PERATURAN YANG MENGATUR SERVICE MAKING ( PELAYANAN MASYARAKAT)

Sudah menjadi rahasia bersama bahwa kinerja birokrasi kita sampai saat ini sangat payah. Tingkat kepayahan tersebut kemudian berakibat pada rendahnya pertumbuhan ekonomi, hilangnya rasa aman, dan pada akhirnya dapat menandaskan rasa kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. 

Reformasi pelayanan publik tertinggal dibanding reformasi di berbagai bidang lainnya. Empat perubahan dasar hukum, yaitu undang-undang pemilihan umum yang baru, undang-undang desentralisasi, undang-undangindependensi hukum, serta undang-undang anti korupsi dan komisi antikorupsi, semuanya memberikan kemajuan dalam agenda reformasi.

Walaupun perundangan pelayanan publik yang baru tahun 1999 (UU 43/99) dan desentralisasi lebih dari dua pertiga pegawai negeri tingkat pusat ke tingkat daerah telah dijalankan, struktur dan nilai yang dianut sebagian besar masih tidak berubah. Sistem dan filsafat yang mendasari pelayanan publik di Indonesia tidak hanya ketinggalan jaman, tetapi juga menghasilkan kinerja dibawah standar dalam masyarakat yang berubah secara cepat. Negara harus dapat memberikan garansi pelayanan bermutu tinggi jika pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat ingin tetap dipertahankan dalam lingkungan mendunia yang penuh persaingan ini.

Indonesia jauh tertinggal dibanding Filipina, Malaysia dan Thailand dalam indikator-indikator gabungan kualitas birokrasi, korupsi, dan kondisi sosial ekonomi. Kondisi iklim investasi, kesehatan, dan pendidikan saat ini sangat tidak memuaskan, sebagai akibat tidak jelasnya dan rendahnya kualitas pelayanan yang ditawarkan oleh institusi-institusi pemerintahan. Ketidakpastian hukum, khususnya sidang pengadilan yang berlarut-larut dan penuh praktek korupsi, membuat para investor berpaling. Pegawai negeri hanya memiliki sedikit insentif untuk memperbaiki pelayanan. Hal ini, digabung dengan administrasi yang berbelit-belit dan ketinggalan jaman, berakibat pada ketidakpuasan masyarakat.

UU 8/1974 dan revisinya, UU 43/99, mengatur masalah pelayanan publik. Dibawah undang-undang desentralisasi (22/1999) pemerintah daerah dapat menjalankan pelayanan publik mereka sendiri, namun tidak jelas sampai dimana suatu konsep nasional pelayanan publik yang ditetapkan dalam UU 43/1999 dan PP25/2000 dapat dijelaskan. Ada dua badan yang yang mengelola pelayanan publik. Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPan) bertanggung jawab terhadap regulasi yang mengatur administrasi negara. Badan ini menjalankan fungsinya melalui pengumuman kebijakan dan surat keputusan menteri yang seringkali tidak dihiraukan oleh birokrasi lainnya. Badan Kepegawaian Nasional (BKN) secara formal bertanggungjawab terhadap implementasi perundangan pelayanan publik dengan mengeluarkan ‘aturan main’ dalam penerimaan, pemecatan dan promosi, dan meregulasi jumlah pelayanan ini. Departemen Keuangan juga memainkan peran penting, karena alokasi anggarannya

menentukan jumlah ini. Departemen Dalam Negeri juga memegang peran penting melalui desentralisasi administrasi dalam pengelolaan pelayanan publik mereka. Nyatanya, institusi pengelola pusat (MenPan dan BKN) mendapat kesulitan untuk dapat didengar di luar Jakarta. MenPan selama beberapa tahun ini telah merancang sebuah proposal untuk reformasi gaji, reformasi sistem klasifikasi kerja dan deskripsi pekerjaan untuk posisi-posisi penting dan BKN juga telah mengambil inisiatif reformasi. Sayangnya inisiatif ini tidak dapat melewati batas-batas institusi tersebut. Semua pemain memiliki ‘role’, namun tidak banyak koordinasi dan tidak ada usaha kepemimpinan proaktif untuk inisiatif reformasi yang lebih dalam lagi. Untungnya Pemerintah memiliki alat untuk menjalankan proses reformasi. Dasar hukum bagi pelaksanaan reformasi tersebut tertuang dalam UU 43/1999 dalam fungsi Komisi Layanan Publik Nasional yang belum terbentuk.

Dalam rangka meningkatkan pelayanan umum bagi masyarakat maka dipandang perlu adanya suatu undang-undang yang secara khusus mengatur pelayanan umum (publik). Adanya Undang-undang Pelayanan Publik adalah untuk menjamin hak warga negara dalam memperoleh pelayanan dari lembaga-lembaga publik dan untuk memaksa secara sah lembaga-lembaga dan aparat publik menjalankan kewajibannya kepada warga negara. UU Pelayanan Publik nantinya melengkapi aturan perundang-undangan lainnya dalam rangka mereformasi birokrasi.

RUU Pelayanan Publik yang merupakan inisiatif Pemerintah telah disepakati menjadi bagian dari Program Legislasi Nasional. Namun sejak diajukan sampai saat ini belum ada kemajuan yang berarti. DPR sendiri telah melakukan enam kali Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan mengundang berbagai kalangan seperti masyarakat, institusi pemerintah, kalangan akademis maupun ahli. Berdasar hasil RDPU tersebut DPR menilai RUU Pelayanan Publik usulan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) tersebut masih banyak rumusan dan ketentuan yang perlu diperbaiki. Untuk itulah maka DPR mengembalikannya kepada Pemerintah untuk direvisi. Beberapa permasalahan yang muncul dalamm RDPU dan perlu diperjelas tersebut antara lain menyangkut definisi dari pelayanan publik itu sendiri. Meski ada kesepakatan bahwa pelayanan publik penting dan terkait dengan kepetniangan langsung masyarakat tetapi apa saja yang termasuk dalam ruang lingkup pelayanan publik, siapa yang disasar dalam RUU pelayanan publik, dan siapa penyelenggara pelayanan publik dimaksud, masih terdapat perbedaan.

Pilihan siapa yang dimaksud dengan penyelenggara pelayanan publik berimplikasi pada sumber pembiayaan kegiatan pelayanan apakah ditanggung sepenuhnya oleh negara ataukah perlu membebankan juga kepada swasta dan masyarakat. Terkait dengan masalah pembiayaan adalah pilihan lembaga pengawas regulasi pelayanan publik apakah perlu membentuk komisi independen yang baru atau mengoptimalkan lembaga yang sudah ada semisal Komisi Ombudsman Nasional.

Hal lain yang masih perlu untuk dijabar lebih detail adalah standar pelayanan. Standar pelayanan setidaknya meliputi prosedur, batasan waktu, besaran biaya, produk/kualitas layanan, sarana-prasarana, dan kompetensi pelaksana layanan. Pilihan ini mengacu pada putusan Menpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Sebagai perbandingan dapat dilihat adalam Surat Edaran Mendagri No. 100/757/OTDA tahun 2002 tentang Standar Pelayanan Minimal yang harus dipenuhi Pemerintah Kabupaten/Kota.

Apabila pengembalian ini dapat dimaknai sebagai penolakan terhadap RUU tersebut maka konsekuensinya RUU Pelayanan Publik tidak dapat lagi diajukan ke DPR dalam masa persidangan yang sama. Dengan demikian maka harapan untuk adanya payung hukum bagi pelayanan masyarakat masih jauh panggang dari api. Tetapi kalau pengembalian ke Pemerintah dengan tujuan untuk direvisi menjadi draft atau RUU baru, maka peran dan tugas DPR perlu dipertanyakan. Pasal 20 UUD telah menetapkan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. DPR yang juga bagian dari MPR dalam Amandemen Kedua telah mengembalikan fungsi DPR sebagai lembaga legislasi di samping fungsi kontrol dan fungsi anggaran sebagaimana tercantum dalam Pasal 20A UUD. Karena itu RUU yang diajukan Presiden dan dipandang penting bagi masyarakat semestinya dapat segera dibahas meski RUU tersebut tidak sempurna. Terlebih RUU tersebut telah disepakati termasuk dalam agenda Prolegnas. Proses penyempurnaan dapat dilakukan pada saat pembahasan dengan mengacu pada pendapat anggota Dewan dan aspirasi yang berkembang di masyarakat.

Adanya regulasi mengenai pelayanan masyarakat memang tidak serta merta membuat kinerja birokrasi menjadi bagus. Masih diperlukan elemen lain yang dapat memaksakan para pelayan masyarakat untuk mematuhinya. Merupakan hal yang lebih penting adalah bagaimana menjaga regulasi tentang pelayanan masyarakat nantinya dapat dilaksanakan.

Seiring dengan pengajuan RUU Pelayanan Publik adalah RUU tentang Ombudsman Republik Indonesia yang umum dikenal dengan RUU KON. Sayangnya RUU KON yang terdiri dari 16 Bab dan 49 pasal sejak diajukan DPR ke Presiden pada pertengahan 2005 lalu sampai sekarang masih belum dibahas.

Poin penting keberadaan Ombudsman adalah sebagai tempat atau sarana bagi masyarakat untuk terlibat dalam pengawasan penyelenggaraan negara dalam melaksanakan tugas pelayanan kepada masyarakat supaya menjadi baik. Pilihan KON sebagai lembaga pengawas pelayanan publik sebenarnya sudah tepat. KON yang dibentuk melalui Keppres No. 44 tahun 2000 dan diperkuat dengan Tap MPR No. VIII/MPR/2001 memiliki potensi yang cukup besar untuk menampung keluhan masyarakat atas kinerja lembaga-lembaga publik.

Beberapa alasan untuk memilih ombudsman sebagai mekanisme panyampaian keluhan dan koreksi masyarakat atas pelaksanaan kinerja pelayanan publik terutama karena:
1. sebagai lembaga kontrol eksternal sehingga diharapkan dapat independen, bebas dari campur tangan kepentingan negara/pemerintah
2. pendekatan yang dilakukan bersifat persuasif yang dianggap lebih sesuai dengan kultur kekuasan Indonesia
3. banyak contoh keberhasilan ombudsman di negara lain dalam mendorong pelayanan publik menjadi lebih baik.

Pilihan strategi sosialisasi dengan sasaran dan hasil yang lebih riel perlu dipikirkan. Tujuannya tidak lain adalah untuk meningkatkan pelayanan lembaga publik bagi masyarakat menjadi lebih baik.

Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan upaya negara untuk memenuhi kebutuhan dasar dan hak-hak sipil setiap warga negara atas barang, jasa, dan pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan kepada negara memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara demi kesejahteraannya sehingga efektivitas suatu sistem pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan pelayanan publik. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pun secara tegas menyatakan bahwa salah satu tujuan didirikan Negara Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan publik dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Disadari bahwa kondisi penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Hal ini terlihat dari masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara langsung maupun melalui media massa, seperti : prosedur yang berbelit-belit, tidak ada kepastian jangka waktu penyelesaian, biaya yang harus dikeluarkan, persyaratan yang tidak transparan, sikap petugas yang kurang responsive dan lain-lain, sehingga menimbulkan citra yang kurang baik terhadap citra pemerintah. Untuk mengatasi kondisi tersebut perlu dilakukan upaya perbaikan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik secara berkesinambungan demi mewujudkan pelayanan publik yang prima.
Upaya perbaikan kualitas pelayanan publik dilakukan melalui pembenahan sistem pelayanan publik secara menyeluruh dan terintegrasi yang dituangkan dalam peraturan perundangundangan dalam bentuk undang-undang. Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah:
• terwujudnya batasan umum yang jelas tentang hak, tanggungjawab, kewajiban dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan Penyelenggaraan pelayanan publik
• terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak yang sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik
• terselenggaranya pemenuhan kebutuhan dasar dan hak-hak sipil serta terwujudnya perlindungan yang layak kepada masyarakat di dalam pemanfaatan pelayanan publik.

Undang-Undang ini diharapkan dapat memberi kejelasan dan pengaturan pada hal-hal yang menyentuh permasalahan antara lain mengenai:
a. pengertian dan batasan pengertian terhadap beberapa terminologi atau peristilahan di dalam bidang pelayanan publik seperti definisi pelayanan publik dalam Undang-Undang ini, siapa penyelenggara pelayanan publik, dan lain-lain
b. asas-asas yang menjadi dasar bagi penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia
c. hak dan kewajiban serta larangan bagi seluruh pihak yang terkait dalam penyelenggaraan pelayanan publik
d. pencegahan dan penanggulangan terhadap penyalahgunaan kewenangan oleh Penyelenggara maupun Aparat pelayanan publik demi memberi perlindungan terhadap setiap warga negara yang merupakan konsumen dari pelayanan publik
e. mekanisme penyelenggaraan pelayanan publik yang menjadi panduan bagi penyelenggara pelayanan publik, seperti : organisasi penyelenggara pelayanan publik, standar pelayanan publik, maklumat pelayanan, sistem informasi, tata cara pengelolaan keluhan dan pengaduan masyarakat, biaya pelayanan publik, dan kerjasama penyelenggaraan
f. peran serta masyarakat di dalam pelayanan publik
g. penyelesaian sengketa dalam penyelenggaraan pelayanan publik termasuk di dalamnya pengaturan mengenai sanksi-sanksi di dalam pelayanan publik

Dalam penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan berdasarkan pada asas-asas umum kepemerintahan yang baik, meliputi:

• kepastian hukum
• transparan
• daya tanggap
• berkeadilan
• efektif dan efisien
• tanggungjawab
• akuntabilitas
• tidak menyalahgunakan kewenangan.


PASAL DEMI PASAL
• Pasal 2 Ayat (2) Asas Penyelenggaraan pelayanan publik :
a. Kepastian hukum dimaksudkan adanya peraturan perundangundangan yang menjamin terselenggaranya pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat
b. Keterbukaan dimaksudkan bahwa setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan
c. Partisipatif dimaksudkan untuk mendorong peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat
d. Akuntabilitas dimaksudkan bahwa proses penyelenggaraan pelayanan publik harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
e. Kepentingan umum dimaksudkan bahwa dalam pemberian pelayanan publik tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan
f. Profesionalisme dimaksudkan bahwa aparat penyelenggara pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugasnya
g. Kesamaan hak dimaksudkan bahwa dalam pemberian pelayanan publik tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender dan status ekonomi
h. Keseimbangan hak dan kewajiban dimaksudkan bahwa pemenuhan hak harus sebanding dengan kewajiban yang harus dilaksanakan.baik oleh pemberi maupun penerima pelayanan
• Pasal 6 Ayat (2) Pemberian pelayanan yang tidak memiliki keterkaitan proses diselenggarakan melalui pelayanan satu atap, contoh : pelayanan KTP, Akte Kelahiran dan IMB. Ayat (3) Pemberian pelayanan yang memiliki keterkaitan proses diselenggarakan melalui pelayanan satu pintu, contoh : pelayanan STNK, BPKB dan pelayanan perijinan.
• Pasal 7 Larangan rangkap jabatan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya benturan kepentingan, sehingga penyelenggaraan pelayanan dapat dilaksanakan dengan optimal
• Pasal 9 Pertanggungjawaban Aparat yang mengundurkan diri atau melepaskan tanggungjawab atas posisi atau jabatan, harus diterima baik oleh atasan Aparat yang bersangkutan.
• Pasal 14 Bentuk-bentuk kerjasama tersebut dapat disesuaikan dengan sifat dan jenis pelayanan yang dikelola. Sebagai contoh kerja sama out sourcing, contracting out, dan lain-lain.
• Pasal 15 Prinsip-prinsip penyelenggaraan pelayanan publik
a. kesederhanaan : prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan
b. kejelasan : - persyaratan teknis dan administrasi pelayanan publik - unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam meberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/ persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik. - Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran
c. kepastian dan tepat waktu : pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan
d. akurasi : produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah.
e. tidak diskriminatif: tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender dan status ekonomi f
f. bertanggung jawab: Pimpinanan penyelenggara pelayanan pbulik atau pejabat yang ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik
g. kelengkapan sarana dan prasarana : Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika.
h. kemudahan akses : tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi.
i. kejujuran : cukup jelas
j. kecermatan: hati-hati, teliti, telaten.
k. kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan: Aparat penyelenggara pelayanan harus disiplin, sopan, ramah, dan memberikan pelayanan dengan ikhlas, sehingga penerima pelayanan merasa dihargai hak-haknya.
l. keamanan dan kenyamanan: proses dan produk pelayanan publik dapat memberikan rasa aman, nyaman dan kepastian hukum
• Pasal 16 Standar pelayanan ditetapkan oleh pembina teknis pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan memperhatikan masukan dari masyarakat serta aspek-aspek lain yang mendorong peningkatan kualitas pelayanan
• Pasal 18 Istilah maklumat pelayanan dalam pasal ini dimaksudkan memiliki kesamaan padanan kata dengan istilah dalam bahasa Inggris “Servis Charter” dan publikasi secara jelas adalah publikasi yang mudah dilihat, mudah dibaca, dan mudah di akses.
• Pasal 19 Ayat (1) Pengelolaan sistem informasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik dapat berbasis metode konvensional maupun berbasis teknologi informasi.
• Pasal 25 Ayat (1) Kelalaian memberikan tanda atau pengumuman saat terjadi kerusakan atau saat perbaikan sarana atau fasilitas pelayanan publik dapat mengakibatkan seseorang mendapat bahaya. Apabila hal tersebut mengakibatkan cedera atau kematian, menjadi tanggung jawab Penyelenggara untuk memberikan ganti kerugian dan dituntut pidana
• Pasal 27 Penyediaan pelayanan kelas-kelas tertentu dimaksudkan untuk memberikan kemudahan pelayanan sesuai dengan kemampuan penerima pelayanan, contoh : kelas bisnis/VIP pada pemberian pelayanan bidang kesehatan, transportasi dan lain-lain.
• Pasal 28 Pada hakekatnya penyelenggaraan pelayanan publik yang menyangkut hak sipil seperti : KTP, Akte Kelahiran dan lain-lain tidak dikenakan biaya, namun mengingat kondisi kemampuan masing-masing daerah berbeda, pengenaan biaya dimungkinkan.
• Pasal 32 Penilaian perilaku aparat dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
• Pasal 36 Ayat (2) Tindak lanjut pengelolaan pengaduan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara dalam penyelesaian pengaduan
• Pasal 41 Pejabat yang bertanggung jawab adalah pimpinan unit/organisasi yang bersangkutan sesuai keputusan pengangkatan.




TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
1. UUD 45
2. TAP MPR
3. Undang-undang
4. Perpu
5. PP
6. Keputusan Presiden
7. Perda



***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment