Perkembangan Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah di Kabupaten Jombang

Reformasi pengelolaan
keuangan daerah di era otonomi daerah ditandai dengan lahirnya paket
kebijakan keuangan negara yakni: UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP No.
24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Nuansa pembaharuan
dari tiga kebijakan tersebut melandasi bangunan kebijakan dalam tataran
teknis yakni: PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
dan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah.


Dalam hal pelaksanaan
Permendagri No.13 Tahun 2006, hampir sebagian besar energi pejabat fungsional
pengelola keuangan di daerah dihabiskan dalam perdebatan tentang perbedaan
penafsiran dalam setiap aktivitas keuangan daerah. Perdebatan antar
pejabat fungsional pengelola keuangan di daerah berakhir pada kesadaran
mereka akan isi kebijakan Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang memberi
efek multi tafsir bagi siapa pun yang membacanya.


Protes keras
kepala daerah yang disampaikan secara resmi kepada Menteri Dalam Negeri,
debat terbuka di berbagai media televisi, kritik dalam opini di kolom-kolom
koran nasional menjadi bukti sejarah usaha advokasi yang ditempuh daerah
yang mempermasalahkan Kebijakan Menteri Dalam Negeri yang multi tafsir.
Menyadari kelemahan kebijakan tersebut, Menteri Dalam Negeri di tahun
berikutnya merevisi sejumlah pasal dan ayat yang menjadi akar masalah
dalam penerapan pengelolaan keuangan di daerah dengan menerbitkan Permendagri
No. 59 Tahun 2007.


Terlepas dari
berbagai masalah dalam implementasi Permendagri No. 13 Tahun 2006, catatan
penting pada awal penerapan pengelolaan keuangan daerah adalah terbentuknya
Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang ditetapkan dengan PP No. 24
Tahun 2005. Standar yang selama puluhan tahun hanya menjadi perbincangan
dalam tataran ide di kalangan praktisi dan akademisi yang konsen pada
masalah publik. SAP sendiri lahir dari semangat yang kuat kaum intelektual
reformis yang mendambakan pembaharuan di dalam sistem akuntansi keuangan
daerah dengan menyusun suatu standar pemerintahan yang diyakini dapat
menjadi payung bagi pemerintah daerah dalam penyusunan laporan keuangan
secara lebih transparan, akuntabel dan dapat memiliki kualitas daya
banding (comparability).


Amanat UU No.
17 Tahun 2003 dan tuntutan masyarakat yang semakin kritis akan perubahan
dalam sistem akuntasi pemerintahan mendorong Pemerintah Pusat melalui
Menteri Keuangan pada tanggal 13 Juni 2002 menerbitkan Keputusan Menteri
Keuangan No. 308/KMK.012/2002 tentang pembentukan Komite Standar Akuntansi
Pemerintahan (KSAP). Komite ini bertugas untuk merumuskan dan mengembangkan
konsep Standar Akuntansi Pemerintah Pusat dan Daerah, yang keanggotannya
terdiri dari kalangan birokrasi (Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam
Negeri dan BPKP), asosiasi profesi (Ikatan Akuntan Indonesia/IAI) dan
kalangan akademisi. Dengan adanya KSAP, isu mengenai siapa yang berwenang
untuk menetapkan standar akuntansi pemerintahan pusat dan pemerintahan
daerah sudah dapat terpecahkan.


Dalam tulisan
“Penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah dan Standar Akuntansi
Pemerintahan Sebagai Wujud Reformasi Manajemen Keuangan Daerah” yang
disusun oleh Imam Basri (2004), anggota Komite Kerja Standar Akuntansi
Pemerintahan menunjukkan adanya koherensi antara SAP dalam PP No. 24
Tahun 2005 dengan praktek-praktek akuntansi yang berlaku di dunia internasional
sepert Government Finance Statistics (GFS) dan International Public
Sector Accounting Standard (IPSAS) yang tentu saja telah disesuaikan
dengan kondisi pemerintahan yang ideal di Indonesia.


SAP seperti
peraturan perundangan yang menjadi induk kelahirannya, menegaskan kembali
kewajiban kepala daerah untuk menyusun laporan pertanggung jawaban dalam
bentuk Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah (LKPD) yang di dalamnya
meliputi Neraca, Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Laporan Arus Kas
(LAK), dan Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK).


LKPD disusun
untuk menyediakan informasi yang relevan mengenai posisi keuangan dan
seluruh transaksi yang dilakukan oleh pemrintah daerah selama satu periode
pelaporan. LKPD, digunakan untuk membandingkan realisasi pendapatan
dan belanja dengan anggaran yang ditetapkan, menilai kondisi keuangan,
menilai efektivitas dan efisiensi pemerintah daerah, dan membantu menentukan
ketaatannya terhadap peraturan perundang-undangan.


Pemerintah
daerah mempunyai kewajiban untuk melaporkan upaya-upaya yang telah dilakukan
serta hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan kegiatan secara sistematis
dan terstruktur pada suatu periode pelaporan untuk kepentingan: pertama,
akuntabilitas, yang memiliki makna mempertanggung-jawabkan pengelolaan
sumber daya serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada pemerintah
daerah dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara periodik.


Kedua,
manajemen, yang mengandung arti: membantu para pengguna laporan keuangan
untuk mengevaluasi pelaksanaan kegiatan pemerintah daerah dalam periode
pelaporan sehingga memudahkan fungsi perencanaan, pengelolaan, dan pengendalian
atas seluruh aset, kewajiban dan ekuitas dana pemerintah daerah untuk
kepentingan masyarakat.


Ketiga,
transparansi, yang dipahami dengan memberikan informasi keuangan yang
terbuka dan jujur kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat
memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggung-jawaban
pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepadanya
dan ketaatannya pada peraturan perundang-undangan.


Ke-empat,
keseimbangan antar generasi (intergenerational equity), hal ini
memberikan pengertian bahwa membantu para pengguna laporan untuk mengetahui
apakah penerimaan pemerintah daerah pada periode laporan cukup untuk
membiayai seluruh pengeluaran yang dialokasikan dan apakah generasi
yang akan datang diasumsikan akan ikut menanggung beban pengeluaran
tersebut.


Ada tiga hal
yang menjadi asumsi dasar yang perlu diperhatikan sebagaimana yang diamanatkann
PP No.24 Tahun 2005. Tiga asumsi dasar yang dimaksud adalah: pertama,
kemandirian entitas: yaitu asumsi kemandirian entitas, baik entitas
pelaporan (SKPKD) maupun entitas akuntansi (SKPD). Dalam asumsi kemandirian
entitas, setiap unit organisasi dianggap sebagai unit yang mandiri dan
mempunyai kewajiban untuk menyajikan laporan keuangan sehingga tidak
terjadi kekacauan antar unit instansi pemerintah dalam pelaporan keuangan.
Salah satu indikasi terpenuhi asumsi ini adalah adanya kewenangan entitas
untuk menyusun anggaran dan melaksanakannya dengan tanggung jawab penuh.
Entitas bertanggung jawab atas pengelolaan aset dan sumber daya di luar
neraca untuk kepentingan yuridiski tugas pokoknya, termasuk atas kehilangan
atau kerusakan aset dan sumber daya dimaksud, utang-piutang yang terjadi
akibat putusan entitas, serta terlaksana-tidaknya program yang telah
ditetapkan.


Kedua,
kesinambungan entitas: yaitu laporan keuangan disusun dengan asumsi
bahwa entitas pelaporan akan berlanjut keberadaannya. Dengan demikian,
pemerintah diasumsikan tidak bermaksud melakukan likuidasi atas entitas
pelaporan dalam jangka pendek.


Ketiga,
keterukuran dalam satuan uang (monetary measurement): yaitu laporan
keuangan entitas pelaporan harus menyajikan setiap kegiatan yang diasumsikan
dapat dinilai dengan satuan uang. Hal ini diperlukan agar memungkinkan
dilakukannya analisis dan pengukuran dalam akuntansi.


Hal penting
lain yang menjadi perhatian dalam PP No. 24 Tahun 2005 adalah delapan
prinsip yang digunakan dalam akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintahan
yang terdiri dari:


  1. Basis Akuntansi

    Basis akuntansi
    yang digunakan dalam laporan keuangan pemerintah adalah basis kas untuk
    pengakuan pendapatan, belanja dan pembiayaan dalam LRA, sedangkan basis
    akrual untuk pengakuan aset, kewajiban, dan ekuitas dalam neraca.



  1. Prinsip Nilai
    Historis (Historical Cost)


    Aset dicatat
    sebesar pengeluaran kas dan setara kas yang dibayar atau sebesar nilai
    wajar dari imbalan (consideration) untuk memperoleh aset tersebut
    pada saat perolehan. Kewajiban dicatat sebesar jumlah kas dan setara
    kas yang diharapkan akan dibayarkan untuk memenuhi kewajiban dimasa
    yang akan datang dalam pelaksanaan kegiatan pemerintah


  1. Prinsip Realisasi
    (Realization)


    Bagi pemerintah,
    pendapatan yang tersedia yang telah diotorisasikan melalui anggaran
    pemerintahan selama satu tahun fiskal akan digunakan untuk membayar
    hutang dan belanja dalam periode tersebut. Prinsip layak temu biaya-pendapatan
    (matching-cost against revenue principle) dalam akuntansi pemerintah
    tidak mendapat tekanan sebagaimana dipraktekan dalam akuntansi komersial.


  1. Prinsip Substansi
    Mengungguli Bentuk Format (Substance Over Form)


    Informasi
    dimaksudkan untuk menyajikan dengan wajar transaksi serta peristiwa
    lain yang seharusnya disajikan, maka transaksi atau peristiwa lain tersebut
    perlu dicatat dan disajikan sesuai dengan substansi dan realita ekonomi,
    dan bukan hanya aspek formalitasnya. Apabila substansi transaksi atau
    peristiwa lain tidak konsisten/berbeda dengan aspek formalitasnya, maka
    hal tersebut harus diungkapkan dengan jelas dalam catatan atas laporan
    keuangan.



  1. Prinsip Periodisitas
    (Periodicity)


    Kegiatan
    akuntansi dalam pelaporan keuangan entitas pelaporan perlu dibagi menjadi
    periode-periode pelaporan, sehingga kinerja entitas dapat diukur dan
    posisi sumber daya yang dimiliki dapat ditentukan. Periode utama yang
    digunakan adalah tahunan. Namun, periode bulanan, triwulanan, dan semesteran
    juga dianjurkan.


  1. Prinsip Konsistensi
    (Consistency)


    Perlakuan
    akuntansi yang sama, diterapkan pada kejadian serupa dari periode ke
    periode oleh suatu entitas pelaporan (priinsip konsistensi internal).
    Hal ini tidak berarti bahwa tidak boleh terjadi perubahan dari satu
    metode akuntansi ke metode akuntansi yang lain. Metode akuntansi yang
    dipakai dapat diubah dengan syarat bahwa metode yang baru diterapkan
    mampu memberikan informasi yang lebih baik dibanding metode lama. Pengaruh
    atas metode ini, diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan.


  1. Prinsip Pengungkapan
    Lengkap (Full Disclousure)


    Laporan
    keuangan menyajikan secara lengkap informasi yang dibutuhkan oleh pengguna.
    Informasi yang dibutuhkan oleh pengguna laporan keuangan dapat ditempatkan
    dalam lembaran muka (on the face) laporan keuangan atau catatan
    atas laporan keuangan.


  1. Prinsip Penyajian
    Wajar (Fair Presentation)


    Faktor
    pertimbangan sehat bagi penyusunan laporan keuangan, diperlukan ketika
    menghadapai ketidak-pastian peristiwa dan keadaan tertentu. Kepastian
    seperti itu, diakui dengan mengungkapkan hakikat serta tingkatnya dengan
    menggunakan pertimbangan sehat dalam penyusunan laporan keuangan. Pertimbangan
    sehat mengandung unsur kehati-hatian pada saat melakukan prakiraan dalam
    kondisi ketidak-pastian sehingga aset atau pendapatan tidak dinyatakan
    terlalu tinggi dan kewajiban tidak dinyatakan terlalu rendah. Namun
    demikian, penggunaan pertimbangan sehat tidak memperkenankan, misalnya,
    pembentukan cadangan tersembunyi, sengaja menetapkan aset atau pendapatan
    yang terlampau rendah, atau sengaja mencatat kewajiban atau belanja
    yang terlampau tinggi sehingga laporan keuangan menjadi tidak netral
    dan tidak andal.


Perubahan mendasar
yang menjadi amanat PP No. 24 Tahun 2005 terlihat pada perubahan sistem
pencatatan dari single entry menjadi double entry dan
ini mengakibatkan perubahan teknik sistem akuntansi yang semula berbasis
kas menjadi sistem akuntansi berbasis akrual. Teknik akuntansi berbasis
akrual dinilai banyak pakar dapat menghasilkan laporan keuangan yang
komprehensif dan relevan untuk pengambilan keputusan serta lebih ditujukan
pada penentuan biaya layanan dan harga yang dibebankan kepada publik,
sehingga memungkinkan pemerintah menyediakan layanan publik yang optimal
dan sustainable serta dapat memberikan gambaran kondisi keuangan
secara menyeluruh.


SAP secara
garis besar hanya mengatur pengakuan, penilaian, dan pengungkapan, sedangkan
untuk sistem dan prosedur diatur tersendiri oleh masing-masing pemerintah
daerah. Kabupaten Jombang terhitung memiliki pemerintah daerah yang
responsif terhadap nuansa perubahan terkait dengan akuntabilitas dan
transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah. Dengan segala keterbatasan
sumber daya manusia dan teknologi maupun perangkat pendukung lainnya
pada awal tahun 2006 Pemerintah Daerah Kabupaten Jombang telah berhasil
menyusun neraca awal dalam LKPD Tahun 2005. Terbentuknya neraca awal,
menurut penuturan beberapa staf bidang akuntansi di DPPKAD yang terlibat
dalam penyusunan yang kala itu masih berada dalam struktur organisasi
Bagian Keuangan Sekretariat Daerah merupakan “hasil usaha yang bukan
tanpa kendala”. Bahkan menurut mereka, saat itu, “dibuat dua laporan
keuangan yaitu dalam bentuk laporan perhitungan keuangan yang berbasis
kas dan neraca yang berbasis cash toward
accrual
atau sering disebut dengan accrual modified”. Hal
tersebut terpaksa dilakukan karena di saat masa-masa transisi, kebijakan
dalam tataran operasional masih menggunakan Kepmendagri No. 29 Tahun
2002 yang belum memiliki tuntunan teknis dalam penyusunan neraca.


Seiring dengan
ditetapkannya Permendagri No. 13 Tahun 2006 sebagai pengganti Kepmendagri
No. 29 Tahun 2002, skema penyusunan neraca yang berbasis akrual penuh
(full accrual) semakin jelas, walaupun terdapat banyak pasal
atau ayat yang memiliki efek intervensi yang bertentangan dengan SAP.
Namun demikian, secara umum, Permendagri No. 13 Tahun 2006 telah memiliki
“ruh” dari SAP.


Implementasi
Permendagri No. 13 Tahun 2006, sebenarnya, pada fase akuntansi anggaran
relatif tidak memiliki kendala. Kendala terbesar dari implementasi kebijakan
tersebut, ada pada fase akuntansi penata-usahaan dalam pengelolaan keuangan.
Pada fase ini, kendala bekutat pada “siapa yang berwenang, atas kewenangan
apa”, serta masalah prosedur dan penata-usahaan pencairan dana. Memindah
kerangka berpikir pejabat fungsional pengelola keuangan di masing-masing
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terlibat, dari konsep prosedur
pengajuan: Beban Tetap (BT) dan Pengisian Kas (PK) menjadi konsep prosedur
pengajuan: Uang Persediaan (UP), Ganti Uang (GU), Tambahan Uang (TU)
dan Langsung (LS) memerlukan waktu proses yang relatif tidak singkat.


Komponen akun
aset yang terdiri dari aset lancar, investasi jangka panjang, aset tetap,
dana cadangan dan aset lainnya merupakan bagian penting dalam penyusunan
neraca awal. Dalam hal memperoleh nilai aset tetap yang dimiliki Pemda
Jombang, berbagai masalah yang komplek ditemukan dalam penilaian aset
tetap pada sensus barang milik daerah. Belum lagi, pengaturan dalam
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 dan Kepmendagri No. 152 Tahun 2004 yang
tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah yang kala itu menjadi pedoman,
memiliki perbedaan mendasar dengan SAP. Kepmendagri No. 29 Tahun 2002
mengatur bahwa pengakuan aset tetap dilakukan pada akhir periode, sementara
SAP menyatakan bahwa aset tetap diakui pada saat diterima dan/atau hak
kepemilikan berpindah. Dengan demikan selama satu tahun berjalan terdapat
perbedaan waktu pengakuan aset meskipun pada akhir periode akuntansi
akan diperoleh saldo aset yang sama. Kompleksitas permasalahan yang
ditemukan saat penilaian aset tetap waktu sensus barang daerah dan pondasi
regulasi teknis tentang aset tetap yang diatur dalam Kepmendagri No.
29 Tahun 2002 maupun Kepmendagri No. 152 Tahun 2004 yang memiliki intervensi
berlawanan dengan SAP, nyaris menggagalkan penyusunan neraca awal. Kompleksitas
permasalahan aset tetap, bahkan masih meninggalkan residu permasalahan
hingga kini, dan ini, dibuktikan dengan permasalahan aset tetap yang
seolah tidak mau lepas dari bagian rutinitas dalam temuan-temuan LHP
BPK atas LKPD Kabupaten Jombang.


Kendala lain
yang tidak kalah rumit juga terjadi pada fase penyusunan laporan keuangan
baik di SKPD maupun di SKPKD (DPPKAD yang kala itu masih bernama Badan
Pengelola Keuangan Daerah/BPKD). Pada fase ini ada beberapa hal dalam
Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang tidak sesuai dengan SAP, yang diantaranya
adalah: pertama, bagan perkiraan rekening belanja yang tidak
konsisten dengan format laporan keuangan yang dinginkan, misalnya dalam
format LRA tidak lagi mencantumkan belanja langsung dan tidak langsung
tetapi hanya disajikan dengan belanja operaasi. Kedua, rekening
belanja peralatan dan mesin tidak didefinisikan secara jelas, sementara
di LRA harus menyajikan belanja ini. Ketiga, tidak menggambarkan
secara jelas perbedaan sistem akuntansi umum, sistem akuntansi BUD/Kasda
dan Sistem Akuntansi SKPD. Ke-empat, dasar untuk melakukan penjurnalan
setiap transaksi adalah SPJ dari bendahara, sementara, dasar pencatatan
akuntansi pertama adalah dokumen sumber yang sah (SPM-SP2D, STS, Nota
Debet, Nota Kredit). Kelima, format laporan keuangan yang tidak
konsisten dengan bagan perkiraan rekening, sehingga harus dilakukan
modifikasi dan konversi ketika membuat laoran keuangan.


Berbagai kendala
pada awal penyusunan neraca awal tidak menyurutkan semangat apalagi
menghilangkan selera Pemda Jombang untuk menyusun LKPD yang akuntabel
dan transparan, bahkan semakin menggelora. Hal ini dibuktikan dengan
ditetapkannya Perbup No. 15 Tahun 2007 tentang Pelaporan Keuangan dan
Sistem Prosedur Akuntansi Pemerintah Kabupaten Jombang yang kemudian
disempurnakan dengan menambah aturan tentang kapitalisasi aset dalam
Perbup No. 15A Tahun 2008. Kedua perbup ini merupakan upaya dalam mencari
jalan tengah atas konflik antar kebijakan yang mengatur tentang akuntansi
keuangan daerah, sekaligus menjadi pedoman praktis yang menggabungkan
konsep SAP dalam PP No. 24 Tahun 2005, Permendagri No. 13 Tahun 2006
dan Permendagri No. 59 Tahun 2007. Penyusunan perbub tentang pelaporan
keuangan dan sisdur akuntansi daerah merupakan produk hukum daerah yang
disusun oleh akuntan pemerintahan di DPPKAD yang merupakan satuan kerja
yang memiliki kewenangan dalam pengembangan dan pengelolaan keuangan
daerah dan Inspektorat Kabupaten Jombang yang merupakan satuan kerja
yang memiliki kewenangan dalam pengawasan dan pembinaan di bidang keuangan
daerah. Selain itu, penyusunan perbup tersebut juga mendapat sumbangan
pikiran yang berlimpah dari ahli hukum yang bertugas di Bagian Hukum
Sekretariat Daerah Kabupaten Jombang.


Namun demikian,
permasalahan klasik, kebijakan barang daerah yang kini aturan teknis
operasionalnya telah diganti dengan Permendagri No. 17 Tahun 2007 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah masih menjadi intervensi
kebijakan yang mengakibatkan konflik dengan Perbup tentang Pelaporan
Keuangan dan Sistem Prosedur Akuntansi Pemerintah Kabupaten Jombang.
Nampaknya, Akuntan Pemerintah Kabupaten Jombang dan beberapa ahli lainnya
yang terkait harus bekerja keras sekali lagi untuk mensinergikan intervensi
kebijakan yang mengakibatkan konflik tersebut.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment