PEMBERANTASAN KORUPSI MELALUI PERAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA DAN GOOD GOVERNANCE.

Dalam melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintah yang baik, sebenarnya sudah ada sejak zaman Plato, jika dilihat dari aspek historis maka di dalamnya terdapat dua pendekatan ( secara personal dan secara sistem ).

Pendekatan secara personal telah dimulai pada masa Plato. Menurutnya, penyelenggaraan kekuasaan yang ideal dilakukan secara paternalistik, Pada bagian lain, Plato mengusulkan agar negara menjadi baik, harus dipimpin oleh seorang filosof yang arif bijaksana, menghargai kesusilaan, dan berpengetahuan tinggi. Dan pendekatan yang ke dua yakni pendekatan secara sistem, disini Plato sendiri merubah gagasannya yang semula mengidealkan pemerintah itu dijalankan oleh raja-filosof menjadi pemerintahan yang dikendalikan oleh hukum. Karena menurut Plato, penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik.

Namun dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah berbagai bidang kehidupan dan pemerintahan ke arah yang dicita-citakan. Akibat kemajuan tersebut, globalisasi telah melanda di berbagai penjuru dunia, yang membawa implikasi pada pemilihan dan praktek penyelenggaraan pemerintahan, yang pada akhirnya menimbulkan pergeseran pada sejumlah paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pertama, terjadinya perubahan paradigma dari government ke governance, dan good governance. Kedua, terjadinya pergeseran paradigma tentang peran pemerintah dari rowing the boat ke steering the boat. Dan pergeseran peran administrasi negara dari service provider menjadi service enabler. Ketiga, perubahan paradigma birokrasi dari weberian paradigm of bureaucracy, yang sangat hirarkhis dan rules driven, menjadi flat organization dan mission driven.

Dalam era globalisasi juga telah memudarkan batas-batas yang jelas antara hukum publik dan hukum privat. Sementara itu terjadi perubahan teori Hukum Administrasi Negara dari red light theory menjadi green light theory dan kearah reinvented theory. Dengan demikian perlu dilakukan perubahan-perubahan dan penyesuaian penyesuaian kebijakan di berbagai bidang Pemerintahan, dalam mengantisipasi pergeseran-pergeseranparadigma tersebut di atas, untuk menghadapi era globalisasi yang melanda berbagai penjuru dunia. Sehingga dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintah yang baik dapat tercapai dengan lancar.
Dengan latar belakang pemikiran-pemikiran itulah, maka kiranya perlu dibentuk suatu pusat kajian yang dapat memberikan kontribusinya bagi berlangsungnya pergeseran-pergeseran paradigma tersebut, ke arah yang mendukung bagi berlangsungnya pembangunan nasional kita. Untuk itulah, maka dibentuk Pusat Kajian Hukum dan Kepemerintahan yang Baik.

Prinsip Good Governance atau asas umum pemerintahan yang baik merupakan ideologi lama yang baru mendapat tempat ketika kondisi negara sudah dalam keadaan kacau baik di bidang politik, ekonomi, sosial hukum, dan administrasi, termasuk didalamnya mekanisme/proses dan lembaga-lembaga yang menanganinya.
Konsep Good Governance ini sudah lama berkembang, bermula dari adanya rasa ketakutan (fear) sebagian masyarakat terhadap freies ermessen yang memberikan wewenang kepada pejabat negara/ administrasi untuk bertindak sendiri di luar peraturan perundang-undangan. Kewenangan yang diberikan ini dikuatirkan akan menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat sehingga mucullah apa yang dinamakan prinsip umum pemerintahan yang baik atau the general principle of good administration. 

Prinsip ini sekarang sudah diterima sebagai suatu keharusan. Asas-asas pemerintahan yang baik ini dikembangkan oleh teori ilmu hukum dan yurisprudensi baik di lingkungan adminstrasi negara maupun oleh putusan-putusan pengadilan sehingga mendapat tempat yang layak dalam peraturan perundang-undangan di beberapa negara termasuk Indonesia. Banyak negara telah menerapkan prinsip ini sekitar 50-100 tahun yang lalu, sedangkan Indonesia baru mengemuka di era reformasi ini.

Banyak unsur dari prinsip good governance yang telah diterima oleh masyarakat, hal terpenting dari unsure tersebut adalah kecermatan (carefulness), kepastian (security), kewajaran (reasonableness), persamaan (equality), dan keseimbangan (balances).

Jika dihubungkan dengan negara secara keseluruhan maka prinsip good governance merupakan prinsip yang mengetengahkan keseimbangan hubungan antara masyarakat (society) dengan negara (state) serta negara dengan pribadi-pribadi (personals). Ini artinya, setiap kebijakan public (public policy) mau tidak mau harus melibatkan berbagai pihak dan sektor baik pemerintah, masyarakat maupun sektor swasta dengan aturan main yang jelas. Dengan demikian, penerapan good governance di Indonesia diharapkan terciptanya format politik demokratis, dan melahirkan model alternative pembangunan yang mampu menggerakkan partisipasi masyarakat di segala bidang kehidupan.

Bila dilihat dari kondisi Indonesia yang amburadul saat ini, maka prinsip good governance ini jelasjelas bukanlah obat mujarab untuk melindungi dan membersihkan negara ini dari isu korupsi, kolusi dan nepotime. Karena korupsi sudah ada ditengah-tengah kita sejak awal manusia mulai membentuk organisasi dan korupsi meruapakan bagian dari kegiatan kolektif kita. Namun demikian, tidak berarti kita boleh bersikap acuh tak acuh, karena korupsi merusak kehidupan ekonomi dan landasan moral tata kehidupan.

Pada umumnya kita cenderung menganggap korupsi tidak ada, atau cenderung tidak mengindahkannya. Memang benar, sulit untuk melihat apakah korupsi ada atau tidak, karena korupsi berlangsung dalam selubung kerahasiaan. Selain itu menurut Aristoteles, kesulitan ini juga karena ”hal yang biasa terjadi sehari-hari mendapat perhatian paling kecil dari masyarakat”. Namun, kita harus membangkitkan dorongan yang lebih kuat dalam diri kita masing-masing untuk membasmi korupsi. Zaman informasi telah membuka peluang bagi masyarakat dan organisasi non-pemerintah mendapatkan alat-alat untuk menyusun kekuatan dan informasi untuk membasmi korupsi di tingkat lokal.

Gerakan menuju desentralisasi, akuntabilitas, dan bentuk-bentuk pemerintah berdasarkan demokrasi di tingkat lokal semakin bergairah. Dalam hubungan ini kerugian besar yang ditimbulkan korupsi semakin banyak dibicarakan dalam masyarakat. Masyarakat luas juga mengharapkan melalui good governance dapat mengkikis habis semua perbuatan yang merugikan kepentingan umum yang terjadi dalam pemerintahan. Korupsi adalah simbol dari pemerintahan yang tidak benar, yang dicerminkan oleh patronese, prosedur berbelit-belit, unit pemungut pajak yang tidak efektif, pengurusan lisensi, korupsi besar-besaran dalam pengadaan barang dan jasa, dan layanan masyarakat yang sangat buruk.

Sebagaimana diuraikan di atas bahwa sejarah lahirnya good governance ini berawal dari rasa ketakutan sebagian masyarakat terhadap kebebasan bertindak dari pajabat negara dalam menjalankan tugasnya. Pada mulanya asas ini mendapat tantangan khususnya dari pejabat-pejabat dan pegawai pemerintah karena ada kekuatiran bahwa hakim atau peradilan administrasi kelak akan mempergunakan istilah ini untuk memberikan penilaian terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil pemerintah. Namun keberatan tersebut saat ini telah lenyap karena tidak ada relevansinya lagi. Freies Ermessen tetap dapat dilaksanakan pemerintah dalam melakukan fungsinya, bahkan untuk masa sekarang asas-asas umum pemerintahan yang baik itu telah diterima dan dimuat dalam berbagai peraturan undang-undangan.

Beberapa unsur pemeritahan yang baik, yang telah memperoleh tempat yang layak dalam peraturan perundang-undangan di beberapa negara antara lain:
1. Asas bertindak cermat;
2. Asas motivasi;
3. Asas kepastian hukum;
4. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan;
5. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal;
6. Asas menanggapi penghargaan yang wajar;
7. Asas kebijaksanaan;
8. Asas tidak mencampuradukkan kewenangan;
9. Asas keadilan dan kewajaran;
10. Asas penyelenggaraan kepentingan umum;
11. Asas keseimbangan;
12. Asas permainan yang layak;
13. Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara) hidup pribadi.

Perumusan dan penetapan asas-asas tersebut di atas berpangkal pada teori-teori hukum umumnya dan yurisprudensi serta norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Apabila asas-asas ini digunakan oleh hukum Indonesia, maka asas ini tidak boleh terlepas dari norma-norma hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia.

Menurut Abdul Gani Abdullah, good governance itu berhubungan erat dengan manajemen pengelolaan kebijakan pembangunan (khususnya bidang hukum). Apabila seorang pejabat publik akan mengambil keputusan dalam melaksanakan pemangunan, terlebih dahulu dia harus menerapkan prinsipprinsip penyelenggaran pemerintahan yang baik sehingga hasil akhirnya secara menyeluruh adalah suatu perintah yang baik. Keputusan yang diambil oleh seroang pejabat publik baik itu berbentuk kebijakan (bescchiking) maupun aturan umum (regeling) harus benar-benar berdasarkan kewenangan yang diberikan undang-undang maupun yang dilimpahkan oleh pejabat. Ciri good governance di sini adalah keputusan tersebut diambil secara demokratis, transparan, akuntabilitas, dan benar.

Konsep good governace sangat diperlukan dalam pembangunan berkelanjutan karena merupakan prasyarat untuk mendapatkan keseimbangan yang efektif antara lingkungan dan pembangunan. Tanpa ini pembangunan berkelanjutan akan salah arah. 

Good governance adalah pelaksanaan otoritas politik, ekonomi dan adminstratif dalam pengelolaan sebuah negara, termasuk di dalamnya mekanisme yang kompleks serta proses yang terkait, lembagalembaga yang dapat menyuarakan kepentingan perseorangan dan kelompok serta dapat menyelesaikan semua persoalan yang muncul diantara mereka. Persyaratan minimal untuk mencapai good governance adalah adanya transparansi, pemberdayaan hukum, efektifitas dan efisiensi, serta keadilan.

Dalam hubungan denga dunia hukum ada berapa unsur dari good governance yang perlu menjadi perhatian antara lain:
1. Pertama, adanya aturan aturan hukum bagi seluruh tindakan ataupun kabijakan yang di ambil dalam proses penyelenggaran pemerintah.
2. Kedua adanya suatu perancangan peraturanperundang-undangan malalui beberapa ukuran standar misalnya standar empirik ,standar filosofistik standar futuralistik, dan standar HAM, serta standar keadilan.

Standar empirik artinya pembuat peraturan perundang undanga harus jelas tujuannya, jelas kepentingan yang dilindungi, undang-undang itu terbentuk karena dibutuhkan oleh masyarakat sehingga diterima oleh masyarakat sebagai aturan yang mengatur kehidupan mereka dan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat yang ada. Misalnya di era reformasi ini di mana keterbukaan menjadi pilihan utama, kemudian ada undang-undang yang di sebut justru menghambat katerbukaan maka undang-undang tersebut jelas akan di tolak masyarakat. Sebagai contoh undang-undang penyiaran dianggap justru menghambat kebebasan mengeluarkan pendapat dan menghambat keleluasan lembaga penyiaran dalam melakukan tugas nya atau karena ada intervensi pemerintah. 

Standar filosofistik bahwa pembuatan undang-undanh harus bersifat universal yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan masyarakat. Di sana tidak boleh ada pertentangan atau saling menyalahi. Standar ini juga mengatur kehidupan manusia berdasarkan kehidupan agama dan pemahaman nilai-nilai universal kemanusiaan sehingga masalah persamaan, martabat manusia, hak asasi dan kewajiban asasi seseorang manusia harus terpenuhi.

Standar futuralistik artinya undang-undang tersebut dapat memprediksi apa yang akan terjadi di masa akan datang sehingga diketahui perlu atau tidaknya perubahan undang-undang. Undang-undang tersebut bersifat supel yang dapat diterapkan dlam beberapa tahun ke depan. Di Indonesia sering terjadi peraturan perundang-undangan silih berganti, baru berlaku sebentar sudah diganti dengan yang lain misalnya Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-undang di bidang Pasar Modal juga demikian, karena peraturan di bidang hukum bisnis terus berubah sejalan dengan perkembangan masyarakat bisnis, tetapi yang jelas diperlukan standar yang pasti.

Standar HAM artinya undang-undang yang dibuat tidak boleh mengorbankan HAM, tidak boleh bertentangan dengan hak-hak pribadi seseorang dan bertentangan dengan kepentingan umum. 

Standar keadilan berarti undang-undang yang dibuat harus transparan, akuntabilitas, persamaan, dan dapat memberikan keadilan kepada masyarakat. Hal yang penting dalam prinsip good governance adalah pemberdayaan hukum seperti adanya peraturan dan kebijakan dan system peradilan pidana yang independent, dan professional.

Bentuk asas umum pemerintahan yang baik di Indonesia, secara resmi belum dirumuskan dengan rinci dalam bentuk tertulis. Istilah Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) itu masih sangat jarang sekali ditemukan. Istilah tersebut mungkin baru pertama ditemuka dalam Inpres No. 15 Tahun 1983 dengan menggunakan istilah “Sendi-sendi Kewajaran Penyelenggaraan Pemerintahan“ untuk mencapai apartur negara yang bersih dan berdaya guna.

Namun demikian, terlepas dari istilah, asas-asas itu sesungguhnya secara materiel telah terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi. Karena itu AUPB tersebut, tidak saja mempunyai kekuatan mengikat secara moral dan doktrinal9 tetapi lebih dari asas umum pemerintahan yang baik juga mempunyai kekuatan mengikat secara hukum, dan merupakan salah satu sumber Hukum Administrasi Negara (HAN) formal. Undang-undang sebagai salah satu sumber HAN formal maksudnya bukan hanya undang-udang dalam arti formal, tetapi mencakup semua undang-undang dalam arti materiel yaitu produk hukum yang mengikat seluruh penduduk secara langsung.

Upaya mewujudkan good governance di Indonesia merupaka suatu prioritas dalam rangka menciptakan suatu tatanan masyarakat, bangsa, dan negara yang lebih sejahtera, jauh dari korupi, kolusi, dan nepotisme, karena dalam kenyataannya masyarakat masih jauh dari hidup layak, korupsi masih meraja lela. Namun demikian perjuangan dalam menciptakan pemerintahn yang bersih tidak boleh berhenti, harus tetap dilanjutkan dan diupayakan semaksimal mungkin hingga suatu saat akan dirasakan begitu bermatabatnya bangsa yang memiliki komitmen, tanggung jawab, dan harga diri. 

Konsep good governance bukan saja clean governance tetapi semua faktor-faktor pendukung harus memiliki code of conductnya sendiri, ada ketaatan kepada hukum, sistem dan sebagainya. Namun demikian tetap saja fungsi negara untuk melindungi kelompok-kelompok yang tidak mempunyai kekuasaan haruslah memegang peranan penting di dalam mewujudkan good governance, karena sampai saat ini kita memiliki civil society yang korup. Negara yang berhasil menarapkan good governance di Asia antara lain Korea Selatan dan Thailand. Kedua Negara tersebut memiliki komitmen politik dari pemimpin mereka meski tidak semua. Di Indonesia komitmen politik itu belumlah begitu jelas. Komitmen politik itu bias dimulai dari Presiden, Wakil Presiden, Kapolri, Kepala BUMN dan sebagainya.

Di dalam bukunya Robert Klitgoard disebutkan jika sistem pembertantan korupsi belum terbangun, begitu juga sistem politik dan sistem hukum belum terbentuk dan tidak mendukung, maka pemberantasan korupsi harus dimulai dari tingkat atas atau pemimpinnya. Hal tersebut berhasil diterapkan di Singapura, Hongkong dan Thailand. Hal ini belum kita temukan di Indonesia kecuali hanya diucapkan pada saat kampanye pemilu. Sebagian besar pemilihan kepala daerah dipilih melalui proses politik yang kotor, bagaiman mungkin mendapat gubernur dan bupati yang bersih.

Salah satu program good governance adalah pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi menurut Klitgoard ditimbulkan karena ada monopoli, kekuasaan, dan diskresi yang begitu besar. Selama masih ada sentralisasi kekuasaan dan aturan-aturan yang tidak jelas dan tidak ada pertanggungjawab publik maka akan menimbulkan peluang korupsi. Di Indonesia dapat kita lihat peluang korupsi begitu besar, birokrasi begitu panjang,gaji pegawai negeri yang kecil, tidak adanya sistem public complain dan hampir semua partai politik mencari uang untuk membesarkan partainya.

Korupsi itu bukan merupakan kejahatan kalkulasi, dan bukan kejahatan orang bodoh, karena korupsi merupakan kejahatan rasional, orang akan melakukan korupsi jika keuntungan banyak dan resikonya kecil. Di Indonesia peluang ini terbuka lebar, tidak ada hukuman yang jelas, tidak ada ancaman untuk dikucilkan, dicemohkan. Acaman hukuman menjadi tidak jelas karena pengadilan sudah dikuasai oleh para mafia, hukum selalu dan diperjual belikan putusan pengadilan selalu dimenangkan oleh penawar yang lebih tinggi.

Sejak era reformasi bergulir dipertengahan tahun 1998, masalah korupsi menjadi salah satu kajian menarik untuk dibicarakan dan diangkat kepermukaan. Usaha-usaha pemberatnsan korupsi di Indonesia secara yuridis sudah dimulai sejak tahun 1957 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemberantasan Korupsi; Peraturan Penguasa Militer Angkatan darat dan Laut Nomor Prt/PM/06/1957 dan Peraturan Penguasa Perang Pusat (Peperpu) No. 13 yang kemudian menjadi UU No. 24 /Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

Kemudian dilanjutkan dengan usaha-usaha pemberatansan korupsi oleh pemerintah sejak awal 1970-an yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No, 228/1967 Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) hingga lahirnya UU No. 3/1971 tentang Tindak Pidana Korupsi. Begitu juga dengan pembinaan upaya pembinaan dari pejabat-pejabat telah dirtingkatkan melalui pengawasan yang ketat, baik yang dilakukan oleh intern departemen dan lembaga maupun secara ekstern oleh Menteri Aparatur Negara. Namun seiring dengan pesatnya pembangunan, terasa pula semakin meingkatnya kebocoran dalam pembangunan, terbukti dengan kasus-kasus korupsi yang menyangkut kerugianm negara milyaran hinggs triliyunan rupiah.

Korupsi merupakan salah satu bentuk perbuatan melanggar hukum yang sangat membahayakan keadaan keuangan negara, dan akan berakibat terhambatnya pembangunan, karena banyak dana yang keluar tidak sesuai dengan pembangunan itu sendiri, sehingga tujuan yang diharapkan tidak tercapai. Oleh karena itu perlu ditingkatkan kebijakan serta langkah-langkah penegakan hukum berupa penindakan terhadap perkara korupsi, penyalahgunaan wewenang dan lain sebagainya.

Seiring dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta peran masyarakat untuk mencegah dan memberantasnya, maka pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain:
1. UU No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
2. UU No. 11/1980 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Suap;
3. UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Koripsi, Kolusi dan Nepotisme;
4. UU No. 31/1999 tentang Pemberantasn Tindak Pidan Korupsi;
5. UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
6. UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
7. PP No. 30/1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri sipil;
8. PP No. 71/2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian
Penghargaan Dalam Pencegah dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
9. Instruksi Presiden No. 5 /2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) berdasarkan UU No. 30/2002, maka Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) sebagaiman diatur dalam UU No. 28/1999 menjadi bagian Komisi Pemberantasn Korupsi.

Dari segi semantik korupsi berasal dari bahasa Inggris yaitu corrupt, yang berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptos dalam bahasa Yunani. Istilah ini kemudian berkembang dalam bahsa Inggris dan Prancis menjadi corruption, bahasa Belanda koruptie dan dalam bahasa Indonesia yaitu korupsi. Arti dari kata korupsi itu adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral kesucian.

Dalam Kamus umum Bahasa Indonesia, korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. 

Menurut Transparancy International korupsi adalah ”perilaku pejabat publik, baik politis maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepadanya.

Definisi korupasi banyak sekali, dalam arti luas, korupsi berarti menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi. Jabatan adalah kedudukan kepercayaan. Seseorang diberi wewenang atau kekuasaan untuk bertindak atas nama lembaga. Lembaga itu bisa lembaga swasta, lembaga pemerintah, atau lembaga nirlaba. 

Korupsi berarti memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan, atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah. Korupsi adalah tidak melaksanakan tugas karena lalai atau sengaja.

Korupsi juga bisa dinyatakan sebagai suatu pemberian, dalam prakteknya korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungan dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya. Secara hukum pengertian korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindakpidana korupsi. Untuk tulisan ini pengertian korupsi lebih ditekankan pada perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi atau golongan.

Namun dalam praktek ternyata masalah pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dilaksanakan dengan pendekatan hukum semata-mata, karena penyakit ini sudah menyebar luas ke seluruh tatanan social dan pemerintahan hampir di semua negara. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan tidak hanya sematamata bersifat represif, tetapi seharusnya juga bersifat preventif dan rehabilitatif.

Pendekatan preventif yang ampuh antara lain dengan menciptakan iklim kerja yang sehat dalam lingkup tugas pemerintahan, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah. Tanpa langkah preventif dimaksud, maka pemberantasan korupsi hanya akan berhasil mengatasi ”gejala” dan bukan menghancurkan akar penyebab dan sumber penyakit korupsi yang justru tumbuh subur di kalangan masyarakat.

Langkah preventif berdaya guna harus juga diarahkan pada upaya untuk memberdayakan seluruh komponen dalam masyarakat, baik tua maupun muda, serta melalui lembaga-lembaga peradilan dan ”informal leader” agar semua lapisan masyarakat memiliki semangat untuk membenci korupsi. Langkah ini diharapkan dapat menciptakan budaya anti korupsi di kalangan masyarakat luas.

Dalam hal ini maka kultur masyarakat Indonesia yang bersifat paternalistik tidak boleh dilihat sebagai penghambat untuk melaksanakan upaya preventif dan upaya represif tersebut di atas, melainkan harus dilihat sebagai hal yang potensial yang memiliki daya guna yang tinggi untuk memberantas korupsi. Caranya adalah dengan menumbuhkan kebiasaan baik untuk tidak menerima atau meminta ”upeti” dan harus selalu memelihara konsistensi antara sikap dan ucapan. Sumber penyebab meminta upeti dikalangan pejabat pemerintah ialah karena mereka memiliki keserakahan atau dalam bahasa agamais, karena mereka termasuk orang yang kurang atau tidak bersyukur atas banyaknya nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan Yang maha Esa kepada mereka. Berlainan halnya dengan perbuatan mencuri yang dilakukan oleh mereka yang berada dilapisan bawah dan sering dilakukan dalam keadaan terpaksa, karena hanya untuk sekedar mempertahankan diri agar tetap hidup.

Dalam konteks hubungan pemerintahan pusat dan daerah sesuai dengan UU No. 32/2004 tentang OTDA dan UU No. 25/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah,maka konsep good governance sebagai salah satu pendekatan yang diandalkan tidak akan dapat menjamin berkurangnya praktek korupsi, karena pejabat pemerintahan di pusat harus terlebih dahulu memberikan teladan yang baik kepada pejabat daerah. Hal ini secara rasional dapat dibenarkan karena ekses dari dominasi pusat sebagai pusat kekusaan dan uang.

Di sisi lain juga ada kekuatiran bahwa dengan pelimpahan wewenang sebagian tuga pusat ke daerah sesuai dengan undang-undang tersebut di atas, maka penyakit korupsi di pusat akan pindah ke daerah. Hal ini dapat dicegah dengan mengembangkan sistem check and balance, baik secara internal kelembangaan maupun secara eksternal melalui pemberdayaan masyarakat luas untuk merasa memiliki dan berkepentingan atas maju mundurnya daerah masing-masing. 

Masalah korupsi di daerah akan semakin rumit jika di lihat pada sektor swasta yang tumbuh dan berkembang di daerah, apalagi dengan akan dibukanya arus penanaman modal asing untuk langsung masuk ke daerah melalui prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, maka sudah tentu jika tidak diatur secara ketat akan menimbulkan efek negatif di lingkungan pergaulan internasional. Pencegahan yang efektif untuk mencari solusi yang tepat ialah dengan melakukan pembinaan terhadap potensi daerah, terutama para tenaga ahli dan tenaga profesional dalam bidang masing-masing dengan mengikutsertakan lembaga-lembaga pendidikan yang kompoten untuk iktu bekerja sama dalam membangun daerahnya masing-masing. . Pemikiran ini sejalan dengan situasi sekarang ini karena semua perguruan tinggi negeri saat ini sedang menempa dirinya untuk menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

Oleh karena itu untuk adanya keharmonisan antara pemerintahan pusat dan daerah perlu diatur dalam satu perangkat perundang-undangan yang memadai baik tingkat tingkat pusat maupun tingkat daerah yang mendorong terjadinya kemajuan pesat dalam konteks pengembangan potensi dan kewenangan daerah dan terciptanya ’good governance” di daerah.

Prinsip Good Governance atau asas umum pemerintahan yang baik merupakan ideologi lama yang baru mendapat tempat ketika kondisi negara sudah dalam keadaan kacau baik di bidang politik, ekonomi, sosial hukum, dan administrasi, termasuk didalamnya mekanisme/proses dan lembaga-lembaga yang menanganinya. Banyak negara telah menerapkan prinsip ini sekitar 50-100 tahun yang lalu, sedangkan Indonesia baru mengemuka di era reformasi ini.

Priinsip good governance sebenarnya merupakan prinsip yang mengetengahkan keseimbangan antara masyarakat (society) dengan negara (state) serta negara dengan pribadi-pribadi (personals). Artinya, setiap kebijakan public (public policy) harus melibatkan berbagai pihak baik pemerintah, masyarakat maupun nsektor swasta dengan aturan main yang jelas. Ciri good governance di sini adalah keputusan tersebut diambil secara demokratis, transparan, akuntabilitas, dan benar. 

Upaya mewujudkan good governance merupaka suatu prioritas dalam rangka menciptakan suatu tatanan masyarakat, bangsa, dan negara yang lebih sejahtera, jauh dari korupi, kolusi, dan nepotisme. nPerjuangan dalam menciptakan pemerintahn yang bersih tidak boleh berhenti, harus tetap dilanjutkan dan diupayakan semaksimal mungkin hingga suatu saat akan dirasakan begitu bermatabatnya bangsa yang memiliki komitmen, tanggung jawab, dan harga diri.

Negara yang berhasil menerapkan good governance di Asia antara lain Korea Selatan dan Thailand. Kedua Negara tersebut memiliki komitmen politik dari pemimpin mereka meski tidak semua. Jika system pembertantas korupsi, sistem politik dan sistem hukum belum terbangun dan tidak mendukung, maka pemberantasan korupsi harus dimulai dari tingkat atas atau pemimpinnya. Hal tersebut berhasil diterapkan di Singapura, Hongkong dan Thailand. Namun belum kita temukan di Indonesia kecuali hanya diucapkan pada saat kampanye pemilu dan sebagian besar pemilihan kepala daerah dipilih melalui proses politik yang kotor, sehingga akan sulit mendapatkan gubernur dan walikota/bupati yang bersih. Peluang korupsi begitu besar, birokrasi begitu panjang, gaji pegawai negeri yang kecil, tidak adanya sistem public complain dan hamper semua partai politik mencari uang untuk membesarkan partainya.

Dari segi hukum, peraturan yang ada dapat dikatakan memadai, karena sudah diberlakukn sejumlah peraturan perundang-undangan yang sifatnya anti korupsi. Namun dalam prakteknya masalah pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dilaksanakan dengan pendekatan hukum semata-mata, karena korupsi sudah menyebar luas ke seluruh tatanan sosial dan pemerintahan hampir di semua negara. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan tidak hanya bersifat represif, tetapi juga preventif dan rehabilitatif.

Pendekatan preventif antara lain dengan menciptakan iklim kerja yang sehat dalam lingkup tugas pemerintahan pusat maupun di tingkat daerah. Tanpa langkah preventif, maka pemberantasan korupsi hanya akan berhasil mengatasi ”gejala” dan bukan menghancurkan akar penyebab dan sumber korupsi yang justru tumbuh subur di kalangan masyarakat. 

Konsep good governance sebagai salah satu pendekatan yang diandalkan tidak akan menjamin berkurangnya praktek korupsi, jika pejabat pemerintahan di pusat tidak memberikan teladan yang baik kepada pejabat daerah. Hal ini secara rasional dapat dibenarkan karena ekses dari dominasi pusat sebagai pusat kekusaan dan uang.

Di sisi lain juga ada kekuatiran dengan pelimpahan wewenang sebagian tugas pusat ke daerah, maka dipastikan korupsi di pusat akan pindah ke daerah. Namun hal ini mungkin dapat dicegah dengan dikembangkan sistem check and balance, baik secara internal maupun eksternal melalui pemberdayaan masyarakat untuk merasa memiliki dan berkepentingan atas maju mundurnya daerah masing-masing.

Daftar Pustaka
Abdullah, Abdul Gani. Legal Drafting & Good Governance. Jurnal Keadilan. Vol2. No. 5 Tahun 2002.
Syamsudin, Amir. “Asas Umum Pemerintahan yang Baik”. Jurnal Keadilan. Vol. 2 No. 5 Tahun 2005: Jakarta
Hamzah, Andi. Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya. 1991. Jakarta: Gramedia
Hafild , Emmy. Transparancy International Annual Report (Transparancy International), Jakarta 2004
Ceote, Husin. “Pengelolaan Sumber Daya Alam & Lingkungan Serta Good Governance di Era Otonomi Daerah dalam Pembangunan Berkelanjutan”, Jurnal Keadilan, Vol2. No. 5 Tahun 2002.
Muchsan, Pengantar Hukum Adminstrasi Nagara Indonesia, Liberty, Yogjakarta, 1982, hal. 2
Narbun SF & Nuh. Mahfud, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Leberty, Yogyakarta, 1987, hal. 58-59.
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hal.77.
Poerwadaminta WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, , Jakarta: Balai Pustaka
Robert Kligaard, Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 2005,
Teten Masduki,” Implewmentasi Prinsip Goog Governance di Indonesi” Jurnal Keadilan, Vol2. No. 5 Tahun
2002.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment