Model-Model Impementasi Kebijakan Publik

Dimensi paling inti dari kebijakan publik adalah proses kebijakan. Di sini kebijakan
publik dilihat sebagai sebuah proses kegiatan atau sebagai satu kesatuan
sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara sinambung,
saling menentukan dan saling membentuk.
Dalam bukunya
Public Policy
, Riant Nugroho (2009, 494-495) memberi makna implementasi
kebijakan sebagai “cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.
Tidak lebih dan tidak kurang”. Ditambahakan pula, bahwa untuk mengimplementasikan
kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu: langsung
mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan
derivat atau turunan dari kebijakan publik tesebut. Secara umum dapat
digambarkan sebagai berikut:

Sekuensi
Implementasi Kebijakan



Sekuensi Implementasi Kebijakan



Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena di sini masalah-masalah
yang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. Selain itu, ancaman
utama adalah konsistensi implementasi.

Pendekatan dalam implementasi kebijakan publik oleh Peter deLeon dan Linda deLeon
(2001) dikelompokkan menjadi tiga generasi. Generasi pertama, yaitu
pada tahun 1970-an, memahami implementasi kebijakan sebagai masalah-masalah
yang terjadi antara kebijakan dan eksekusinya. Mempergunakan pendekatan
ini, antara lain: Graham T. Allison dengan studi kasus misil kuba (1971,
1979). Pada generasi ini implementasi kebijakan berhimpitan studi pengambilan
keputusan di sektor publik.

Generasi kedua, tahun 1980-an, adalah generasi yang mengembangkan pendekatan implementasi
kebijakan yang bersifat “dari atas ke bawah” (top-downer perspective).
Perspektif ini lebih fokus pada tugas birokrasi untuk melaksanakan kebijakan
yang telah diputuskan secara politik. Para ilmuwan sosial yang mengembangkan
pendekatan ini adalah Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier (1983), dan
Paul Berman (1980). Pada saat yang sama, muncul pendekatan bottom-upper

yang dikembangkan oleh Michael Lipsky (1971, 1980), dan Benny Hjern
(1982, 1983).

Generasi ketiga, tahun 1990-an, dikembangkan oleh ilmuwan sosial Malcolm L. Goggin (1990),
memperkenalkan pemikiran bahwa variabel perilaku aktor pelaksana implementasi
kebijakan lebih menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Pada
saat yang sama, muncul pendekatan kontijensi atau situsional dalam implementasi
kebijakan yang mengemukakan bahwa implementasi kebijakan banyak didukung
oleh adaptabilitas implementasi kebijakan tersebut. Para ilmuwan yang
mengembangkan yang mengembangkan pendekatan ini adalah antara lain Richard
Matland (1995), Helen Ingram (1990), dan Denise Scheberle (1997).

Model-Model
Implementasi Kebijakan Publik
      1. Model Van Meter dan Van Horn
Model pertama adalah model yang paling klasik, yakni model yang diperkenalkan oleh
Donald Van Meter dan Carl Van Horn (1975). Model ini mengandaikan bahwa
implementasi kebijakan berjalan seara linear dari kebijakan publik,
implementator, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang
dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah
variabel berikut:
  1. Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi
  2. Karakteristik agen pelaksana/implementator
  3. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik
  4. Kecenderungan (disposition) pelaksana/implementor.
      1. Model Mazmanian dan Sabatier
Model yang kedua adalah model yang dikembangkan Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier
(1983) yang mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan
keputusan kebijakan. Model Mazmanian dan Sabatier disebut Model Kerangka
Analisis Implementasi
(a framework for implementation analysis).

Mazmanian-Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel,
yaitu:
  1. Variabel Independen
    Mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan
    teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang
    dikehendaki
  1. Variabel Intervening
    Diartikan sebagai kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi
    dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori
    kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hirarkis di antara
    lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan
    pejabat pelaksana yang memiliki keterbukaan kepada pihak luar, variabel
    di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan
    dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan publi,
    sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta
    komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.
  1. Variabel Dependen
    Yaitu tahapan dalam proses implementasi kebijakan publik dengan lima tahapan, yang
    terdiri dari: pertama, pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam
    bentuk disusunnya kebijakan pelaksana. Kedua, kepatuhan objek. Ketiga,
    hasil nyata. Ke-empat, penerimaan atas hasil nyata. Terakhir, kelima,
    tahapan yang mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan,
    baik sebagian maupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.
      1. Model Hogwood dan Gunn
Model ketiga adalah Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978), untuk dapat
mengimplementasikan kebijakan secara sempurna, maka diperlukan beberapa
persayaratan tertentu. Syarat-syarat itu adalah:
  1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius. Beberapa kendala/hambatan (constraints) pada saat implementasi
    kebijakan seringkali berada diluar kendali para administrator, sebab
    hambatan-hambatan itu memang diluar jangkauan wewenang kebijakan dari
    badan pelaksana. Hambatan-hambatan tersebut diantaranya mungkin bersifat
    fisik maupun politis.
  2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumberdaya yang cukup memadahi. Syarat kedua
    ini sebagian tumpang tindih dengan syarat pertama diatas, dalam pengertian
    bahwa kerapkali ia muncul diantara kendala-kendala yang bersifat eksternal.
    Kebijakan yang memilki tingkat kelayakan fisik dan politis tertentu
    bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan karena menyangkut
    kendalan waktu yang pendek dengan harapan yang terlalu tinggi
  3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar memadahi. Persyaratan ini mengikuti syarat
    item kedua artinya disatu pihak harus dijamin tidak ada kendala-kendala
    pada semua sumber-sumber yang diperlukan, dan dilain pihak, setiap tahapan
    proses implementasi perpaduan diantara sumber-sumber tersebut harus
    dapat disediakan. Dalam prakteknya implementasi program yang memerlukan
    perpaduan antara dana, tenaga kerja dan peralatan yang diperlukan untuk
    melaksanakan program harus dapat disiapkan secara serentak, namun ternyata
    ada salah satu komponen tersebut mengalami kelambatan dalam penyediaannya
    sehingga berakibat program tersebut tertunda pelaksanaannya.
  4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal.
    Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplemetasikan secara efektif bukan
    lantaran ia telah diimplementasikan secara asal-asalan, tetapi kebijakan
    itu sendiri memang jelek. Penyebabnya karena kebijakan itu didasari
    oleh tingkat pemahaman yang tidak memadahi mengenahi persoalan yang
    akan ditanggulangi, sebab-sebab timbulnya masalah dan cara pemecahanya,
    atau peluang-peluang yang tersedia untuk mengatasi masalahnya, sifat
    permasalahannya dan apa yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang-peluang
    tersebut.
  5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya. Pada
    kebanyakan program pemerintah sesungguhnya teori yang mendasari kebijakan
    jauh lebih komplek dari pada sekedar hubungan antara dua variabel yang
    memiliki hubungan kausalitas. Kebijakan-kebijakan yang memiliki hubungan
    sebab-akibat tergantung pada mata rantai yang amat panjang maka ia akan
    mudah sekali mengalami keretakan, sebab semakin panjang mata rantai
    kausalitas, semakin besar hubungan timbal balik diantara mata rantai
    penghubungnya dan semakin kompleks implementasinya. Dengan kata lain
    semakin banyak hubungan dalam mata rantai, semakin besar pula resiko
    bahwa bebarapa diantaranya kelak terbukti amat lemah atau tidak dapat
    dilaksanakan dengan baik.
  6. Hubungan saling ketergantungan harus kecil. Implemetasi yang sempurna menuntut adanya
    persyaratan bahwa hanya terdapat badan pelaksana tunggal dalam melaksanakan
    misi tidak tergantung badan-badan lain/instansi lainnya. Kalau ada ketergantungan
    dengan organisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat yang minimal,
    baik dalam artian jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika implementasi
    suatu program ternyata tidak hanya membutuhkan rangkaian tahapan dan
    jalinan hubungan tertentu, melainkan juga kesepakatan atau komitmen
    terhadap setiap tahapan diantara sejumlah aktor/pelaku yang terlibat,
    maka peluang bagi keberhasilan implementasi program, bahkan hasil akhir
    yang diharapkan kemungkinan akan semakin berkurang.
  7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. Persyaratan ini mengharuskan adanya
    pemahaman yang menyeluruh mengenahi kesepakatan terhadap tujuan yang
    akan dicapai dan dipertahankan selama proses implementasi. Tujuan itu
    harus dirumuskan dengan jelas, spesifik, mudah dipahami, dapat dikuantifikasikan,
    dan disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam organisasi. Namun
    berbagai penelitian telah mengungkap bahwa dalam prakteknya tujuan yang
    akan dicapai dari program sukar diidentifikasikan. Kemungkinan menimbulkan
    konflik yang tajam atau kebingungan, khususnya oleh kelompok profesional
    atau kelompok-kelompok lain yang terlibat dalam program lebih mementingkan
    tujuan mereka sendiri. Tujuan-tujuan resmi kerap kali tidak dipahami
    dengan baik, mungkin karena komunikasi dari atas ke bawah atau sebaliknya
    tidak berjalan dengan baik. Kalaupun pada saat awal tujuan dipahami
    dan disepakati namun tidak ada jaminan kondisi ini dapat terpelihara
    selama pelaksanaan program, karena tujuan-tujuan itu cenderung mudah
    berubah, diperluas dan diselewengkan.
  8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat. Syarat ini mengandung makna
    bahwa dalam menjalankan program menuju tercapainya tujuan-tujuan yang
    telah disepakati, masih dimungkinkan untuk merinci dan menyusun dalam
    urutan-uruan yangbtepat seluruh tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap
    bagian yang terlibat. Kesulitan untuk mencapai kondisi implementasi
    yang sempurna masih terjadi dan tidak dapat dihindarkan. Untuk mengendalikan
    program dengan baik dapat dilakukan dengan teknologi seperti Network
    planning dan contrrol.
  9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna. Syarat ini mengharuskan adanya komunikasi dan ordinasi
    yang sempurna diantara berbagai unsur atau badan yang terlibat dalam
    program. Hood (1976) dalam hubungan ini menyatakan bahwa guna mencapai
    implementasi yang sempurna diperlukan suatu sistem satuan administrasi
    tunggal sehingga tercipta koordinasi yang baik. Pada kebanyakan organiasi
    yang memiliki ciri-ciri departemenisasi, profesionalisasi, dan bermacam
    kegiatan kelompok yang melindungi nilai-nilai dan kepentingan kelompok
    hampir tidak ada koordinasi yang sempurna. Komunikasi dan koordiasi
    memiliki peran yang sangat penting dalam proses implementasi karena
    data, syaran dan perintah-perintah dapat dimengerti sesuai dengan apa
    yang dikehendaki.
  10. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan
    yang sempurna. Hal ini menjelaskan bahwa harus ada ketundukan yang penuh
    dan tidak ada penolakan sama sekali terhadap perintah dalam sistim administrasinya.
    Persyaratan ini menandaskan bahwa mereka yang memiliki wewenang, harus
    juga yang memiliki kekuasan dan mampu menjamin adanya kepatuhan sikap
    secara menyeluruh dari pihak-pihak lain baik dalam organisasi maupun
    luar organisasi. Dalam kenyataan dimungkinkan adanya kompartemenisasi
    dan diantara badan yang satu dengan yang lain mungkin terdapat konflik
    kepentingan.
      1. Model Goggin
Malcolm Goggin, Ann Bowman, dan James Lester mengembangkan apa yang disebutnya sebagai
communication model” untuk implementasi kebijakan yang disebutnya
sebagai “generasi ketiga model implementasi kebijakan” (1990). Goggin
dan kawan-kawan bertujuan mengembangkan sebuah model implementasi kebijakan
yang lebih ilmiah dengan mengedepankan pendekatan metode penelitian
dengan adanya variabel independen, intervening, dan

dependen
, dan meletakkan komunikasi sebagai penggerak dalam implementasi
kebijakan.
      1. Model Grindle
Model ke-empat adalah model Merilee S. Grindle (1980). Model Implementasi Kebijakan
Publik yang dikemukakan Grindle (1980:7) menuturkan bahwa Keberhasilan
proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung
kepada kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain
dipengaruhi oleh Content of Policy (isi kebijakan) dan Contex of Implementation
(konteks implementasinya).

Isi kebijakan yang dimaksud meliputi:
    1. Kepentingan yang terpenuhi oleh kebijakan (interest affected).
    2. Jenis manfaat yang dihasilkan (tipe of benefit).
    3. Derajat perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned).
    4. Kedudukan pembuat kebijakan (site of decision making).
    5. Para pelaksana program (program implementators).
    6. Sumber daya yang dikerahkan (Resources commited).
Sedangkan konteks implementasi yang dimaksud:
    1. Kekuasaan (power).
    2. Kepentingan strategi aktor yang terlibat (interest strategies of actors involved).
    3. Karakteristik lembaga dan penguasa (institution and regime characteristics).
    4. Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana (compliance and responsiveness).
      1. Model Elmore, dkk
Model kelima adalah model yang disusun Richard Elmore (1979), Michael Lipsky (1971),
dan Benny Hjern dan David O’Porter (1981). Model ini dimulai dari
mengidentifikasikan jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan
dan menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-kontak
yang mereka miliki. Model implementasi ini didasarkan pada jenis kebijakan
publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi
kebijakannya atau tetap melibatkan pejabat pemerintah namun hanya di
tataran rendah. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat harus sesuai
dengan harapan, keinginan, publik yang menjadi target atau kliennya,
dan sesuai pula dengan pejabat eselon rendah yang menjadi pelaksananya.
Kebijakan model ini biasanya diprakarsai oleh masyarakat, baik secara
langsung maupun melalui lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM).
      1. Model Edward
George Edward III (1980, 1) menegaskan bahwa masalah utama administrasi publik adalah
lack of attention to implementation
. Dikatakannya, without effective
implementation the decission of policymakers will not be carried out
successfully
. Edward menyarankan untuk memperhatikan empat isu pokok
agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu communication,
resource, disposition or attitudes,
dan beureucratic structures.

Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada organisasi
dan/atau publik, ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan kebijakan,
sikap dan tanggap dari pihak yang terlibat, dan bagaimana struktur organisasi
pelaksana kebijakan.

Resources berkenaan dengan ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya sumber
daya manusia. Hal ini berkenaan dengan kecakapan pelaksana kebijakan
publik untuk carry out kebijakan secara efektif.


Disposition berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk carry out
kebijakan publik tersebut, kecakapaan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan
dan komitmen untuk melaksanakan kebijakan.

Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara
implementasi kebijakan publik. Tantangan adalah bagaimana agar tidak
terjadi beureucratic fragmentation karena struktur ini menjadikan
proses implementasi menjadi jauh dari efektif. Di Indonesia sering terjadi
inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan
kerja sama di antara lembaga-lembaga negara dan/ atau pemerintahan.
      1. Model Nakamura dan Smallwood
Model Nakamura dan Smallwood mengambarkan proses implementasi kebijakan secara detail.
Begitu detailnya, sehingga model ini relatif relevan diimplementasikan
pada semua kebijakan. Tabel di bawah ini menjelaskan keterkaitan antara
pembentukan kebijakan dan implementasi kebijakan secara praktikal.

Model Implementasi
Kebijakan

Nakamura
dan Smallwood



Model Implementasi Kebijakan Nakamura dan Smallwood

      1. Model Jaringan
Model ini memehami bahwa proses implementasi kebijakan adalah sebuah complex of interaction
processes
di antara sejumlah besar aktor yang berada dalam suatu
jaringan (network) aktor-aktor yang independen. Interaksi di
antara para aktor dalam jaringan tersebutlah yang akan menentukan bagaimana
implementasi harus dilaksanakan, permasalahan-permasalahan yang harus
dikedepankan, dan diskresi-diskresi yang diharapkan menjadi bagian penting
di dalamnya.

Pemahaman ini antara lain dikembangkan dalam sebuah buku yang ditulis oleh tiga orang
ilmuwan Belanda, yaitu Walter Kickert, Erik Hans Klijn, dan Joop Koppenjan,
Managing Complex Networks: Strategies for the Public Sector
(1997).
Pada model ini, semua aktor dalam jaringan relatif otonom, artinya mempunyai
tujuan masing-masing yang berbeda. Tidak ada aktor sentral, tidak ada
aktor yang menjadi koordinator. Pada pendekatan ini, koalisi dan/ atau
kesepakatan di antara aktor yang berada pada sentral jaringan menjadi
penentu implementasi kebijakan dan keberhasilannya.
      1. Model Matland
Richard Matland (1995) mengembangkan sebuah model yang disebut dengan Model Matriks
Ambiguitas-Konflik yang menjelaskan bahwa implementasi secara admiministratif
adalah implementasi yang dilakukan dalam keseharian operasi birokrasi
pemerintahan. Kebijakan di sini memiliki ambiguitas atau kemenduaan
yang rendah dan konflik yang rendah. Implementasi secara politik adalah
implementasi yang perlu dipaksakan secara politik, karena, walaupun
ambiguitasnya rendah, tingkat konfliknya tinggi. Implementasi secara
eksperimen dilakukan pada kebijakan yang mendua, namun tingkat konfilknya
rendah. Implementasi secara simbolik dilakukan pada kebijakan yang mempunyai
ambiguitas tinggi dan konflik yang tinggi. Pemikiran Matland dikembangkan
lebih rinci sebagai berikut:

Matriks Matland


Matrik Matland
Pada prinsispnya matrik matland memiliki “empat tepat” yang perlu dipenuhi dalam
hal keefektifan implemenatasi kebijakan, yaitu:
  1. Ketepatan Kebijakan
    Ketepatan kebijakan ini dinilai dari:

    1. Sejauh mana kabijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Pertanyaannya adalah how excelent is the policy.
    2. Apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai dengan karakter masalah yang hendak
      dipecahkan.
    3. Apakah kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan (misi kelembagaan) yang
      sesuai dengan karakter kebijakan.

  1. Ketepatan Pelaksanaan
    Aktor implementasi kebijakan tidaklah hanya pemerintah. Ada tiga lembaga yang bisa menjadi
    pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah-masyarakat/swasta,
    atau implementasi kebijakan yang diswastakan (privatization
    atau contracting out). Kebijakan-kebijakan yang bersifat monopoli,
    seperti kartu identitas penduduk, atau mempunyai derajat politik keamanan
    yang tinggi, seperti pertahanan dan keamanan, sebaiknya diselenggarakan
    oleh pemerintah. Kebijakan yang bersifat memberdayakan masyarakat, seperti
    penanggulangan kemiskinan, sebaiknya diselenggarakan pemerintah bersama
    masyarakat. Kebijakan yang bertujuan mengarahkan kegiatan kegiatan masyarakat,
    seperti bagaimana perusahaan harus dikelola, atau di mana pemerintah
    tidak efektif menyelenggarakannya sendiri, seperti pembangunan industri-industri
    berskala menengah dan kecil yang tidak strategis, sebaiknya diserahkan
    kepada masyarakat
  1. Ketepatan Target
    Ketepatan berkenaan dengan tiga hal, yaitu:
  1. Apakah target yang dintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada tumpang
    tindih dengan intervensi lain, atau tidak bertentangan dengan intervensi
    kebijakan lain.
  2. Apakah targetnya dalam kondisi siap untuk dintervensi ataukah tidak. Kesiapan bukan saja
    dalam arti secara alami, namun juga apakah kondisi target ada dalam
    konflik atau harmoni, dan apakah kondisi target ada dalam kondisi mendukung
    atau menolak.
  3. Apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbarui implementasi kebijakan
    sebelumnya. Terlalu banyak kebijakan yang tampaknya baru namun pada
    prinsipnya mengulang kebijakan yang lama dengan hasil yang sama tidak
    efektifnya dengan kebijakan sebelumnya.

  1. Ketepatan Lingkungan
    Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu:
    1. Lingkungan Kebijakan
    Yaitu interaksi antara lembaga perumus kebijakan dengan pelaksana kebijakan dengan lembaga
    yang terkait. Donald J. Calista menyebutnya sebagai sebagai variabel
    endogen, yaitu authoritative arrangement yang berkenaan dengan
    kekuatan sumber otoritas dari kebijakan, network composition

    yang berkenaan dengan komposisi jejaring dari berbagai organisasi yang
    terlibat kebijakan, baik dari pemerintah maupun masyarakat, implementation
    setting
    yang berkenaan dengan posisi tawar-menawar antara otoritas
    yang mengeluarkan kebijakan dan jejaring yang berkenaan dengan implementasi
    kebijakan.
    1. Lingkungan Eksternal Kebijakan
    Lingkungan ini oleh Calista disebut sebagai variabel eksogen, yang terdiri dari
    atas public opinion, yaitu persepsi publik akan kebijakan dan
    implementasi kebijakan, interpretive instutions yang berkenaan
    dengan interprestasi lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat, seperti
    media massa, kelompok penekan, dan kelompok kepentingan, dalam menginterpretasikan
    kebijakan dan implementasi kebijakan, dan individuals, yakni
    individu-individu tertentu yang mampu memainkan peran penting dalam
    menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan.
Ke-empat “tepat” tersebut masih perlu didukung oleh tiga jenis dukungan, yaitu:
  1. Dukungan politik;
  2. Dukungan strategik; dan
  3. Dukungan teknis.
Selain tiga dukungan di atas, penelitian ataupun analisis tentang implementasi kebijakan
sebaiknya juga menggunakan model implementasi sesuai dengan isu kebijakannya,
sebagaimana yang digambarkan Matland berikut ini:

Ambiguitas
Matland



Ambiguitas Matland



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment