OTONOMI DAERAH DAN FREE INTERNAL TRADE

Prinsip Free Internal Trade 

Perdagangan bebas menjamin bahwa ekonomi dapat tumbuh dengan lebih cepat dan karena itu meningkatkan ketersediaan lapangan kerja dan pada gilirannya meningkatkan pendapatan masyarakat. Perkembangan ini juga menjamin bahwa penerimaan pemerintah, termasuk di tingkat daerah, akan meningkat. Sebaliknya, hambatan terhadap perdagangan dalam negeri (dan perdagangan secara umum) menciptakan ekonomi biaya tinggi yang berdampak negatif pada kegiatan konsumsi dan produksi, dan pada gilirannya akan mengurangi penerimaan pemerintah, termasuk di tingkat daerah. Maka free internal trade menguntungkan secara nasional dan pada tingkat daerah. 

Penerapan prinsip free internal trade ini menjamin adanya efisiensi dalam kegiatan ekonomi, pembangunan ekonomi, integritas nasional, daya saing internasional, dan pemberantasan kemiskinan (Goodpaster dan Ray, 2000). Alasan-alasan di atas umumnya disadari secara luas, kecuali yang menyangkut kemiskinan. Bahkan dalam banyak hal hambatan atas perdagangan dibenarkan demi perbaikan nasib para petani. Kenyataan justru menunjukkan bahwa penerapan tata niaga perdagangan dalam komoditi cengkeh dan jeruk justru menurunkan penghasilan petani (Ubaidillah dkk, 2001). Studi lain juga menunjukkan bahwa pungutan-pungutan yang mempengaruhi perdagangan, khususnya hasil pertanian, menurunkan penerimaan petani karena beban pungutan-pungutan biasanya digeserkan kepada petani.

Pelanggaran prinsip free internal trade jelas tidak mendukung upaya pemberantasan kemiskinan. Tetapi, mengapa prinsip ini cenderung untuk dilanggar? Secara lebih rinci, persoalan ini akan dibahas dalam bagian berikutnya. Namun beberapa persoalan dasar perlu diutarakan di sini. Intinya terletak pada kondisi politik (lokal dan nasional) serta lemahnya penadbiran (governance). Pihak yang paling terkena oleh penerapan hambatan perdagangan, yaitu umumnya petani, berada dalam kedudukan yang sangat lemah secara politis untuk menentangnya. Sementara itu, berbagai hambatan perdagangan di tingkat lokal diterapkan untuk melindungi kepentingan-kepentingan kelompok tertentu (produsen besar/kuat) atau atas dasar argumentasi pengembangan komoditas unggulan atau industri andalan di suatu daerah. Tetapi insentif yang tidak kalah pentingnya bagi penerapan berbagai hambatan tersebut adalah peluang bagi perburuan rente (rent seeking) bagi oknum pejabat pemerintah lokal mau pun oknum non-pemerintah (para preman). Faktor-faktor ekonomi politik (political economy) ini umumnya lebih kuat daripada argumen rasional ekonomi. 

Oleh karena itu maka prinsip free internal trade harus menjadi bagian dasar dari sistim pengelolaan ekonomi. Di banyak negara, prinsip ini dijamin dengan mendudukkannya dalam konstitusi (undang-undang dasar). Di Indonesia, UUD 1945 tidak menjamin prinsip ini. Undang-undang yang mengatur desentralisasi, UU no 22/1999, malahan tidak mencantumkan masalah perdagangan dalam wewenang pusat (nasional). Kelemahan ini ingin diatasi dengan menetapkan dalam PP no 25/2000 (untuk pelaksanaan UU no 22/1999) bahwa peraturan tentang lalu lintas barang dan jasa dalam negeri tetap merupakan masalah nasional. Tetapi kedudukan PP itu sendiri juga lemah.

Bila demikian, dapatkah prakarsa datang dari tingkat daerah, dalam bentuk kesepakatan antar daerah untuk merumuskan "kebijakan yang saling menunjang", yaitu yang saling menguntungan dan ditujukan untuk meningkatkan daya saing masing-masing? Apakah tersedia insentif untuk itu? Daerah yang terkena pungutan atas komoditi yang dihasilkannya bila dikirimkan ke luar melalui daerah lain seharusnya menentang "eksternalitas negatif" itu. Khususnya mengenai komoditi pertanian, yang umumnya tidak tahan lama, biasanya terjadi semacam kompromi, yang berarti kesepakatan tentang jumlah yang dibayar oleh pihak yang mengangkut komoditi tersebut baik secara resmi maupun tidak resmi. Sebuah truk angkutan buah-buahan dari Sumatera Utara ke Jakarta yang membawa 8 ton jeruk harus melalui 16 jembatan timbang dengan dikenakan berbagai denda (biarpun mungkin muatannya tidak melebihi kapasitas) dan restribusi jalan, serta pungutan di pelabuhan penyeberangan, maupun restribusi hasil pertanian. Jumlah pungutan itu dapat mencapai lebih dari Rp 1 juta atau hingga 7 persen dari nilai penjualan jeruk tersebut.

Oleh karena tercapai kesepakatan itu, yang berdampak negatif pada penghasilan petani di daerah asal komoditi, maka tidak ada upaya untuk "menginternalisasikan" eksternatlitas negatif itu dengan menuntut kompensasi. Bila yang terkena adalah pengangkutan produk manufaktur sangat mungkin produsen bersangkutan akan berteriak. Ubaidillah dkk. (2001) menunjukkan bahwa dampak pungutan sangat dirasakan oleh usaha kecil menengah (UKM). Tetapi umumnya pemerintah daerah asal produk itu tidak akan mempersoalkannya dengan pemerintah daerah lain yang mengenakan pungutan tersebut. Sebab terdapat kecenderungan setiap pemerintah daerah untuk mengenakan pungutan serupa juga terhadap produsen dari daerah itu sendiri. Hal ini seringkali didorong oleh suatu sikap yang cukup meluas bahwa produsen (apalagi yang besar) harus "membagi keuntungan" dari kegiatan produksinya itu. Atau, seperti konstatasi Ubaidillah dkk., aktivitas perdagangan dilihat sebagai hanya memberikan keuntungan bagi para pelakunya dan tidak mempunyai dampak bagi pembangunan daerah. Maka sejumlah pungutan resmi dan tidak resmi, oleh pemerintah mau pun pihak non- pemerintah, seringkali dianggap absah. 

Kini dalam era otonomi daerah, di mana setiap pemerintah daerah berupaya memaksimalkan penerimaan asli daerah (PAD), proliferasi pajak dan retribusi cenderung terjadi di mana-mana. Pungutan-pungutan itu tidak hanya menyangkut perdagangan antar-daerah tetapi juga terhadap kegiatan ekonomi dalam daerah sendiri. Karena "sama-sama melakukan" maka tidak terdapat insentif pada satu daerah untuk mengajak daerah lain merumuskan suatu kebijakan antar-daerah yang menghilangkan pungutan-pungutan tersebut.

Perkembangan di Tingkat Daerah
Sebelum era otonomi daerah di daerah telah terdapat berbagai jenis pungutan daerah. Sebelum UU no 18/1997, yang dikeluarkan untuk memerangi ekonomi biaya tinggi dengan memangkas pungutan daerah, di tingkat propinsi terdapat 6 jenis pajak dan58 jenis retribusi, sedangkan di tingkat kabupaten/kota terdapat 36 jenis pajak dan 134 jenis retribusi. Dari keseluruhan jenis retribusi tersebut, rata-rata di setiap propinsi diberlakukan 20 jenis dan di kabupaten/kota diberlakukan lebih dari 50 jenis (SMERU, 2001). Di samping itu juga terdapat apa yang disebut Sumbangan Pihak Ketiga (SPK) yang tidak jelas dasar dan manfaatnya dan yang penerapannya seringkali dilakukan melalui Surat Keputusan atau Surat Edaran kepala daerah (gubernur atau bupati).

Selain pungutan ini juga terdapat berbagai peraturan yang dikeluarkan dari pusat mau pun dari daerah yang mempengaruhi perdagangan di daerah dan antar daerah. Peraturan serupa ini termasuk: (a) pemberian monopoli perdagangan cengkeh kepada BPPC; (b) pemberian hak monopoli perdagangan jeruk di Kalimantan Barat kepada Kelompok Humpus dan kemudian diambil alih Kelompok Bimantara bekerjasama dengan KUD; (c) keharusan menjual produk lokal ke KUD di NTT; (d) rayonisasi pemasaran teh di Jawa Barat; (e) kuota perdagangan ternak antar pulau; dan (f) sistim intensifikasi tebu rakyat. 

Dengan UU no 18/1997, dan diperkuat oleh Letter of Intent (LOI) pemerintah dengan IMF tanggal 15 Januari 1998, dikeluarkan berbagai keputusan pemerintah untuk menderegulasikan perdagangan dalam negeri, yaitu Inpres no 1/1998, Inpres no 2/1998, Inpres no 5/1998, Keppres no 21/1998, Surat Menteri Perindustrian dan Perdagangan no 44/MPP/I/1998, Instruksi Mendagri no 9/1998 dan Instruksi Mendagri no 10/1998. Kedua instruksi terakhir ini mencabut 19 jenis pajak daerah dan 54 jenis retribusi daerah, yang sebagian besar menyangkut perdagangan produk hasil pertanian. Selama ini sektor pertanian dan pedesaan termasuk yang terkena tingkat pajak yang tertinggi. Perdagangan hasil pertanian merupakan sasaran pemerintah daerah oleh karena pembatasan dalam penarikan pajak lain. 

UU no 18/1997 membawa dampak positif pada sektor pertanian. Studi SMERU - Persepsi Daerah (1999) menunjukkan bahwa penerimaan petani meningkat sebesar 12 persen. Namun demikian UU ini tidak populer di daerah dan mendapat tentangan dari pemerintah daerah karena dianggap menurunkan pendapatan daerah. Oleh karena UU no 18/1997 menyamaratakan jenis pajak dan retribusi yang boleh dipungut pemerintah daerah, maka UU ini dianggap bertentangan dengan semangat otonomi daerah.

Di daerah, pelaksanaan otonomi daerah terlanjur dilihat terutama dari peningkatan PAD. Maka UU no 18/1997 segera menjadi target untuk dihapuskan. Desakan-desakan ini telah melahirkan UU no 34/2000 yang merupakan revisi UU no 18/1997. UU baru ini memberikan kewenangan dan keleluasaan lebih besar kepada daerah untuk menetapkan pajak baru melalui peraturan daerah. UU ini juga merinci kriteria bagi retribusi yang dapat diterapkan oleh pemerintah daerah, yang terdiri dari tiga kategori sebagai berikut: (a) retribusi jasa publik; (b) retribusi jasa bisnis; dan (c) retribusi perijinan khusus. Dalam UU ini juga dinyatakan bahwa peraturan daerah (Perda) baru yang menyangkut pajak dan retribusi daerah harus disampaikan kepada pemerintah pusat dalam kurun waktu 15 hari setelah dikeluarkan untuk dinilai. Bila Perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan UU atau peraturan yang lebih tinggi, pemerintah pusat dapat membatalkannya. Tetapi pembatalan ini harus dilakukan tidak lebih dari satu bulan setelah menerima Perda tersebut.

Efektivitas dari pengawasan oleh pemerintah pusat ini masih harus diuji. Propinsi Lampung, misalnya, telah mengeluarkan peraturan retribusi yang semata-mata melibatkan pemberian lisensi (ijin), bertentangan dengan sifat suatu retribusi. Tugas pengawasan ini tidak mudah mengingat banyaknya jumlah kabupaten/kota sementara belum ada kejelasan pihak mana di pemerintah pusat yang ditugasi untuk ini.

Dalam keadaan serupa ini maka terdapat kemungkinan yang besar akan terjadi proliferasi pungutan daerah untuk meningkatkan PAD, termasuk yang tidak sejalan dengan berbagai prinsip dasar, khususnya yang bertentangan dengan free internal trade. Yang terakhir ini sangat rawan karena bidang perdagangan menjadi sasaran utama peningkatan pendapatan daerah mengingat potensi meningkatkan pendapatan dari bidang lain sangat dibatasi. Sebagai akibatnya akan tercipta suatu ekonomi biaya tinggi yang akan kehilangan daya saing internasional.

Kembali ke Tingkat Nasional
Bahaya ekonomi biaya tinggi sebagai akibat proliferasi peraturan daerah dalam era otonomi daerah tidak dapat diatasi di tingkat lokal/daerah. Persoalan ini merupakan persoalan nasional karena dampaknya dirasakan secara nasional. Penerapan prinsip free internal trade tidak dapat diandalkan pada atau diserahkan kepada daerah, apalagi bila tidak terdapat jaminan perundang-undangannya.
Dalam era otonomi daerah, keutuhan ekonomi nasional tetap merupakan prinsip pokok. Bahkan kecenderungan di tingkat global adalah upaya negara-negara untuk membentuk kawasan perdagangan bebas demi mempertahankan atau meningkatkan daya saing. Era otonomi daerah di Indonesia sebaliknya mengandung bahaya fragmentasi ekonomi dan peningkatan hambatan perdagangan dalam negeri (antar daerah) yang menghasilkan ekonomi biaya tinggi.

Secara nasional harus terdapat jaminan bahwa produsen dan distributor mempunyai hak untuk menjual dan memperdagangkan barang dan jasanya di mana-mana di Indonesia. Untuk itu diperlukan perundang-undangan yang melarang pemerintah daerah menerapkan kebijakan yang mendistorsikan perdagangan dalam negeri. Lalu lintas barang dan jasa dalam ekonomi Indonesia dilarang untuk dikenakan segala macam pajak. Perundang-undangan ini tidak hanya melarang bentuk-bentuk pungutan tersebut tetapi juga harus menjamin bahwa segala bentuk hambatan non-tarif terhadap lalu lintas barang dan jasa juga dilarang. Hambatan serupa ini antara lain adalah praktik pembatasan (rayonisasi) pemasaran, kuota, pembatasan ekspor, kewajiban pengolahan bahan mentah di dalam daerah, kewajiban menjual pada satu pembeli (monopsonis), kemitraan usaha yang dipaksakan. Di banyak negara keutuhan ekonomi nasional dijamin oleh konstitusi. 

Selain aspek perundang-undangan, jaminan bagi keutuhan ekonomi dan penerapan free internal trade itu juga memperlukan kelembagaannya. Di tingkat nasional diperlukan badan yang bertanggung-jawab untuk itu. Badan ini dapat bersifat inter-departemen atau suatu badan khusus. Komite Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) juga dapat dibebani dengan tugas ini. Lembaga atau Badan bersangkutan harus mengawasi, dan bila perlu membatalkan, Perda yang melanggar prinsip free internal trade. Lebih dari itu, lembaga bersangkutan harus dapat mengembangkan suatu kerangka kebijakan persaingan nasional yang koheren dan konsisten. 

Upaya mendisiplinkan daerah juga dapat dilakukan dengan mengenakan sanksi berupa menahan dana alokasi umum (DAU) dari pusat ke daerah. Tetapi khususnya dalam tahap awal pelaksanaan otonomi daerah diperlukan berbagai kejelasan mengenai persoalan keuangan daerah yang merupakan sumber dari penerbitan Perda yang membahayakan keutuhan ekonomi nasional. Ketidakjelasan tentang alokasi dana-dana dari pusat (khususnya DAU) mungkin merupakan penyebab utama pemfokusan pada peningkatan PAD. Otonomi daerah, di tingkat pertama, bukan lah persoalan meningkatkan PAD. Otonomi daerah adalah mengenai kewenangan daerah untuk menentukan penggunaan dana-dana daerah, termasuk yang diterima dari pusat, yang mungkin masih merupakan bagian besar dalam penerimaan daerah. 

Bahaya laten terhadap penghancuran free internal trade dan keutuhan ekonomi nasional terdapat dalam pembatasan daerah untuk memperoleh pajak dari kegiatan di luar perdagangan. Dalam jangka menengah, persoalan ini harus dapat diatasi. Kebijakan antar daerah yang saling menunjang hanya akan muncul bila kejelasan mengenai semua ini ada secara nasional dan di tingkat nasional (pusat dan daerah).

Kesimpulan
Penerapan prinsip free internal trade menjamin adanya efisiensi dalam kegiatan ekonomi, pembangunan ekonomi, integritas nasional, daya saing internasional, dan pemberantasan kemiskinan.Pelanggaran prinsip free internal trade jelas tidak mendukung upaya pemberantasan kemiskinan. 

Sementara itu, berbagai hambatan perdagangan di tingkat lokal diterapkan untuk melindungi kepentingan-kepentingan kelompok tertentu (produsen besar/kuat) atau atas dasar argumentasi pengembangan komoditas unggulan atau industri andalan di suatu daerah. Tetapi insentif yang tidak kalah pentingnya bagi penerapan berbagai hambatan tersebut adalah peluang bagi perburuan rente (rent seeking) bagi oknum pejabat pemerintah lokal mau pun oknum non-pemerintah (para preman). Faktor-faktor ekonomi politik (political economy) ini umumnya lebih kuat daripada argumen rasional ekonomi.

Oleh karena itu maka prinsip free internal trade harus menjadi bagian dasar dari sistim pengelolaan ekonomi. Di banyak negara, prinsip ini dijamin dengan mendudukkannya dalam konstitusi (undang-undang dasar). Di Indonesia, UUD 1945 tidak menjamin prinsip ini. Undang-undang yang mengatur desentralisasi, UU no 22/1999, malahan tidak mencantumkan masalah perdagangan dalam wewenang pusat (nasional). Kelemahan ini ingin diatasi dengan menetapkan dalam PP no 25/2000 (untuk pelaksanaan UU no 22/1999) bahwa peraturan tentang lalu lintas barang dan jasa dalam negeri tetap merupakan masalah nasional. Tetapi kedudukan PP itu sendiri juga lemah.

DAFTAR PUSTAKA
Goodpaster, G. dan Ray, D. (2000), "Trade and Citizenship Barriers and Decentralization," The Indonesian Quarterly, Vol. 28, No. 3 (Third Quarter), pp. 266- 284.
Ubaidillah; Idsijoso, Brahmantio, dan Tambunan, Mangara (2001), "Prospek Perdagangan Dalam Negeri dalam Era Desentralisasi dan Dampaknya atas Pembangunan Ekonomi Daerah", Makalah disampaikan dalam seminar Globalization, Decentralization, and Internal Bariers to Trade, diselenggarakan oleh Partnership for Economic Growth
Soesastro, Adi.2007.Otonomi Daerah dan Kawasan Perdagangan Bebas. www.google.com ,diakses, 10 April 2009.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment