DAK Pendidikan Indonesia

BAB I.
PENDAHULUAN

DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di Daerah tertentu yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah.
  DAK Bidang Pendidikan adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas Nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana satuan pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun yang belum mencapai standar tertentu atau percepatan pembangunan daerah di bidang pendidikan dasar.
Berdasarkan penetapan alokasi DAK yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, menteri teknis menyusun Petunjuk Teknis Penggunaan DAK (Ps. 59 ayat 1 PP No. 5/2005). Petunjuk Teknis Penggunaan DAK dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri (Ps. 59 ayat 2 PP No. 55/2005).
Sasarannya yaitu satuan pendidikan SD/SDLB dan SMP baik negeri maupun swasta, dengan arah kegiatan: pembangunan ruang/gedung perpustakaan SD/SDLB dan SMP  beserta perabot meubelair perpustakaan, penyediaan sarana penunjang peningkatan  mutu pendidikan SD/SDLB dan SMP, pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB) SMP, dan rehabilitasi ruang SMP.
Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Sesuai dengan visi tersebut, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Untuk memenuhi hak warga negara, pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
Di Indonesia sendiri, masih banyak warga negara yang tidak mengecap wajib belajar 9 tahun, dan sebagian besarnya disebabkan oleh faktor ekonomi. Menurut data dari Depdiknas, angka putus sekolah untuk tingkat SMA pada 2007-2008 dari 33 provinsi  mencapai 127.720 orang atau 3,56%. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 115.036 atau 3,29%.[1]  Hal tersebut menunjukkan lemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik.
Untuk mengejar ketertinggalan dunia pendidikan baik dari segi mutu dan alokasi anggaran pendidikan dibandingkan dengan negara lain, UUD 1945 mengamanatkan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dengan kenaikan jumlah alokasi anggaran pendidikan diharapkan terjadi pembaharuan sistem pendidikan nasional yaitu dengan memperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Pemerintah dirasa  perlu  memberikan prioritas kepada dunia pendidikan dengan alokasi anggaran yang lebih besar lagi. Atau, sekurang-kurangnya, tidak mengurang-ngurangi jatah untuk anggaran pendidikan di APBD. Undang-undang No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ayat 1 menyatakan, ”Pemerintah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.
Seberapa besar komitmen pemerintah terhadap pembangunan pendidikan antara lain tercermin dari anggaran pendidikan yang disediakan dalam APBN dan APBD. Besarnya dana pendidikan seperti ditetapkan dalam amandemen Pasal 31 UUD 1945, dipertegas dalam Pasal 49 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD. Oleh karena itu, secara sederhana, makin besar penerimaan negara dan daerah makin besar alokasi dana untuk sektor pendidikan.[2]
Pendanaan pendidikan dari sumber APBN dan APBD mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Besaran dana pendidikan yang memadai menjamin penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Pembagian tanggung jawab dan kewenangan yang jelas antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota akan dapat mengoptimalkan dan mengefisienkan alokasi dana pendidikan. Penggunaan dana pendidikan yang sesuai dan tepat memungkinkan peanglakosian dana yang efisien dan adil.
Namun, disinyalir bahwa pendanaan pendidikan di Indonesia dari sumber APBN dan APBD disamping tidak memadai juga pengalokasiannya belum efisien dan efektif. Demikian juga belum ada kejelasan dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota sehingga terjadi tumpang tindih dalam pendanaan sebagian komponen dan kekurangan pendanaan sebagian komponen yang lain.[3] Akibatnya pendidikan mengelami kekurangan dana yang merupakan salah satu akibat rendahnya mutu pendidikan.

BAB II
PEMBAHASAN

II.I. SUMBER DANA PENDIDIKAN
Sumber dana pendidikan adalah lembaga atau pihak-pihak yang memberikan dana, baik berupa natura atau uang kepada sekolah untuk keperluan penyelenggaraan pendidikan. UU No. 20 Tahun 2003, PP No. 30, 29, 28, dan 27, menyebutkan bahwa sumber dana pendidikan berasal dari pemerintah, masyarakat dan orangtua siswa. Sementara itu, Pusat Data dan Informasi Pendidikan Balitbang Depdiknas (2002) mengelompokkan sumber dana pendidikan ke dalam tujuh sumber utama, yaitu: (1) Pemerintah Pusat; (2) Pemerintah Kabupaten/Kota yang digunakan untuk belanja pegawai, belanja barang dan pemeliharaan serta dari daya dan jasa; (3) yayasan pendidikan (swasta) yang digunakan untuk gaji pegawai, operasional, pemeliharaan, dan administrasi; (4) lembaga swasta non kependidikan; (5) orang tua siswa yang berupa uang pangkal, uang sekolah, BP3/POMG, uang Ebtanas/Tes lain dan ekstra kurikuler; (6) unit produksi khusus untuk SMK; dan (7) sumber dana lain (DBO).[4]
Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-VI I 2008, pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Anggaran pendidikan adalah alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang dianggarkan melalui kementerian negara/lembaga dan alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah, termasuk gaji pendidik, namun tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah.[5] Dana bantuan untuk biaya pendidikan yang berasal dari Pemerintah Pusat dialokasikan melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, yang kemudian diteruskan ke lembaga pendidikan sesuai besaran-besaran biaya yang diperlukan. Sedangkan dana yang berasal dari Pemerintah Daerah (propinsi/kabupaten/kota) dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).



II.II ALOKASI ANGGARAN PENDIDIKAN YANG TAK SESUAI DENGAN AMANAH UU (20 PERSEN)
Dalam  Rancangan  Anggaran  dan  Pendapatan  Belanja  Nasional  (RAPBN)  2010,  pemerintah  mengalokasikan  dana  pendidikan  Rp.  51,8  Triliun yang dialokasikan  melalui   Depdiknas. Pemerintah telah berupaya mempertahankan rasio dana pendidikan hingga 20 persen karena sampai dengan tahun 2008, APBN selalu mengalokasikan anggaran  pendidikan  tak  kurang  dari  16%.  Hal tersebut dapat dilihat melalui bagan di bawah ini[6]:

APBN
Alokasi (triliun)
Rasio (persen)
2005
33,40
8,1
2006
44,11
10,1
2007
53,07
10,5
2008
158,52
18,5
2009
207,41
20,0
2010
209,54
20,0

Padahal  Pasal  31  Ayat (4)UUD  1945  sendiri  dengan  jelas  mencantumkan, “negara  memprioritaskan  anggaran  pendidikan  sekurang-kurangnya  20%  dari  anggaran  pendapatan  dan  belanja  negara  serta  dari  anggran  pendapatan  dan  belanja  daerah  untuk  memenuhi  kebutuhan  penyelenggaraan  pendidikan  nasional.
Ini  menunjukan  pemerintah  serius  menjalankan  amanat  konstitusi  walau  besaran  prosentase  itu  baru  terpenuhi  pada  2009,  sebagai  jawaban  atas  tuntutan  yang  sedemikian  kuat  terhadap  kondisi  yang  di  hadapi  dunia  pendidikan  Indonesia  saat  ini.  Fakta  memperlihatkan  kualitas  pendidikan  di  Indonesia  memang  masih  tertinggal  jauh.
Namun, ketika kita telah berhasil menyisihkan dana untuk pendidikan 20 persen dari APBD, mengapa pendidikan di Indonesia masih saja tidak terlepas dari persoalan-persoalan mendasar, kualitas pelayanan yang masih buruk, guru yang sebagian besar tidak bermutu dan bermasalah dari sisi kesejahteraan, gedung sekolah yang sebagian besar tidak layak pakai/rusak, ketersediaan sarana yang minim, biaya yang makin mahal, dan sejumlah permasalahan lainnya?
Pada 2010, dana alokasi umum (DAU) pendidikan mencapai Rp 93 triliun, terdiri dari DAU non gaji Rp 8,7 triliun dan DAU gaji Rp 84,5 triliun. Sementara pada 2009, DAU pendidikan 2009 sebesar Rp 97,9 triliun, terdiri dari DAU non gaji Rp 13 triliun dan DAU gaji Rp 84,8 triliun.[7] Namun, permasalahannya disini terletak pada realisasi anggarannya. Karena Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) memiliki dana besar dan sudah pasti, maka jika tidak dipantau dan di kontrol akan menyebabkan timbulnya mal administrasi dan biaya untuk pendidikan tadi tidak lagi murni 20 persen.
Ada masalah besar yaitu pendistribusian dana pendidikan tersebut tenyata kurang mendapat pengawasan yang ketat sehingga banyak dana yang meleset dari target yang seharusnya. Sehingga yang terjadi seolah-olah berapapun dana pendidikan sepertinya tidak banyak berpengaruh pada kemajuan pendidikan kita. Belum lagi kenakalan pihak sekolah yang mengenakan iuran yang dibuat-buat dengan alasan kepentingan kemajuan sekolah. Ini boleh saja dilakukan karena memang sekolah diberi kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri melalui kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah. Tapi dalam pelaksanaannya juga harus tetap bijak. Inilah perlunya komisi pengawas sekolah harus melakukan tugasnya dengan semestinya. Jangan justru bersekongkol untuk mencari keuntungan. Komisi pengawas sekolah harus memandang kepentingan sekolah dan kepentingan siswa secara berimbang sehingga nantinya kebijakan yamg dikeluarkan sekolah adalah kebijakan yang sehat yang itu akan akan baik untuk pihak sekolah maupun pihak siswa.
Jika tidak ada pengawasan dari atas, maka muncullah pola korupsi baru seiring dengan perubahan mekanisme distribusi anggaran. Dinas pendidikan tidak lagi memotong, tapi melakukan tender suap atau meminta uang sodokan kepada calon penerima dana. Penyebab lainnya yaitu proses distribusi anggaran kerap berbelit-belit dan tersendat sehingga menghambat implementasi kegiatan oleh sekolah dan perguruan tinggi.

II.III. CONTOH KASUS: PROGRAM BOS (BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH)
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) merupakan program pemerintah untuk meningkatkan perluasan dan pemerataan pendidikan terutama dalam penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun.
Pada prakteknya BOS diberikan kepada SD, MI, SDLB, SMP, MTs, SMPLB, Pondok Pesantren Salafiyah dan Sekolah Agama Non Islam penyelenggara Wajib Belajar   Pendidikan Dasar 9 Tahun. Bantuan ini diharapkan untuk mengejar ketertinggalan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sumber dana BOS bersumber dari APBN dan merupakan realisasi dari program  kompensasi   pengurangan   subsidi  BBM   (PKPS-BBM)  yang dialokasikan khusus untuk bidang pendidikan. Pendistribusian dari dana BOS tersebut disalurkan dengan cara didistribusikan kepada sekolah-sekolah melalui Dinas Pendidikan Nasional setempat.
Sedangkan sekolah-sekolah yang berhak menerima dana BOS dibagi menjadi 2 kategori, yaitu: Pertama, sekolah-sekolah yang masuk ke dalam kelompok Sekolah Negeri yaitu dana pengelolaan sekolah semuanya berasal dari APBN. Kedua, sekolah-sekolah yang masuk ke dalam kelompok selain Sekolah Negeri atau lebih dikenal dengan Sekolah Swasta  dimana  dananya tidak berasal dari APBN.[8]
Kemudian penggunaan dana BOS itu sendiri dapat digunakan untuk pembelanjaan barang dan jasa, pengeluaran untuk honorarium dan Bantuan Siswa Miskin.
Permasalahan yang menyangkut pemanfaatan tambahan anggaran pendidikan APBN-P 2010 yang jumlahnya sebesar Rp13.310,3 miliar[9], salah satunya yaitu program BOS, yang penyalurannya tidak merata dan kurang terasa manfaatnya bagi masyarakat.
Secara umum, mekanisme penyaluran dana bos yaitu Satker PKPS-BBM Propinsi mengajukan SPP pada Dinas Pendidikan Propinsi, setelah itu, dari SPP diterbitkanlah SPM di KPPN Propinsi. Kemudian KPPN Propinsi menerbitkan SP2D, dan menuju Bank KPPN untuk mencairkan dana. Setelah itu disalurkan melalui kantor pos propinsi, lalu ke kantor pos kab/kota, dan kemudian masuk ke rekening sekolah.
Penyebab timbulnya masalah-masalah dalam program BOS yaitu:
1.      Pengalokasian dana tidak didasarkan pada kebutuhan sekolah tapi pada ketersediaan anggaran. Hendaknya pengalokasian dana didasarkan pada kebutuhan sekolah, agar tidak terjadi saling tumpang tindih antara kebutuhan dengan anggaran yang disediakan. Adakalanya sekolah yang kebutuhannya sedikit, dan ada sekolah yang kebutuhannya banyak. Jika anggaran semua sekolah sama, di sekolah yang kebutuhannya sedikit akan memancing timbulnya korupsi karena anggaran yang berlebih, sedangkan di sekolah yang kebutuhannya banyak akan tetap mengalami kekurangan karena kebutuhannya tidak terpenuhi.
2.      Alokasi dana BOS ‘dipukul rata’ untuk semua sekolah di semua daerah, pada tiap sekolah memiliki kebutuhan dan masalah berbeda
3.      Korupsi dana pada tingkat pusat (Kemendiknas) terutama berkaitan dengan dana safe  guarding
4.      Dinas pendidikan meminta sodokan atau memaksa sekolah untuk membuat pengadaan barang kepada perusahaan tertentu yang sudah ditunjuk dinas.
5.      Kepala sekolah menggunakan dana BOS untuk kepentingan pribadi melalui penggelapan, mark up, atau mark down.
6.      Uang yang dikeluarkan oleh orang tua murid cenderung bertembah mahal walaupun sudah ada dana BOS.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Jelas terlihat bahwa didalam implementasinya, fungsi pengawasan sangat kurang. Tidak ada partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam proses implementasi anggaran di semua tingkat penyelenggara, Kemendiknas, dinas pendidikan, maupun sekolah. Pada tingkat pusat, proses penganggaran pun turut dimonopoli oleh Kemendiknas, akibatnya kepentingan Kemendiknas lah yang lebih terpenuhi, bukan mendahulukan yang perlu.
Mekanisme perencanaan dibuat top–down sehingga penyelenggara pendidikan, seperti sekolah dan perguruan tinggi tidak memiliki ruang untuk memberi masukan. Hal tersebut diperburuk dengan tidak ada harmonisasi kegiatan antara Kemendiknas, dinas pendidikan, dengan sekolah dan perguruan tinggi dan sekolah. Strategi implementasi anggaran pun didasarkan pada proyek, misalnya program BOS.
Penyebab yang lain misalnya pada tingkat penyelenggara (Sekolah dan perguruan tinggi), tidak ada aturan mengenai mekanisme penyusunan anggaran, warga dan stakeholder tidak memiliki akses untuk mendapat informasi mengenai anggaran sehingga mereka tidak bisa melakukan pengawasan. Lembaga pengawasan internal seperti Itjen, Bawasda, Bawasko, pun tidak mampu menjalankan fungsi. Serta pada tingkat sekolah, semua kebijakan baik akademis maupun finansial direncanakan dan dikelola kepala sekolah, dan komite sekolah dibajak oleh kepala sekolah sehingga menjadi kepanjangan tangan kepala sekolah.
Penulis berpendapat, cara penyelewengan dana BOS yang paling bisa terjadi adalah melalui setoran awal kepada dinas sebelum dana BOS dicairkan atau didalam sekolah itu sendiri berhubung sekolah tidak melakukan kewajiban mengumumkan APBS (Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah) pada papan pengumuman sekolah. Selain itu, penyusunan APBS terutama pengelolaan dana bersumber dari BOS kurang melibatkan partisipasi orang tua murid. Akhirnya, kebocoran dana BOS di tingkat sekolah tidak dapat dihindari. Serta dokumen SPJ (Surat Pertanggungjawaban) dana BOS yang kurang atau bahkan tidak dapat diakses oleh publik apabila ada kebutuhan informasi atau kejanggalan dalam pengelolaan dana BOS.
Berdasarkan hitungan  (Indonesia Corruption Watch), dana BOS hanya menanggung sekitar 30%-40% biaya operasional sekolah. Sisanya tetap ditanggung orang tua murid. Sementara itu, menurut versi Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) BOS menutupi 70% biaya operasional sekolah. Menurut Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh, Senin, (27/12), [10]
"Yang 30%-nya lagi ditalangi dari BOS daerah. Kan pemerintah daerah juga punya tanggung jawab mengalokasikan 20% APBD-nya untuk pendidikan".

II.IV MENUJU PEMERATAAN DAN PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN
Dengan terpenuhi anggaran pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi, maka hak warga negara akan terpenuhi, pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Sehingga Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
Terpenuhinya besaran anggaran pendidikan 20 persen dari total APBN dan APBD dalam rangka mengejar ketertinggalan dunia pendidikan baik dari segi mutu dan alokasi anggaran pendidikan dibandingkan dengan negara lain. Karena telah ditegaskan dalam UUD 1945 bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Konsekuensinya, dengan kenaikan jumlah alokasi anggaran pendidikan diharapkan terjadi pembaharuan sistem pendidikan nasional yaitu dengan memperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Oleh karena itu masalah pendistribusian dana ini menjadi vital bagi perkembangan pendidikan. Tanpa pendistribusian yang dilakukan dengan benar akan terjadi banyak masalah yang pastinya akan menghambat kemajuan pendidikan kita. Tidak hanya potensi korupsi dana pendidikan, tapi juga akan melahirkan budaya saling menuduh dan saling mencurigai. Pemerintah biasanya akan mengatakan bahwa dana sudah sepenuhnya sudah diberikan ke daerah tetapi pihak sekolah akan mencurigai bahwa pemerintah tidak mengalokasikan dana untuk pendidikan. Jika sudah seperti ini harus ada komunikasi yang baik antara pemerintah dengan pihak sekolah dalam mengelola dana ini. Jangan sampai dana ini dimanfaatkan olaeh pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk menambah pundi-pundi kekayaannya. Sehingga perlu ada meknisme yang jelas tentang pendistribusian dana pendidikan ini. Dengan itu dana pendidikan akan bisa dirasakan oleh pihak yang benar-benar berhak menerimanya untuk mewujudkan pendidikan yang berteknologi dan bermoral.

  
BAB III
PENUTUP

Pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Oleh karena itu negara berwajiban untuk menyediakan fasilitas pendidikan yang layak yang bisa diakses oleh setiap orang. Pada faktanya pendidikan belum bisa dinikmati oleh seluruh warga negara, hal itu dibuktikan dengan adanya siswa-siswi yang putus sekolah dan siswa-siswi yang tidak bisa melanjutkan ke jenjang pendidi an yang lebih tinggi disebabk biaya yang tinggi.
Kemudian adanya kontradiksi antara konsep pendidikan dengan kenyataan dilapangan mengharuskan pemerintah meninjau kembali paradigma pendidikan yang dijalankan. Untuk memenuhi pembiayaan penddikan negara harus mencari dana dengan mengoptimalkan pendapatan dari sektor Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki. Anggaran belanja Kementerian Pendidikan Nasional diarahkan untuk mendukung upaya mencerdaskan kehidupan berbangsa melalui pemerataan dan perluasan akses pendidikan;peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan; serta peningkatan tata kelola,akuntabilitas, dan citra publik.
Pendidikan merupakan kebutuhan primer sebagaimana kesehatan yang harus dirasakan oleh manusia dalam hidupnya. Oleh karenanya setiap warga negara berhak untuk mendapatkan akses pendidikan yang berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana pendidikan bagi seluruh rakyat dari tingkat dasar hingga tingkat perguruan tinggi.[11] Pemerintah sama sekali tidak dibenarkan untuk melepaskan tanggungjawab pendidikan dengan cara menyerahkan penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat ataupun pihak swasta. Meskipun keberadaan sekolah-sekolah swasta yang dikelola masyarakat turut membantu menyediakan sarana dan prasarana pendidikan tetapi tetap harus diperhatikan bahwa tugas utama penyelenggara pendidikan adalah pemerintah. Untuk mewujudkan tanggungjawab tersebut pemerintah harus mengusahakan pembiayaan pendidikan. mudah dan berkualitas. Untuk itu negara
Dalam APBN-P tahun 2010, alokasi anggaran belanja untuk Kementerian Pendidikan Nasional ditetapkan mencapai Rp63.438,1 miliar, atau mengalami kenaikan sebesar Rp8.250,9 miliar (15,0 persen) bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran Kementerian Pendidikan Nasional yang ditetapkan dalam APBN tahun 2010 sebesar Rp55.187,2 miliar. Lebih tingginya alokasi anggaran belanja Kementerian Pendidikan Nasional dalam APBN-P tahun 2010 tersebut terutama berkaitan dengan adanya penyesuaian anggaran pendidikan sebagai akibat adanya tambahan belanja negara.
Ketentuan anggaran pendidikan 20% tersebut memang ideal, namun apakah hal itu dapat diimplementasikan dengan baik di lapangan? Jawaban sementara adalah, bahwa hingga kini ketentuan anggaran pendidikan 20% tersebut masih terus meniadi tanda tanya banyak pihak terutama para pemerhati masalah pendidikan. Yang jelas hingga kini angka 20% belum dapat terealisir, dan pendidikan bagi masyarakat miskin masih sangat memprihatinkan.
Banyak kendala bagi Pemerintah untuk mengimplementasikan anggaran pendidian 20 persen di Indonesia, di antaranya masih banyaknya persoalan bangsa yang menuntut perhatian lebih dari pemerintah seperti bencana yang sering terjadi pada tahun-tahun terakhir ini, masalah kemiskinan yang tak kunjung teratasi sejak krisis moneter tahun 1997, dan lain-lain. Keadaan tersebut diperparah dengan adanya korupsi dan manipulasi uang dari pihak-pihak pemerintah sendiri.
Sehubungan dengan rencana Pemerintah untuk mewujudkan anggaran pendidikan 20 persen pada tahun anggaran 2009 nanti, maka diperlukan peran DPR RI dan masyarakat untuk mengawal upaya implementasi tersebut. Pengawalan perlu dilakukan untuk menjaga kemungkinan terjadinya penyimpangan penggunaan anggaran pendidikan, agar target pendidikan mencapai sasarannya, agar uang tidak diselewengkan untuk hal-hal yang tidak relevan. DPR RI perlu menggunakan kewenangan pengawasan dan kewenangan budget-nya untuk mengawal pelaksanaan anggaran pendidikan 20 persen. Monitoring dan evaluasi pada setiap tahap penyelenggaraan program-program yang terkait dengan implementasi anggaran pendidikan 20 persen perlu terus dilakukan, agar kebijakan anggaran pendidikan 20 persen dapat diwujudkan dengan baik, dan mempunyai dampak sosial yang posistif bagi masyarakat, terutama masyarakat miskin di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Financial Note and Revised Budget Fiscal Year 2010, The Republic of Indonesia
www.balitbang.depdiknas.go.id
www.kopertis12.or.id/.../silakan-baca-uu-no-10-tahun-2010-tentang-apbn-t-a2011perhatikan-
alokasi-anggaran-utk-pendidikan-kita.html
antikorupsi.org/indo/content
www.balitbang.depdiknas.go.id
www.detikfinance.com/anggaran-pendidikan




[1] www.balitbang.depdiknas.go.id
[2] www.kopertis12.or.id/.../silakan-baca-uu-no-10-tahun-2010-tentang-apbn-t-a-2011perhatikan-alokasi-anggaran-utk-pendidikan-kita.html
[3] antikorupsi.org/indo/content
[4] www.balitbang.depdiknas.go.id
[5] www.detikfinance.com/anggaran-pendidikan
[6] t4belajar.wordpress.com/2009/04/24/kualitas-pendidikan-Indonesia-urutan-ke-160-dunia
[7] http://klasik.kontan.co.id/nasional/news/12231/Pemerintah-Kurangi-Anggaran-Pendidikan-Rp-117-T
[8] http://jurnalskripsi.com/perlakuan-pajak-untuk-dana-bos-bantuan-operasional-sekolah-dalam-hal-pembelanjaan-barang-bagi-sekolah-negeri-di-wilayah-kantor-pelayanan-pajak-madiun-pdf.htm
[9] Data dari Financial Note and Revised Budget hal III-14
[10] Dikutip dari : http://www.jpnn.com/read/2010/12/20/80000/Sistem-Bru,-Dn-BOS-Rwn-Korupsi-
[11] (www.tempointeraktif.com 8-1-2007).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment