menjelaskan mengenai implementasi UU N0 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah, dan akan di fokuskan pada pajak restoran yang di berlakukan 10% di Kota Padang.

BAB II
Pembahasan
Restoran adalah tempat menyantap makanan dan minuman yang disediakan dengan dipungut bayaran, tidak termasuk usaha jasa boga atau katering[2]. Subyek pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran kepada restoran.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pajak adalah dengan memberlakukan pajak restoran sebesar 10 persen. Pemberlakuan pajak terhadap restoran diterapkan karena dinilai sudah masuk dalam objek pajak menurut Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Berdasarkan Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 Pasal 1 Ayat 23 : “Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering”. Namun, undang-undang ini perlu diperjelas terlebih dahulu apakah memang undang-undang yang akan dijadikan acuan ini sudah sesuai dan tepat, jangan sampai penerapan pajak justru mengakibatkan kesengsaraan bagi masyarakat, hal ini bertentangan dengan pasal 1 ayat 10 yang ada dalam undang-undang tersebut:
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 
Kemudian, dari pasal 40 ayat 1 yang menjelaskan bahwa pajak restoran adalah sebesar 10%. Namun, disini tidak disebutkan nilai (omset atau keuntungan) minimal yang didapat oleh restoran sehingga dapat dikategorikan sebagai wajib pajak. Hal ini jelas saja membuat para pengusaha restoran di Kota Padang yang baru berkembang menjadi cemas.
Di UU ini juga tidak dirinci secara jelas bagaimana formulasi perhitungan pajak untuk restoran sehingga ada kemungkinan perumusan formula yang menguntungkan beberapa pihak saja atau langsung mengambil batas maksimal. Jadi, Proses penyetoran pajak hendaknya harus diperjelas dalam peraturan pemerintahan daerah, agar tidak terjadi penyelewengan dalam pelaksanaan. Restoran yang akan menjadi wajib pajak haruslah restoran yang memang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, jangan sampai undang-undang ini menjadi alat untuk memeras rakyat kecil.
Kita juga harus mengacu pada syarat pemungutan pajak, agar tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan dalam pemungutannya.[3] Syarat-syaratnya antara lain, pertama, syarat keadilan. Yaitu pemungutan pajak harus sesuai dengan tujuan hukum, yaitu mencapai keadilan undang-undang dan pelaksanaan pemungutannya harus adil. Yaitu seperti mengenakan pajak secara umum dan merata serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pemungutannya yaitu dengan memberi hak bagi wajib untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran, dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak. Dalam implementasinya, pemerintah tidak menetapkan batasan penghasilan minimalnya, sehingga pengusaha restoran kecil pun menjadi cemas.
Kedua yaitu syarat yuridis, yaitu didasarkan pada undang-undang. Undang-undang disini yaitu tentu saja UU No 28 Tahun 2009, namun, menurut penulis, masih perlu dilakukan revisi ulang agar pajak dan retribusi dilaksanakan tepat sasaran. Pemerintah juga harus memastikan bahwa pengusaha warung tegal yang sudah memiliki omzet dan keuntugnan yang besar yang menjadi wajib pajak, bukan mereka yang masih tertatih dalam mengais rejeki melalui warung yang mereka bangun. Kelompok pengusaha kecil ini telah terbiasa dengan tata cara yang sederhana, pemerintah daerah bertanggung jawab besar untuk memberikan pelajaran tentang apa yang harus mereka lakukan, hak serta kewajiban yang mereka miliki.
Ketiga yaitu syarat ekonomis, dimana pemungutan pajak tidak sampai mengganggu perekonomian khususnya pada kegiatan perdagangan sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat. Untuk pengusaha restoran sendiri, penerapan undang-undang ini akan berakibat besar bagi usahanya. Para pengusaha yang mayoritas berasal dari masyarakat menegah ke bawah dan pendidikan minim ini harus bersusah payah mencoba mengerti mengenai peraturan perpajakan yang berkaitan dengan usaha mereka, baik acuan dasar, cara perhitungan dan penyetorannya.
Keempat yaitu syarat finansial, dimana pemungutan pajak harus efisien dan didasarkan pada fungsi budgeter, artinya biaya pemungutan pajak harus ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutan.
Kelima, sistem pemungutan pajak harus sederhana, karena akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan.



BAB III
KESIMPULAN

Peningkatan pendapatan daerah melalui pajak untuk restoran adalah langkah yang memiliki dua sisi. Sisi positifnya adalah, pemberlakuan ini akan membantu pemerintah untuk mengembangan daerah serta masyarakat jika peraturan yang melandasi serta pelaksanaan dilapangan sesuai dengan yang ditetapkan.
Namun, jangan dilupakan bahwa jika sejak awal peraturan yang buat sebagai acuan serta pelaksanaan dilapangan sudah tidak tepat, adil dan tegas maka akibat negatif akan semakin besar terasa bagi masyarakat, kalangan menengah kebawah pada khususnya. Penulis menganggap peran pemerintah dan masyarakat untuk saling membantu, menjaga dan mengawasi adalah faktor utama untuk membuat pelaksannan undang-undang ini memberikan hasil yang baik bagi masyarakat, bangsa dan negara.


[1] Nurlan Darise, Pengelolaan Keuangan Daerah, hal 43
[2] Nurlan Darise, Pengelolaan Keuangan Daerah, hal 62
[3] Nurlan Darise, Pengelolaan Keuangan Daerah, hal 45

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment