Analisis Teknik Pengambilan Keputusan (Studi Kasus: Pengambilan Keputusan yang Dilakukan PWI dalam Penggolongan Wartawan Infotainment ke Kegiatan Jurnalistik)

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Peristiwa reformasi 1998, yaitu massa ketika suara pers dibungkam, tampaknya memiliki peran yang cukup besar dalam memberikan kebebasan pers bagi para insan jurnalistik tanpa dikekang oleh pemerintah. Apalagi sejak dikeluarkannya peraturan tentang pers, yaitu UU no. 40 yang menyebabkan semakin menjamurnya media cetak maupun elektronik.
Seiring dengan perkembangan tersebut, sejumlah media berlomba-lomba untuk mencari pasar tersendiri bagi berita atau informasi yang akan disampaikan. Inovasi-inovasipun harus dicari oleh masing-masing media agar mereka tidak kalah bersaing dengan media massa yang lain. Salah satu jenis pemberitaan yang paling berkembang di pasca reformasi adalah infotainment, yang menggabungkan informasi dengan entertainment. Penyampaian beritanya lebih fleksibel dan tidak kaku, serta ada unsur-unsur menghibur di dalamnya.
Kebebasan pers, sebagai hadiah dari pasca reformasi bagi insan jurnalistik, seringkali diartikan lain oleh para wartawan infotainment. Puncaknya pada kasus perseteruan Luna Maya di dunia maya dengan pekerja infotaimen yang mengakibatkan ia dituntut dan dijerat dengan pasal UU ITE (Informasi dan Transasksi Elektronik), tentang pencemaran nama baik. Sejak saat itu, status pekerja infotainmen sebagai jurnalis mulai dipertanyakan oleh berbagai kalangan, sebab dinilai telah melakukan pelanggaran terhadap etika profesi jurnalistik.
Permasalahan tersebut kemudian memunculkan pro dan kontra mengenai pengkategorian wartawan infotainment sebagai salah satu kegiatan jurnalistik. Dalam hal ini PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) mewakili kelompok yang pro. Sementara kelompok kontra yang diwakili oleh Aliansi Junarlistik Indonesia (AJI) menolak identitas keawartawanan pekerja infotaiment.
Keputusan PWI (yang notabene sebuah wadah pers terbesar dan tertua di Indonesia serta mengayomi seluruh media-media pers) memasukkan wartawan infotainment kedalam organisasinya jelas-jelas membuat beberapa pihak wartawan, masyarakat pemerhati media, termasuk pemerintah merasa kecewa. Bahkan PWI memiliki Divisi Infotainment dalam kepengurusannya. Padahal, Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sepakat infotainment bukanlah berita. Produk infotainment tak bisa dimasukkan sebagai karya jurnalistik.
Di tengah kondisi yang penuh dengan kontra dari berbagai pihak tersebut, kenapa PWI tetap bersikeras menegakkan keputusan yang diambilnya? Faktor apa sajakah yang mempengaruhi PWI untuk tetap memasukkan wartawan infotainment ke dalam organisasinya? Bagaimanakah upaya pemerintah untuk mengendalikan kebebasan pers di Indonesia? Di makalah ini, saya akan mencoba menganalisis kasus tersebut, melalui kajian teori pengambilan keputusan.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini berfokus pada pengambilan keputusan yang dilakukan oleh PWI yang memasukkan wartawan infotainment dalam naungannya. Fokus permasalahannya yaitu:
1.      Bagaimanakah upaya pemerintah untuk menegakkan kebebasan pers yang bertanggung jawab?
2.      Bagaimanakah posisi wartawan infotainment dewasa ini?
3.      Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan yang diambil oleh PWI?

1.3 Tujuan Makalah
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa tujuan dari makalah ini yaitu:
1.      Untuk mengetahui upaya pemerintah untuk menegakkan kebebasan pers yang bertanggung jawab.
2.      Untuk mengetahui posisi wartawan infotainment pada saat ini.
3.      Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan yang diambil oleh PWI.

1.4 Manfaat Makalah
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis sebagai berikut :
1.      Memberikan informasi dan menambah wawasan pemikiran mengenai upaya pemerintah untuk menegakkan kebebasan pers yang bertanggung jawab.
2.      Memberikan informasi dan menambah wawasan pemikiran mengenai posisi wartawan infotainment pada saat ini.
3.      Memberikan informasi mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan yang diambil oleh PWI
4.      Sebagai masukan bagi pemerintah dalam menegakkan kebebasan pers yang bertanggung jawab.

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Studi Kasus
Jurnalistik yaitu aktivitas yang berkenaan dengan catatan atau suatu laporan kejadian setiap harinya. Jurnalis bebas berpendapat, mengeluarkan pikiran baik secara lisan maupun tulisan. Demi menegakkan kebebasan pers yang bertanggungjawab, pemerintah memberikan wewenang pada PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dengan menetapkan Kode Etik Jurnalistik yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh wartawan Indonesia.[1]
Kebebasan yang ditonjolkan oleh wartawan gosip sendiri merupakan kebebasan yang tidak bertanggungjawab dengan melanggar kode etik yang telah ditetapkan seperti cara mengejar narasumber, etika wawancara, etika mengambil gambar, etika menghargai hak-hak privasi narasumber, dan menerima amplop, misalnya. Dan mereka tetap mengartikannya sebagai kegiatan jurnalistik.
Seperti yang dijelaskan di bab latar belakang, permasalahan ini memunculkan dua kubu, yaitu kubu pro dan kontra. Kelompok yang pro, yang diwakili oleh PWI menegaskan bahwa mereka pekerja infotaimen adalah sah disebut sebagai wartawan dengan alasan kegiatan infotaimen menunjukkan aktifitas jurnalistik. Seperti membawa kamera, tape recording dan notes.[2] Mereka juga melakukan aktifitas liputan dan memburu subyek dan obyek sebagai berita. Meskipun secara substansial sangat cocok dengan peralatan jurnalistik, namun pekerjaan mereka lebih dekat pada gosip atau ghibah. Seperti mengejar dan memproduksi gosip selebritas, membuka aib keluarga orang seperti perceraian dan perselingkuhan para artis dan semacam lainnya.
Sementara kelompok kontra yang diwakili oleh Aliansi Junarlistik Indonesia (AJI) menolak identitas kewartawanan pekerja infotainmen dengan alasan bahwa jurnalisme merupakan sebuah tujuan moralitas kemanusiaan.[3] Dengan demikian, wartawan dalam konteks jurnalisme merupakan pekerjaan mulia yang memberikan nilai edukatif dan pencerahan bagi masyarakat luas. Dan aktifitas yang mengatasnamakan tugas jurnalistik tanpa menimbang etika dan tujuan moral jurnalisme, bukanlah termasuk dalam kelompok wartawan, tetapi hanya merupakan pekerja kreatif.
Mungkin alasan yang dipaparkan oleh PWI ada benarnya, bahwa wartawan jurnalistik menggunakan alat-alat jurnalistik seperti camera dan tape recorder. Tapi soal Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh PWI sendiri, jelas-jelas mereka melanggarnya.
UU Pers 40/1999 ayat 3 juga telah menyebutkan bahwa Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.[4] Maksudnya yaitu sebagai oreintasi kepentingan umum yang memiliki nilai-nilai edukatif dan pencerahan pada masyarakat bangsa. Bukan sekedar memberikan hiburan yang menggerus moral anak bangsa seperti produk gosip.
Koreksi selanjutnya adalah fakta perbagai pelanggaran kode etik wartawan (KEWI) yang dilakukan para pekerja infotainment tanpa malu-malu seperti melanggar hak privasi, sopan santun, praktek menekan kaidah off the record dan lain sebaginya. Tindakkan yang merupakan sebuah sikap pengkhianatan terhadap kemapanan tujuan jurnalisme murni yang sesuai dengan kode etik.
Menurut MUI, format penyajian pekerja infotainment juga tidak edukatif dan tidak bermanfaat bagi kepentingan umum, untuk itulah akhirnya MUI mengeluarkan fatwa haram untuk tidak menyaksikan acara infotaiment.[5] Karena itu, perlu dilakukan penertiban terhadap format materi infotainment yang secara normatif sebenarnya tidak layak dikonsumsi. Ketidaklayakan itu dikarenakan infotainment pada umumnya hanya berisi gosip dan pengeksposan terhadap kehidupan pribadi yang tak jarang berujung pada fitnah.
Menanggapi hal tersebut, PWI justru menyambut baik fatwa MUI yang mengharamkan berita bohong, isapan jempol dan bersifat membuka aib orang lain untuk disiarkan di media massa, baik cetak elektronik televisi dan radio, serta portal berita Internet. Menurut mereka, fatwa itu sejalan dengan prinsip PWI bahwa hanya infotainmen yang tunduk kepada Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan taat Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang dapat diakui sebagai karya jurnalistik. (Antara, 28/7/2010). Namun melihat kenyataan yang ada saat sekarang, wartawan infotainment tampaknya selalu bergelut dengan kemelencengan kode etik.

2.2 Kajian Teoritik Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh PWI dengan memasukkan wartawan infotainment ke dalam ranahnya tak dipungkiri didasari oleh beberapa faktor, baik itu faktor personal maupun faktor lingkungan.
Pertama yaitu faktor personal. Dalam arti kata dalam kasus ini yaitu, ada suatu faktor kepentingan seseorang yang memiliki tampuk kekuasaan dalam PWI. Adalah Ilham Bintang, selaku sekretaris kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang sekaligus pemilik sebuah Production House Infotainment, Cek dan Ricek. Wajar saja PWI memasukkan wartawan infotainment ke dalam ranah organisasinya jika salah seorang yang memiliki kuasa penuh dalam PWI ikut andil dalam pergelutan dunia infotainment tersebut.
Faktor kedua yaitu lingkungan. Indonesia merupakan negara dari sebuah bangsa yang menyukai hiburan dan hal-hal yang berbau senang-senang. Infotainment memiliki hal tersebut. Masyarakat Indonesia juga merupakan konsumer yang baik dalam hal berita gosip. Nah, mereka-mereka yang jeli melihat peluang besar itulah yang akan membiarkan infotainment terus berkembang, dan membiarkannya bernaung ke dalam organisasi pers independent terbesar sekaligus yang membuat Kode Etik Jurnalistik, yaitu PWI, agar aman. Biar berkhianat asal pemasukan mengalir deras. Sungguh ironi jika kita melihat nfotainment dalam media massa sudah seperti halnya game yang dimainkan industri hiburan berupa image yang sengaja dikembangkan dalam mengeruk untung yang besar. Bisnis Industri hiburan menjadikan kehidupan sehari-hari selebriti adalah bagian dari komoditas pasar.
Terry menyebutkan ada lima dasar pengambilan keputusan yang berlaku secara umum, yaitu insting, pengalaman, fakta, wewenang, dan rasional.[6] Dalam kasus ini, pengambilan keputusan PWI didasarkan pada faktor wewenang, dimana keputusan dilakukan oleh orang yang lebih tinggi kedudukannya. Jika Ilham Bintang, selaku sekretaris kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mengambil suatu keputusan, dapat dipastikan keputusan tersebut akan dipertimbangkan oleh jajaran staf beserta bawahannya, baik secara sukarela maupun secara terpaksa.
Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang ini menurut Terry memiliki beberapa kelemahan seperti dapat menimbulkan sifat rutinitas. Seperti halnya sekarang, tak terhitung banyaknya tayangan-tayangan infotainment yang disajikan di layar kaca, seakan-akan infotainment sudah menjadi bagian dari keidupan masyarakat. Mewabahnya infotainment di Indonesia ini disebabkan karena masuknya mereka ke ranah PWI. Dengan masuknya mereka ke PWI, tidak ada satupun yang akan bisa menghentikan mereka, secara PWI adalah organisasi pers terbesar di Indonesia.
Kelemahan yang lainnya yaitu sering melewatkan permasalahan yang harusnya dipecahkan sehingga menimbulkan kekaburan. Tidak jelas sekarang, apakah wartawan infotainment tersebut termasuk sebuah pekerjaan jurnalistik atau tidak. Mereka dianggap jurnalis karena berdiri di bawah payung hukum PWI, namun kegiatan yang mereka lakukan diluar dari Kode Etik Jurnalistik, yang notabene dibuat oleh PWI itu sendiri.
Pengambilan keputusan pada kasus ini pun diambil dalam kondisi yang beresiko, karena pengambilan keputusan dimana berlangsung hal-hal:
1.      Diasumsikan bahwa pengambil keputusan mengetahui peluang yang akan terjadi terhadap berbagai tindakan dan hasil. Ilham Bintang, sebagai salah satu pengambil keputusan sudah memperkirakan bahwa perusahaan Production House Infotainment yang dia miliki tidak akan digugat jika ada pemberitaan yang melanggar kode etik karena PWI telah mengklaim wartawan infotainment masuk kedalam kegiatan jurnalistik.
2.      Lingkungan dalam hal tidak pasti. Kekuasaan si pengambil keputusan di organisasi pers terbesar membuat ia tetap bisa menjalankan keputusannya tersebut. Ditambah lagi dengan banyaknya permasalahan di Indonesia yang membuat masalah kebebasan pers yang bertanggungjawab tidak begitu diperhitungkan oleh pemerintah.


BAB 3
KESIMPULAN

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers sudah seharusnya menghormati hak asasi setiap orang. Ada terdapat salah satu pasal yang menarik dalam undang-undang pers yang sering ditabrak oleh para pekerja infotainment. Pasal 5 ayat (1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.[7] Pasal ini seharusnya menjadi dasar pijakan bagi semua pekerja media, kususnya pekerja infotainment agar dalam melakukan kegiatan jurnalistik, bobot informasi yang disampaikan tidak bertentangan dengan norma-norma agama dan nilai-nilai sosial, sehingga  memiliki manfaat positif bagi  khalayak.
Sebagai realitas jaman, profesi wartawan hiburan atau pekerja infotainment yang memiliki wajah dan realitas dilematik tersebut (keraguan apakah pekerja infotainment adalah wartawan atau tidak), pada dasarnya harus segera dibenahi. Pengakuan eksistensi mereka sebagai wartawan oleh PWI, misalnya, harus memiliki konsekuensi moral pada PWI sendiri. PWI juga hendaknya mengambil keputusan atas dasar prinsip organisasi, pada realita dan dasar-dasar yang jelas, bukan pada kepentingan-kepentingan para pemegang kekuasaan semata.
Konsekuensi moral tersebut, pada langkah berikutnya haruslah dimaterialkan dalam bentuk tanggung jawab besar dengan memberikan tindakkan pelurusan dan pembinaan terhadap pekerja infotainment secara konkret dan progersif. Sikap ini adalah konsekuensi logis ketika PWI mengakomodasi dan mengakui pekerja infotainment sebagai wartawan. Sehingga di kemudian hari, pekerja infotainment tersebut bisa melakukan pekerjaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip kerja jurnalisme yang diikat oleh kode etiknya. Dengan demikian, selanjutnya barangkali, eksistensi pekerja infotainment tak perlu lagi diperdebatkan.





DAFTAR PUSTAKA

Refleksi Hari Pers: Wartawan Bukan Wartawan, Kompas, Edisi Minggu, 17 April 2011
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
lodarfredek.blogspot.com, judul: Patutkah Pekerja Infotainment Disebut Jurnalis? Diakses 17 April 2011
Harbani, Pasolong. 2008. Kepemimpinan Birokrasi. Bandung: Alfabeta



[1] Pembukaan kode etik jurnalistik, paragraf 3
[2] 3 Refleksi Hari Pers: Wartawan Bukan Wartawan, Kompas, Minggu, 17 April 2011

[4] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
[5] lodarfredek.blogspot.com, judul postingan: Patutkah Pekerja Infotainment Disebut Jurnalis?
[6] Kepemimpinan Birokrasi. Harbani, Pasolong. 2008. Bandung: Alfabeta
[7] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment