Neoliberalisme di Indonesia

Neoliberalisme merupakan sebuah fenomena sosial-politik yang biasanya dialamatkan kepada sekelompok penguasa dan intelektual di Barat yang mendukung dan ingin menghidupkan kembali gagasan-gagasan liberalisme klasik. Neoliberalisme adalah kata lain dari “liberalisme baru”. Neoliberalisme kerap dianggap sebagai pendukung pasar bebas, ekspansi modal dan globalisasi.

Di Indonesia, walaupun sebenarnya pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal telah dimulai sejak pertengahan 1980-an, antara lain melalui paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, pelaksanaannya secara massif menemukan momentumnya setelah Indonesia dilanda krisis moneter pada pertengahan 1997.

Di Indonesia, pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara masif berlangsung setelah perekonomian Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997/1998 lalu. Secara terinci hal itu dapat disimak dalam berbagai nota kesepahaman yang ditandatatangani pemerintah bersama IMF. Setelah berakhirnya keterlibatan langsung IMF pada 2006 lalu, pelaksanaan agenda-agenda tersebut selanjutnya dikawal oleh Bank Dunia, ADB dan USAID. Kita bisa melihat hampir semua penjualan aset BUMN kepada pihak asing. 

Menyusul kemerosotan nilai rupiah, Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui penanda-tanganan Letter Of Intent (LOI), yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell. Begitu juga dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom, BNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang.

Kita bisa melihat di Indonesia sendiri. Proses "reformasi ekonomi" yang ditujukan untuk menyiapkan Indonesia memasuki Perdagangan Bebas adalah bukti dari tesis di atas. Proses pengalihan usaha produktif dari pemerintah ke tangan swasta, pelonggaran pajak, pencaplokan modal nasional oleh modal asing – semuanya berlangsung mulus di bawah pengawasan Negara. Dan, yang lebih penting lagi, Negara kemudian membuat peraturan perburuhan yang lebih mencekik buruh, peraturan kelautan yang akan menggusur nelayan tradisional "secara alamiah dalam persaingan", peraturan agraria yang akan membuat petani miskin dipaksa bertarung dengan perusahaan agroindustri multinasional.

Dan, yang lebih penting, proses reformasi ekonomi ini menyertakan pulapenguatan militerisme. Seiring dengan menguatnya perekonomian Indonesia (sekalipun ini semu dan temporer), menguat pula tindakan-tindakan militeristik Negara. Kali ini mereka berpegang ketat pada "konstitusi". Tapi, justru dari sini kita tahu bahwa Negara justru telah memperkuat kedudukannya sebagai alat represi terorganisir resmi terhadap oposisi gerakan rakyat. 

Berupaya untuk mandiri, Tap MPR VI/MPR/2002 mengamanatkan agar pemerintah tidak memperpanjang kerja sama dengan IMF pada akhir tahun 2003. Dengan kata lain, secara politik, telah diputuskan bahwa Indonesia akan mandiri dari bantuan finansial IMF. Masalahnya, para politisi sering tidak mengerti ekonomi. Di tengah pasar bebas yang kian merasuk di seluruh dunia, niat mandiri itu memang patut diacungi jempol. Namun, arus besar neoliberalisme dan neokolonialisme bukan angin sepoi-sepoi yang efeknya bias dinihilkan.
Ada sederetan kemungkinan konsekuensi yang harus ditempuh. Mulai dari harus menjual BUMN lagi, menjual asset BPPN lagi, sampai kemungkinan-kemungkinan pengeluaran tidak terduga seperti konflik Aceh hingga bencana alam. Banyak juga ekonom Indonesia yang cenderung mendukung opsi PPM atau post program monitoring ini. Opsi ini dianggap paling optimal. Manajemen risikonya relatif masih dapat dikendalikan dibandingkan dengan tiga opsi lain untuk keluar dari program IMF.

PPM merupakan salah satu opsi yang disampaikan Menteri Keuangan Boediono dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR dengan Tim Exit Strategy IMF 7 Juli lalu. Dengan PPM, Indonesia tidak lagi harus menandatangani letter of intent (LoI). Indonesia juga tidak lagi menerima bantuan finansial, terutama dari IMF serta Paris Club. Begitu lepas dari LoI, Indonesia mulai dapat menjalankan program yang dibuatnya sendiri, sementara IMF berperan dalam evaluasi dan analisis. Hasil evaluasi dan analisisnya itu berhak disampaikan IMF kepada pasar.

Untuk melunasi utang yang bulan Desember 2003 mendatang nominal pokok pinjamannya bernilai 9,2 miliar dollar AS, Indonesia harus membayar bunga dan pokok pinjaman hingga lunas tahun 2010 mendatang. Sebagai contoh, pada tahun 2003, pemerintah mengalokasikan Rp 116,3 triliun untuk membayar pokok dan bunga utang luar negeri, ditambah pembayaran pokok, bunga, dan pembelian kembali (buy back) obligasi dalam negeri. Jumlah ini sama dengan 56 persen penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Sampai sekarang, paham Neoliberalisme tumbuh subur di Indonesia. Bahkan bisa jadi, tengah memasuki masa kejayaannya. Melihat peta politik saat ini, dalam lima tahun ke depan, banyak pihak memprediksikan kalau Neoliberalisme memasuki zaman keemasan dari kejayaannya di Indonesia, artinya berkembang dengan luar biasa pesat. Para arsitek neoliberalisme itu, sekarang ikut bertanding di pilpres mendatang.

Ciri Ciri Neoliberalisme di Indonesia yaitu, kekayaan terpusat pada sekelompok, orang maupun sindikat bisnis raksasa, mati dan lumpuhnya fungsi negara dalam layanan public, privatisasi atas semua sektor layanan publik (pendidikan dan kesehatan), dan semua kekuatan kritis menghamba pada rezim pasar (media, intelektual dan gerakan sosial).

Analisis neoliberalisme di Indonesia yaitu seperti negara adalah agen komprador yang menjadi pelayan bagi kepentingan-kepentingan modal International, aparatur keamanan lebih memilih untuk mengambil fungsi ‘bodyguard’ daripada perlindungan rakyat, dominasi dan kuatnya kekuasaan oligarkhi kapitalis di Indonesia, serta hancurnya wadah kekuatan gerakan rakyat yang sebenarnya jadi sumber perlawanan massa.

Efek Neoliberalisme di Indonesia yaitu semua layanan publik menjadi mahal (tingginya ongkos kesehatan dan pendidikan), membesarnya kekayaan berbagai sektor usaha global (dari sektor tambang hingga minimarket), kesenjangan yang makin melebar (kaya-miskin), konflik meluas bukan hanya pada kaya-miskin melainkan antar kelompok miskin, serta mulai munculnya gagasan Corporate Sosial Responsibility (CSR) dimana perusahaan mengambil fungsi Negara.

Sayangnya, strategi Neo Liberalisme di Indonesia mendapat dukungan seperti ber-iklan sebesar-besarnya (omset telkomsel:RP 14,593 triliun/september 2005 dengan belanja iklan Rp 272 milliar (2005)/ PT Unilever omset Rp 3,9 triliun/belanja iklan Rp 256 milliar, mengembangkan layanan sosial untuk masyarakat (total kekayaan 600 ribu oranf kaya di Indonesia: Rp 600 triliun diperkirakan Rp 3-6 triliun (5-10%) untuk kegiatan filantropi, melakukan penarikan konsumsi sebesar-besarnya melalui proyek hypermarket (Carrefour bisa meraih omset Rp 1 milliar/hari terutama pada akhir pekan dan hari libur), dan melakukan diskriminasi pelayanan terhadap semua sektor publik (pendidikan dan kesehatan).

Namun begitu, kita juga bisa melakukan strategi perlawanan seperti, melakukan pendidikan kritis dan kampanye tentang ekonomi pasar dan peta kekuatan modal, mendorong lahirnya organ sosial yang memiliki basis sosial yang prural dan tuntutan politik yang hetrogen, melakukan aksi pada isu-isu spesifik tentang penolakan proyek mercu suar (Pusat Perbelanjaan maupun Pendidikan mahal), melakukan tuntutan akan kembalinya fungsi negara sebagai penyedia layanan publik yang murah sekaligus bermutu, membuat media pencerahan sebagai lawan dari wacana dominan Neoliberal, mendorong aksi-aksi massa yang memanfaatkan sentimen keadilan dan ekonomi rakyat, memanfaatkan kekuatan-kekuatan sosial untuk mendorong tuntutan progresif yang selama ini jadi bahan tuntutan, serta menciptakan basis logistik yang mandiri dan dimanfaatkan untuk kepentingan gerakan.

DAFTAR PUSTAKA
www.wikipedia.com
www.google.com
www.kompas.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment